Namaku Marto H. Usiaku dua puluh tujuh ketika pertama kali kembali ke rumah setelah delapan tahun studi dan bekerja di Bonn, Jerman. Aku masih ingat jalan menuju rumah, meski samar-samar, mulai dari bandara sampai tiba di rumah orang tuaku. Kuberitahu padamu rutenya seandainya kau ingin mengunjungiku sewaktu-waktu.
Pertama-tama kau harus tahu simpang lima Sleman yang letaknya di sebelah utara Jogja. Jika diantara pembaca sering berpergian ke Jogja pasti tahu angkutan menuju ke sana, atau, jika punya uang lebih kau bisa naik becak sambil menikmati pemandangannya. Tidak jauh dari simpang lima Slamen ada sebuah warung soto milik pak Diman, yang menjadi patokan menuju jalan Semar. Kau akan berjalan kira-kira seratus meter hingga tiba di tepian sebuah sungai kecil. Untuk menyeberangi sungai, kau musti mengambil jalan memutar di Arjuna 6 sebelum menemukan sebuah jembatan kayu. Jembatan itu panjangnya kira-kira tiga puluh meter dan berakhir di muka kampung Dukuh Wetan yang bertetanggaan dengan kampungku. Kau hanya berjalan lurus sampai di perbatasan kampung yang ditandai dengan sebuah tugu kecil. Tidak jauh dari situ kau akan melihat gapura selamat datang, dan begitu memasukinya kau akan tiba pada sebuah hutan kecil yang sebenarnya bukan hutan, melainkan kebun Kecapi. Kampungku memang terkenal dengan pepohonan kecapinya sampai-sampai semua nama jalan dinamai jalan kecapi, sedangkan yang membedakan satu jalan dengan yang lainnya adalah penomorannya. Rumahku terletak di jalan Kecapi 17, berdekatan dengan musholla dan empang milik pak haji Yunus. Aku harap kau selesai mencatat rute yang tadi kusebutkan sehingga tidak perlu bertanya lagi jika tersasar.
Aku membawa bawaan yang tidak tidak terlalu banyak, hampir semuanya oleh-oleh dari Jerman yang bisa ditampung dalam tas ransel. Aku menikmati perjalanan pulangku yang seperti kilas balik perjalananku menuju Bonn. Delapan tahun lalu, ibu menangis melepas kepergianku, disusul pidato kepala kampung dan lambaian tangan orang-orang sekampung. Kupikir aku akan kembali pulang dalam satu atau dua tahun, tapi tugas-tugas kampus menahanku ditambah kekurangan finansial memaksaku bekerja paruh waktu di berbagai tempat. Tanpa disadari sudah selama itu aku meninggalkan mereka. Tapi kini aku kembali, bukan karena kekhawatiran tidak bisa hidup di sana, melainkan menunjukkan bahwa aku sudah menjadi orang berhasil.
Sebuah becak membawaku ke simpang lima Slamen, yang juga membawa kenangan lain. Bapak seorang tukang becak di pasar Slamen, sering mengantar ibu berjualan ke pasar sebelum berangkat ke pangkalan menunggu penumpang, atau mengajakku melihat tempat-tempat wisata yang biasa dikunjungi bule-bule (bukan bule kakak dari orang tua). Menjelang maghrib aku tiba di simpang lima Slamen, beristirahat sebentar di beranda masjid sambil memandang kemajuan tempat itu. Gedung bioskop yang biasa memutar film India sudah tergantikan dengan sebuah mal besar. Jalanan tambah ramai, angkutan lebih banyak, beberapa bangunan ruko menggantikan rumah-rumah jaman dulu. Tapi tidak telihat banyak perubahan pada warung soto pak Diman kecuali bangunannya menjadi lebih sempit akibat pelebaran jalan.
Malam yang hangat, berbeda dengan cuaca Eropa dimana aku selalu mengenakan jaket sepanjang hari. Disini, aku hanya memakai kaos.
Tapi ngomong-ngomong, kauingat belokan di sebelah kiri warung soto pak Diman yang menuju ke jalan Semar? Lupakan itu, karena jalan memotong itu sudah berubah menjadi gedung perkantoran. Tapi ada jalan lain menembus ke jalan Semar yang kudapati setelah bertanya pada seorang wanita tua penjual buah. Entah mengapa aku harus bertanya pada wanita itu. Dia menunjuk, dengan bahasa Jawa, jalan ke arah selatan dimana aku harus belok di gang kedua. Aku melihat sebuah belokan yang ditunjuknya.
