Saturday, November 17, 2012

Cerpen Horor: A Deadly Game

Namaku adalah Zero Evans, kisahku ini adalah kisah nyata yang pernah terjadi. Kejadian ini membuatku phobia akan game, kehilangan teman di depan matamu sendiri dan kau tidak bisa membantunya, kau tidak bisa menolongnya, yang bisa kau lakukan hanya duduk diam dan menyaksikan kematiannya.

Aku sangat suka bermain game console PSX yang nge-trend waktu itu, tapi aku mampu memanage waktu dengan baik sehingga tidak ada masalah dengan nilai-nilaiku, terbukti aku bukan seorang pemalas. Teman-temanku menjulukiku Gamer yang Jenius, karena aku yang begitu pendiam dan pemalu saat di sekolah seolah memiliki kepribadian ganda saat sedang bermain game. Satu-satunya sainganku adalah Radityo Putrado, dia murid yang pemalas, suka tidur dikelas, prestasinya adalah hasil nyontek, yang paling memuakan lagi ia sering terlibat dalam masalah.

Aku tidak tahu persis tentang keluarganya namun ia selalu diantar dengan limosin putih dengan 16 pintu di satu sisi dan memiliki bodyguard yang bersenjatakan kaliber .9mm. Semua orang takut kepadanya, namun aku tidak takut sama sekali padanya, aku menyeganinya karena dia adalah idolaku. Walaupun semua sifat buruk pada dirinya membuatku muak, namun ada satu hal yang membuatku menyanjungnya sampai ke langit, dia adalah pemain game hebat. Berjejer piala-piala yang terkurung oleh tirai kaca yang bertuliskan prestasi murid. Yang dapat aku sumbangkan hanya 2 piala yaitu juara 1 Olimpiade Matematika dan Bahasa Inggris, namun dia sudah menempatkan 7 piala dengan tema game. Salah satunya puala juara 1 WCG game FIFA 2005 mengalahkan Argentina dan Perancis, menakjubkan. Ia pun memiliki game-game yang jarang dirilis dipasaran seperti Disaster Report, Glorious dan lainnya. Dia mendapatkannya dari hadiah, penghargaan atau bahkan kekayaannya.

Suatu hari, Radit menghadangku dikoridor kelas dan menyapaku dengan senyum terlukis diwajahnya, aku berbalik menyapanya namun aku tidak memedulikannya dan segera melanjutkan perjalananku menuju kelas, tapi ia kembali menghadangku, padahal aku sudah sangat ingin melahap roti yang kubeli dikantin.

“Buru-buru sekali sepertinya, kau ingin kekelaskan?” tanyanya gak nyantai.

“Ya...kau tidak lihat?" kataku sambil menunjukan seplastik roti coklat ditanganku, "katakan apa maumu Radit?” tanyaku dengan kesal.

“Mauku? Semua kemauanku sudah terpenuhi Zero, itu karena ayahku adalah anggota Yakuza” jawabnya tenang.

Aku langsung kaget sekaget-kagetnya mendengar nama Yakuza, ragaku merinding disko, roti yang ada digenggamanku nyaris lepas, keringat membasahi seluruh kulit, belum lagi kakiku gemetaran.

“Yaaa... Yaa... Yakuza katamu?”

“Ya, tapi aku mohon jangan bilang kepada siapapun, bisakan?”
           
“Ya tentu saja, aku takkan bilang pada siapapun”, ucapku sambil tersenyum ketakutan.

Walau takut aku harus berani, aku harus memperlihatkan padanya kejantananku, karena aku tidak mau diremehkan olehnya. Yakuza memang kriminal yang kebal hukum, diincar oleh mereka maka habislah sudah, namun Ayahnya yang Yakuza, sedangkan dia hanyalah anaknya, lagipula badannya kecil, bisa saja sekarang kubanting dia dan kupatahkan kedua tangannya, tapi kalau dia meminta bantuan kepada ayahnya maka aku.... akhh salah! Maksudku, maka seluruh keluargaku pasti akan mati, tentu saja termasuk aku.