Kemudian setelah itu aku mengikuti petunjukknya; berbelok di sebuah gang yang cukup lebar. Di pinggir gang itu berderet warung-warung makan menyajikan makanan khas Slamen. Sekelompok anak muda sedang bermain gitar, anak-anak kecil saling berkejaran, para wanita berkumpul membicarakan sesuatu (bergosip mungkin). Tapi kesan ramai itu semakin hilang saat berada jauh kedalam gang hingga tidak ada sama sekali orang di ujung jalan. Aku melangkah ke jembatan, melalui sebuah jalan kecil berdekatan dengan sungai di sebelah kananku. Penerangan jalan itu berasal dari lampu-lampu belakang rumah warga, tidak terlalu terang tapi cukup memberikan rasa aman.
Lama tidak melewatinya, tadinya kupikir jembatan itu sudah disulap menjadi jembatan beton. Tapi mempertahankan sebuah jembatan lama bisa menjadi sebuah masalah nantinya. Seorang pria sedang menuntun sepadanya melintasi jembatan, dan kami berpapasan di muka jembatan. Aku melangkah dengan hati-hati sambil menyalakan handphone untuk menambah penerangan. Jembatan itu bergoyang, tapi aku cukup yakin jembatan ini tidak akan ambruk. Di ujung jembatan, lampu-lampu kecil warna-warni menerangi tulisan selamat datang di gapura kampung Dukuh Wetan. Di belakang gapura berdiri warung kopi tempat aku mampir sebentar untuk sekedar beramah tamah sambil berharap kemungkinan kenal dengan pemiliknya. Pemiliknya seorang laki-laki tua berkopiah hitam dengan beberapa janggut putih. Ia membuatkan kopi instan sambil menyapaku ramah. Tapi rupanya aku tidak kenal dengannya. Dia menyangka aku orang Jakarta karena tidak ada logat Jawa saat memperkenalkan diriku. Aku bilang aku asli dari kampung sebelah, lama meninggalkan kampung halaman dan merasa seperti orang baru saat itu. Dia mengeluarkan pisang goreng di atas piring dan menawarkannya gratis. Ketika kukatakan aku baru tiba dari Jerman, dia langsung mencecarku dengan rentetan pertanyaan: Bagaimana rasanya naik pesawat? Apa pekerjaanku di sana? Berapa gajiku? Apakah anaknya bisa ikut kerja disana? dan sederet pertanyaan lain tanpa memberiku kesempatan bertanya tentang keadaan kampung halamanku. Hampir satu setengah jam aku berada di sana, menyisakan setengah gelas kopi yang terlanjur dingin. Aku meninggalkan tempat itu menjelang jam sembilan.
Langit bersinar bersih, kelelawar bertebaran di hadapan bulan. Rumah-rumah penduduk masih seperti dulu, berjarak dan memiliki halaman luas, namun dengan jalannya sudah diaspal dan bisa dilalui dua truk kecil. Bahuku mulai terasa pegal, aku berhenti sebentar dan menurunkan ransel. Perjalananku kira-kira bersisa empat puluh lima menit lagi, namun bisa lebih singkat jika naik becak. Tapi tidak ada becak di sana. Para pemilik becak sudah mengunci becaknya di depan rumah. Sudah jam setengah sepuluh, beberapa orang meninggalkan musholla, mungkin ada pengajian atau rapat warga. Aku menyapa mereka dan mereka membalasnya dengan ramah.
Aku menapaki jalan tanah yang menunjukkan batas wilayah kampung Dukuh Wetan ditandai dengan tugu kecil bertuliskan Anda Memasuki Wilayah Desa Kecapi. Angin berhembus pelan, cukup membuat bulu-bulu tangan berdiri, suara burung malam menyambut kedatanganku, daun-daun kering berserakan sepanjang jalan. Tidak ada tanda-tanda keramaian, pohon-pohon mengulur dahan-dahannya menutup tulisan selamat datang. Cat gapura mengelupas, terlihat usang dan banyak coretan disana-sini. Sebuah bulatan cahaya terlihat di kejauhan, mendekat ke arahku. Dia pedagang ronde, lilin di pojok atas depan gerobaknya sebagai penerang jalan. Pedagang itu memakai topi caping, cahaya lilin tidak cukup memberi kejelasan wajahnya, berlalu begitu saja dan menghilang dalam kegelapan.
Masih pukul delapan dan tidak ada sinyal di tempat itu. Aneh, mengapa jam handphone menunjukkan pukul delapan? Aku mengarahkan tanganku ke berbagai tempat mencari sinyal. Tapi tetap tidak kudapatkan.
Aku sedang mengutak-utik handphone ketika seseorang datang dari arah belakang menyenggol lenganku dan hampir saja membuatku menjatuhkan handphone-ku. Seorang anak kecil sedang berlari seperti sedang dikejar-kejar sesuatu dan lenyap begitu saja. Tidak berapa lama terdengar bunyi bergemerisik memecah kumpulan dedaunan yang berasal dari arah belakangku, seperti orang berlari, jumlahnya mungkin lebih dari tiga orang dan kemungkinan sedang mengejar anak tadi. Aku menyingkir ke pinggir jalan, membiarkan mereka lewat di hadapanku. Tapi hanya angin yang berhembus kencang di wajahku.