“Oiya, kudengar kau menyukai game?aku punya hadiah spesial untukmu”, katanya serius sambil mengambil sesuatu dari tas kecilnya dan ia memperlihatkan padaku dua game console yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Ini adalah game terlangka, game ini baru terliris 3 disc, yang memilikinya hanya si pembuat game, aku dan satu lagi adalah kamu, ini adalah pemberianku untuk mu”.
           
“Serius kamu?", dengan sangat gembira menerimanya. "Terima kasih, budimu akan ku balas, sepulang nanti aku akan langsung memainkan game ini”.

“JAAAAANGAAAAAAANNNNN!!!”, ia berteriak keras, nggak apa-apa sih tapi kuahnya itu loh nggak nyantai.

“Memangnya kenapa? kau memberinya untuk dimainkan kan?”, tanyaku heran.
 
“Ya, aku memang memberinya untuk itu, tapi aku punya maksud lain, kita akan bertaruh, yang terhebat maka dia yang akan menang”, katanya semakin serius, sedangkan aku malah tambah heran. Bertaruh hanya untuk game? dia sungguh gila, tapi aku mengerti, dia mungkin ingin mengajakku bertanding, siapa yang dapat menamatkan game ini paling cepat maka ia yang menang, iyakan?
  
“Baiklah, tapi kenapa?”, aku bertanya penasaran.

“Masih belum mengerti juga? Baiklah akan ku jelaskan, begini kawanku, kau dan aku sama-sama pemain game hebat, kau dijuluki jenius dan kau tahu apa julukanku? Aku dijuluki Dewa, itu karena aku hebat”, terucap perkataan sombong liarnya.
            
“Baiklah, akan ku uji sedewa apa kau dalam bermain game”, kataku meledeknya.
          
“Harusnya aku yang berkata begitu, sejenius apa kau saat bermain game”, sambil tersenyum licik.

“Lalu, bagaimana caranya bertarung dengan adil?”
 
“Begini, aku akan mengatur semuanya, tolong dengarkan ucapanku baik-baik, sekarang hari Selasa, kau hanya diperbolehkan bermain game hari Sabtu kan? maka kita akan bermain game Sabtu depan, tepatnya tanggal 6, mumpung ini bulan Juni maka akan pas dengan rencanaku, kita main saat tanggal menunjukkan 06-06-2006 atau 6-6-6”, ia menjelaskan. “Kita harus bermain tepat pada pukul 6 sore, tak boleh kurang ,tak boleh lebih, bahkan detiknyapun harus tepat menunjuk kearah angka 12”, sambungnya.

"Baiklah", beda dihati beda di lisan. Aku berfikir untuk langsung memainkannya pasca sekolah.

“Bermainlah jujur kawan, mainlah pada tanggal yang sudah ditetapkan, itu namanya aturan, patuhi aturan itu”.

Aku langsung shock, dia seperti tahu apa yang ku sedang ku pikirkan. “Baik, tapi kenapa harus serba enam sih?”.

“Lihat judulnya, maka kau akan mengerti, kita ini sedang membicarakan game kematian”.

Karena penasaran aku melihat cover game itu, yang terlihat olehku hanya cover hitam dengan gambar lingkaran dan angka 666 berbentuk segitiga dan bertuliskan “Dari Surga Menuju Neraka”, anehnya dibalik itu semua terdapat siluet muka yang sedang tertawa, tapi itu bukanlah wajah manusia, game macam apa yang covernya seseram ini? dan apa maksud ucapannya, menurutku ini semua bodoh sekali, tapi kalau dilihat baik-baik itu adalah siluet wajah iblis saat sedang tertawa. "Ya... ya... aku mengerti, semoga yang terbaik yang menang”, kataku kesal.

“Ya... aku setuju, tapi dengarlah, simpan baik-baik game ini, jangan sampai hilang ataupun rusak dan jangan main sebelum waktunya, aku tahu kau amatlah penasaran dengan game ini, begitu juga denganku, kau tahu tidak, pembuat game ini meninggal sebelum menguji coba gamenya karena kecelakaan, padahal ia janji pada asistennya kalau akan mengujinya pada pukul 14.00 tapi ia tewas, ia tertabrak oleh mobil dan mobilnya jatuh kejurang sebelum meledak dan menghanguskannya, ia mati tepat 5 menit sebelum sampai pada pukul 14.00 dan akhirnya yang menguji coba game ini adalah asistennya, kau tahu apa yang ia lihat?”.

“Mengerikan sekali,apa yang ia lihat?”, tanyaku penasaran dan gemetaran.

“Akupun tidak tahu apa yang ia lihat, tapi satu hal, ia bilang game ini game yang dilarang keberadaannya, keberadaan game ini akan menimbulkan ketakutan dan trauma bagi pemainnya, game yang akan memenuhi matamu dengan genangan air mata kengerian, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi dia serius mengatakannya”.

“Menyeramkan, tapi menarik, aku akan berusaha keras untuk mengalahkanmu”.

“Baiklah, sama halnya denganku, aku akan pertaruhkan segenap jiwa dan ragaku bahkan nyawaku demi memenangkannya, bagi yang kalah, gelarnya akan dicabut”.

“Baiklah, aku juga sama jadi bersiaplah, katakan selamat tinggal pada gelarmu”.

“Kita lihat saja, telepon aku kalau sudah nyaris jam 6, aku sudah membatalkan semua janjiku pada siapapun pada hari itu, jadi aku tinggal menunggu datangnya jam 6 saja didepan console, tapi belum tentu denganmu, kau memiliki banyak teman kan? teleponmu menandakan kau ada dirumah dan bersiap untuk bermain, selamat tinggal”.

“Baik, selamat tinggal”

Disaat kepergiannya, ia masih menatapku dengan tersenyum licik, seperti iblis dicover ini saja, karena aku masih takut dengan ceritanya aku segera lari kekelas. Aku duduk dibangku paling belakang, aku menaruh game itu diatas mejaku, lalu aku memakan roti coklat yang nikmat, tapi ada sedikit masalah, seharusnya aku masih bisa melihat siluet iblis yang menyeramkan itu, namun sekarang aku tidak dapat melihatnya. Jangan-jangan aku mengigau saat melihatnya, tapi tidak mungkin, aku jelas melihatnya sedang tertawa gembira. Sepulang sekolah aku langsung masuk ke kamar, tiba-tiba aku penasaran dengan game pemberian Radit, aku jadi ingin segera memainkannya. Secara spontan aku menyalakan Televisi dan konsole ku, kutatap game ini baik-baik, mataku melotot tidak karuan, kubuka dan kuambil CD didalamnya, kumasukan dengan cepat ke Disc Reader, aku melakukannya dengan cepat dan tanpa sadar, sekarang hanya tinggal menekan tombol “START” dan hilang sudah semua rasa penasaranku, namun CKLAKK SYUUUT! Suasana berubah menjadi gelap gulita, tiba-tiba saja mati lampu dan saat itu juga aku tersadar, "ASTAGA! Apa yang telah kulakukan?", saking takutnya aku langsung melompat ke kasur. Didalam hatiku yang ketakutan aku terus berteriak, “Tidak boleh, aku harus sabar... ya... benar... aku harus bersabar, aku pasti dimarahi ibu kalau aku ketahuan bermain game dihari biasa, aku harus sabar, aku bukanlah pecundang, aku harus menang dengan jujur, aku sudah terlanjur bertaruh dengan Radit”. Ku buang semua rasa penasaranku, aku berusaha menahannya sekeras mungkin sampai tanggal 6. Aku melalui hari tanpa tersenyum, bahkan aku tidak menyapa siapapun, aku tidak fokus dengan pelajaran yang diajarkan guruku, tidak ada satupun pr yang aku kerjakan. Kalau sudah pulang, aku menghabiskan seluruh waktu dengan bersembunyi dibalik selimut, hampir setiap malam aku insomnia, sekalipun bisa tidur, aku selalu mengalami mimpi yang buruk. Mentalku benar-benar hancur, aku sadar itu.