Seekor tupai berlari di ranting pohon, melompat ke dahan pohon lain, burung-burung beterbangan terganggu dengan kehadiran tupai. Di bawah salah satu pohon besar seorang wanita menunggu dagangannya sambil mengipas-ipas sate di atas panggangan. Aku mendatanginya, berjongkok di hadapannya dan langsung mengambil satu tusuk sate di hadapanku seperti kebiasaanku makan sate waktu remaja. Sate yang enak, lalu aku mengambil satu lagi dan membayarnya. Tapi wanita itu tidak mengambil uang yang kuberikan. Dia bahkan tidak melihatku, wajahnya terus menunduk sambil mengipas-ipas sate. Kuletakkan uangnya di atas sebuah mangkuk kosong dan bangkit berdiri. Aku melangkah dengan ragu, berpikir ada sesuatu yang aneh dengan wanita itu. Setelah cukup jauh melangkah, kupalingkan wajahku ke arah wanita tadi. Tampak dua ekor anjing sedang memakan sate dagangannya. Tapi alih-alih mengusir anjing-anjing itu, ia malah membiarkannya sambil terus melakukan kegiatannya mengipas-ipas sate. Tiba-tiba aku ingin muntah. Kumasukkan jari telunjukku kedalam kerongkongan, membuatku terbatuk-batuk namun sate itu sudah terlanjur masuk ke perut. Aku mengambil minuman dari dalam ransel, minum beberapa teguk hingga tenggorokanku terasa bersih. Aku meludah beberapa kali, terus meludah sepanjang jalan. Kejadian itu masih terbayang di kepala dan susah mengalihkan pikiranku ke hal lain.
Aku mulai memasuki daerah perumahan. Satu rumah berjarak dengan rumah lainnya diterangi sebuah lampu redup menempel di dinding. Tapi Itu bukan lampu listrik, melainkan lampu semprong. Seorang laki-laki sedang mengisap rokoknya di depan salah satu rumah, mengawasiku. Aku tidak melihat jelas wajahnya, dan aku yakin, semakin dekat dengannya tidak kulihat laki-laki itu memiliki wajah! Aku langsung berlari meninggalkan tempat itu secepatnya dan sejauh-jauhnya. Sebuah undakan hampir membuatku terjatuh, tapi aku berhasil menyeimbangkan diri dan terus berlari.
Tidak ada yang mengikutiku dan tidak ada siapapun di tempat ini. Kulepas ransel dan mengatur nafas. Sial, kenapa jadi begini? Aku bahkan tidak mengenali kampung halaman sendiri. Dimana rumahku? Dimana rumah para tetangga? Dimana musholla dan empangnya haji Yunus? Kemudian aku bangkit dari ketakutanku dan berusaha mengumpulkan keberanian.
Secercah cahaya muncul dari persimpangan jalan, seseorang membawa obor mendekatiku, tapi orang itu berlalu begitu saja tanpa menyapaku. Aku sedikit lebih tenang dan masih berdiri tegak di tempat itu meski ketenangan itu membawaku kepada situasi yang lebih mengerikan.
Aku berada di tengah-tengah kuburan. Tidak ada kuburan sebanyak ini di kampungku. Suatu yang buruk sedang terjadi tempatku, atau, hanya terjadi pada diriku. Aku berjalan tanpa tahu kemana harus melangkah. Pohon-pohon bergoyang memainkan daun-daunnya, kelelawar berputar-putar di atas sebuah bangunan kecil di tengah-tengah kuburan. Lolongan serigala bersahutan di kejauhan. Angin berhembus kencang di wajahku seiring samar-samar kulihat orang-orang berdatangan dari segala penjuru berdatangan mendekatiku dengan masing-masing membawa obor yang digunakan lebih untuk menerangi wajah mereka ketimbang penerang jalan sehingga bisa terlihat jelas bahwa mereka sama sekali tidak memiliki wajah!
Mendadak pandanganku buram, semakin buram dan semuanya berlangsung cepat tanpa satu pun kuingat apa yang mereka lakukan kepadaku.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, tapi seseorang membangunkanku, lalu menepuk punggungku dan memanggilku dengan suara gemetar. Aku bisa merasakan nafasnya di leherku dan ketakutannya. Dia memintaku menunjukkan jalan keluar dari tempat itu, dan mengatakan, sama seperti yang pernah kualami, bahwa seseorang tanpa wajah sedang mengejarnya. Oh, aku menjadi kasihan padanya. Aku mengangguk memberi tanda akan berkata akan membantunya. Dan sesaat kemudian aku tidak merasakan nafasnya lagi, tidak juga ketakutannya. Kupalingkan wajahku padanya dan tersenyum tanpa senyum yang bisa dilihatnya, lalu berkata:
"Apakah wajahnya seperti ini?"
***
Penulis: Ali Reza | Teks | Pic
0 komentar