KRING!! KRING!! Alarm ku menyala, aku bangun dipagi hari dengan perasaan kaget, akhirnya tiba juga tanggal yang telah ditetapkan, mataku tertuju pada tv dan konsol. Aku langsung turun ke bawah untuk menyegarkan badanku, lalu tiba-tiba telepon berdering, aku pikir Radit meneleponku namun ternyata bukan darinya, yang menghubungiku adalah Ben, teman nongkrongku, dengan semangat ia mengajakku Reuni Akbar, aku menerimanya asalkan dapat pulang kerumah sebelum jam 6. Aku segera mandi dan bersiap-siap pergi dari rumah. Aku tiba di rumah Ben tepat pada pukul setengah 10, jujur saja, aku tidak bisa konsen dengan acara Reuni tersebut, teman-temanku menggodaiku, tapi moodku sedang buruk dan kacau. Aku pergi ke spot yang terhindar dari keramaian, saat itu aku duduk di bawah pohon rindang, tanpa sadar aku tertidur.

Waktu bangun aku masih melihat teman-temanku yang bersenang-senang dibawah lampu emas, langit mulai gelap, aku merasa tidak tenang, aku berlari mencari temanku Ben, tapi ia malah menepukku dari belakang

“Ben, akhirnya aku menemukanmu”,ucapku dengan panik.

“Kau mencariku? ada apa sih?”.

“Aku tahu ini pesta besar, tapi aku sungguh ingin pulang, seperti yang sudah kukatakan ditelepon itu”.

“Masalah jam 6 itu?”, ia berkata sambil berbalik dan bermaskud pergi meninggalkanku.

“Aku serius, aku harus pulang jam 6, aku sudah berjanji, sekarang jam berapa?”, aku menarik tangannya dan memohon kepadanya.

“Oke-oke sabar sedikit kenapa sih, jamku menunjukan pukul setengah 6, artinya masih ada setengah jam lagi untukmu”, ia berkata sambil menepuk tanganku dan melihat jam tangannya.

“Apaaa?!!! aku pasti terlambat! astaga... ya Tuhan... tolonglah aku”.

“Kau berlebihan, rumahmu dekatkan? kalau naik bus mungkin 15 menit saja sudah sampai, memangnya ada apa sih?”.

“Ya memang, tapi dari sini ke halte bus butuh 10 menit, lalu dari halte pemberhentianku nanti ke rumah butuh 25 menit, itu artinya aku pasti terlambat, aku mohon ini janji yang sangat penting, antarkan aku dengan kendaraanmu”, aku betul-betul memohon kepada Ben.

“Tapi aku tidak bisa mengantarmu, supirku pulang kampung, maafkan aku, aku sama sekali tidak bisa membantumu”, sambil keanehan dengan sikapku.

“Tidak juga Zero, aku bisa membantumu”, seseorang dari belakang kami mengusulkan sesuatu padaku, ia temanku dan Ben, namanya Hasan Azai. Ia benar-benar baik, ia menawarkanku sepedanya untuk kupakai pulang. "Kau Zero kan? rumahmu dan rumahku sangat berdekatan, hanya beda 2 gangkan? pakai saja sepedaku, aku menaruhnya diparkiran nomor 3 dari pojok kiri, titipkan saja dirumahmu dulu, sepulangnya dari sini aku akan mampir untuk mengambilnya”.

“Baiklah terima kasih, aku tidak tahu harus berkata apa, kebaikanmu pastilah akan kubalas”, ujarku semangat, namun ia malah tersenyum.

“Sebaiknya kau cepat pergi, kau bilang ini janji penting atau apalah itu yang membuatmu tidur sepanjang acara”, teriak Ben.

“Maafkan aku Ben, aku tidak bermaksud demikian, terima kasih banyak atas kebaikanmu San, baiklah Ben  aku pamit dulu”.

“Ya hati-hati Zero, semoga berhasil”.

Sepeda gunung yang kunaiki begitu cepat, membuatku bersemangat, kukayuh sepeda ini secepat angin sore. Kelelawar berterbangan dilangit mencari sarapan, sedikit demi sedikit kegelapan menyelimuti langit, awan mulai menghitam dan pandangan menjadi redup, segelintir cahaya menerangi jalan namun itu semua malah meyakinkanku kalau aku akan pulang terlambat. Sedang asyik-asyiknya mengayuh, aku terpaksa berhenti karena lampu merah bersinar menyilaukan mataku, membuatku semakin berfikir negatif, pikiranku kacau karena terus dihantui waktu, terlintas difikiranku untuk berbuat curang, aku hendak menerobos, tanpa pikir panjang kukayuh sepeda temanku ini namun... Polisi lalu lintas menghadangku dan meniupi telingaku dengan peluit, kencang sekali tiupannya, bahkan membuatku jatuh dari sepeda, BRUUUMM BRUUMMM WUUUUUSSSS! lalu melintang mobil berkecepatan tinggi, aku tidak peduli itu, tatapanku berubah menjadi kesal kepada polisi, melihat tampangku yang menyedihkan polisi itu malah menegurku, membuatku tambah kesal.

Lampu berganti, jam pun berputar, 5 menit menuju jam 6, namun aku masih bersemangat mengayuh sepeda sambil berharap pada kesempatan. Tidak lama kemudian, rumah dengan pagar putih penuh dengan sampah dedaunan itu adalah rumahku, kulihat jam ternyata masih belum, 40 detik lagi sebelum jam 6, aku membanting sepeda temanku diluar, ku dobrak pintu depan dan masuk tanpa melepas alas kaki, buru-buru aku masuk kekamarku dan meraih console, terakhir ku tekan tombol “START”, tepat sekali pukul 06.00 seperti yang dijanjikan, aku langsung gemetaran walau sedang duduk, saat itu aku lupa untuk menghubungi Radit, karena dari awal aku sudah menduga kalau Radit pasti sedang duduk didepan konsolnya, sama seperti posisiku sekarang. Ketakutanku semakin memuncak saat aku mendegar alunan lagu dari game yang begitu mengerikan, lalu terdengar samar-samar suara teriakan yang menunjukan rasa kesakitan. Aku mendekatkan mukaku ke layar kaca TV lalu tiba-tiba, “AAAAAAARRGGGHHHHHH!!!!!!!!!!!!!!”.

Aku terpental kebelakang, teriakan dari suara TV membuatku kaget, namun aku memejamkan mataku, aku sangat takut, tapi aku beranikan diri untuk melihat TV dan sekarang aku yang berteriak, “AAASTAGAAAA!!!RAAAADIIIIIITTT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!".

Sungguh mengerikan, tiba-tiba saja TV game berubah menjadi TV horror, paling tidak seperti Video accident, layar televisi berubah dari layar hitam menjadi wajah penuh darah, dia bukanlah hantu tapi dia adalah Radit yang sedang terluka parah, ia berteriak minta tolong, suaranya pelan sekali, pendarahan dikepalanya pasti menyiksanya, aku sungguh sangat takut dan tidak tega tapi apa yang bisa kulakukan? tidak ada! aku hanya bisa melihatnya sambil menelan ludah. Mukanya hancur, darah mengalir deras dari lubang besar tengkoraknya, muka bagian kirinya rusak parah, bahkan aku tidak melihat mata kirinya lagi, bisa dibilang wajahnya sudah remuk seperti perkedel ke injek truk gandeng, menyeramkan sekali, otaknya pun keluar dari retakan tempurung kepalanya, belum lagi rahang bawahnya lepas, percikan darah terlempar kelayar kaca, ia melambai-lambai seperti meminta pertolongan padaku namun aku hanya bisa menggigit jariku sambil menagis. Ia memang terlihat seperti Radit, tapi apa mungkin ia adalah Radit? apakah ia benar-benar Radit? siapapun dia, aku sangat takut. KRING!! KRINGG!! Berdering suara telepon, ibu ku segera menjawabnya, dengan perasaan takut aku langsung keluar dari kamarku, meninggalkan TV paling mengerikan yang pernah kulihat, sampai dibawah aku melihat ibuku yang sedang bersedih.

“Ibu? Apakah ada yang salah?".

“Ada berita duka Zero, telepon barusan dari kepolisian, mereka bilang teman sekolahmu Radityo Putrado dikabarkan tewas tertabrak mobil”.

“Apa? Innalillahi wa inna’illaihi rajiun," hatiku tertekuk, apa yang kulihat barusan itu nyata? Jadi yang ada di TV itu benar-benar Radit, aku langsung kembali ke kamar dan melihat ke TV sekali lagi, namun yang ada di TV itu hanya tulisan yang bertuliskan, "Selamat tinggal! Kaulah yang menang, Zero". Lalu terjadi ledakan besar pada konsoleku sehingga konsoleku mengeluarkan asap, baik konsole maupun game rusak seketika, namun aku tidak merasa sedih, karena aku menang, dibalik rasa sedih dan ketakutanku, aku merasa menang. Aku naik ke atas kasur dan menutupi tubuhku dengan selimut, aku merasa terpukul sekali akibat kejadian ini, walaupun aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Sepuluh Tahun telah berlalu, insiden ini tidak akan pernah aku lupakan, kalau diingat-ingat lagi, Radit pernah mengatakan kalau ini adalah “GAME KEMATIAN”, lalu “KITA AKAN BERTARUH, BUKAN BERTANDING”, terlebih lagi ia bilang “YANG BERHASIL MEMAINKAN GAME INI TEPAT WAKTU, IA YANG MENANG” dan yang terakhir adalah “PERTARUHKAN SEGENAP JIWA DAN RAGA, BAHKAN NYAWA DEMI KEMENANGAN, YANG KALAH GELAR AKAN DICABUT”, berarti permainannya sudah dimulai saat masing masing dari kami menyimpan game itu, aku dibilang menang karena aku dapat bermain tepat waktu, iyakan? Tanggal 6 bulan 6 tahun 2006, tanggal yang kami janjikan menjadi hari kematian Radit, sekarang aku mulai mengerti semuanya, pantas saja ia menyebutnya game kematian, kalah berarti mati dan yang dicabut bukan gelar tapi nyawa. Yang menyelamatkanku dari kematian adalah polisi galak yang menghadangku di lampu merah, kalau tidak ada dia aku akan tertabrak mobil dan akulah yang akan muncul di TV tapi karena aku yang menang dan Radit yang kalah, maka akulah yang menyaksikan Radit sekarat melalui game itu. Melihat seorang teman sekarat dan akhirnya mati didepan mata walaupun sebenarnya ia sangat jauh darimu, seperti tayangan live. Mati karena bermain game? apa mungkin? tapi ini semua telah terjadi. Mungkin tanpa sadar sang iblis telah ikut serta dalam permainan ini dan menghukum pemain yang kalah bahkan sebenarnya baru-baru ini aku baru tahu kalau 06-06-2006 atau 666 adalah angka iblis.[]

Penulis: Zero Evans | Teks

0 komentar