***
Ini adalah cerita pada saat libur lebaran tahun lalu. Aku datang mengunjungi rumah uwa' Deden, salah satu pamanku yang tinggal di Cisaat, Sukabumi. Pada tahun-tahun sebelumnya, beliau adalah orang yang selalu datang bersilaturahmi ke rumahku di Bandung setiap lebaran tiba. Ia juga sering membawakan oleh-oleh untuk setiap keponakannya. Oleh karena itu kehadirannya selalu ditunggu namun tidak untuk setahun belakangan ini.
Kondisi uwa' Deden akhir-akhir ini menurun. Ia sering sakit-sakitan dan masuk angin. Pekerjaanya di bengkel juga sering terbengkalai. Akibatnya, ia tak mempunyai pemasukan yang cukup untuk membiayai perjalanannya bersilaturahmi. Orang tuaku bersimpati pada kondisinya. Mereka ingin mengunjuni rumahnya bersama-sama namun secara kebetulan ibu sedang tidak sehat, sedangkan Nino bersiap menghadapi ujian sekolah. Ayah pun tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Sebagai anak sulung, aku bersedia mewakili keluargaku untuk mengunjunginya. Harapanku semoga uwa' senang dengan kedatanganku dan lekas sembuh supaya bisa bersilaturahmi seperti dulu lagi.
Terus terang aku baru pertama kali mengunjungi rumah uwa' Deden di Sukabumi. Beliau tinggal di rumah milik mertuanya, sebuah rumah tua dengan unsur Belanda. Meski hanya satu lantai, rumahnya cukup besar dan halamannya pun luas juga. Sayang di beberapa bagian tak terawat. Aku melihat kayunya lapuk, pagar berkarat, dan furnitur yang berdebu. Halamannya juga ditumbuhi ilalang dan rumput liar yang tinggi. Tetapi semua itu aku maklumi mengingat kondisi uwa' yang kurang sehat.
Saat aku tiba, uwa' Deden dan istrinya menyambutku dengan hangat. Menyuguhkan teh manis hangat, menawarkan manisan Sukabumi, menanyakan kabarku dan keluar serta lain sebagainya. Uwa' sendiri terlihat segar walaupun ia masih batuk-batuk. Aku senang bisa berkunjung ke sini. Rencanaku saat itu akan menginap selama dua malam di sana.
Uwa' Deden dan istrinya memiliki seorang anak perempuan yang masih duduk di kelas lima SD bernama Wiwid. Sayangnya ia tidak terlalu menyambutku karena sifatnya yang pendiam dan agak tertutup. Ia bahkan hampir tidak menyapaku kecuali disuruh ibunya. Aktifitasnya selain sekolah hanya tidur, nonton tv, makan, dan bermain boneka sendiri. Aku ingin mendekatinya tetapi ia sepertinya masih menutup diri. Sebenarnya aku memaklumi sifatnya namun entah kenapa Wiwid terkesan misterius bagiku, terutama saat ia sering berbicara sendiri dengan bonekanya. Aku merasa boneka itu seperti hidup.
***
Suasana rumah uwa' Deden di hari pertama kunjunganku ini cukup kondusif. Meskipun banyak perabotan antik toh tidak mengganggu kenyamananku tinggal di sana. Namun ada satu ruangan yang entah kenapa aku merasakan sesuatu yang tidak enak. Ruangan itu adalah kamar mandi yang terletak di bagian paling belakang rumah.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kamar mandi itu namun ketika aku memasukinya, aku merasakan aura aneh yang membuatku merinding. Itu adalah toilet tua yang terpasang di pojok ruangan, berada diagonal dengan bak mandi. Aku mencirikan usianya yang sudah uzur dari bentuknya dimana tangki pembilasan berada tinggi di atas dudukan toilet yang disambungkan dengan pipa panjang. Sepertinya masih menggunakan mekanisme gravitasi untuk menyemburkan air pembilas. Aku membayangkan jika aku sedang duduk di toilet maka tangki itu akan tepat di atas kepalaku dan sewaktu-waktu akan menimpaku atau terkena tumpahan air yang meluap. Benar-benar membuatku merinding. Aku berharap tidak akan pernah duduk di sana.
Di bagian depan tangki pembilasan yang terbuat dari plat besi berkarat itu terpahat tulisan "Lindeteeves", aku tak tahu artinya tapi mungkin itu adalah nama perusahaan pembuatnya dan sepertinya berasal dari Belanda. Masih bagian depan tangki, di sisi sebelah kanan menjuntai rantai tuas penyembur air. Aku ingin tahu bagaimana toilet ini bekerja tetapi di saat yang sama aku takut untuk menariknya. Namun karena rasa penasaranku lebih besar, aku mengangkat tanganku dengan perlahan dan penuh ketegangan. Saat ia menggapai tuas, aku berhenti sejenak, menahan napas dan kutarik.
..tak terjadi apa-apa..
Memang terdengar suara mekanisme katup dari dalam tangki, tapi tak ada suara air menyembur. Tangki itu kosong. Entah mengapa, aku merasa lega. Itu hanyalah sebuah toilet tua yang rusak, tak ada apa-apa di dalamnya.
***
Malam itu aku menonton tv bersama keluarga uwa' Deden. Di ruang hidup itu terdapat bale-bale dengan kasur di atasnya. Di sana, uwa' dan istrinya bersantai sedangkan aku duduk di bawahnya bersama Wiwid yang sedang mengerjakan tugas liburannya. Sesaat yang lalu uwa' membenarkan bahwa toilet yang di kamar mandi itu buatan Belanda. Alat itu memang sudah lama rusat dan tak terpakai. Kalau mau menggunakannya harus mengumpulkan air di ember melalui kran pompa atau menggayungnya dari bak mandi. Terdengar sangat masuk akal bagiku.
Suasana kemudian hening setelah uwa' kembali ke kamar bersama istrinya untuk beristirahat. Tak ada suara dari kami kecuali dari televisi. Kami kehilangan topik pembicaraan. Ini membuatku tak nyaman, terutama dengan Wiwid di sebelahku yang dari tadi diam saja. Aku ingin memulai obrolan dengannya tapi tak tahu dari mana. Bukannya tak berusaha tapi aku sudah mencoba menanyakan kehidupannya seperti sekolahnya, teman-temannya, dan lain-lain tapi percakapan itu singkat sekali. Ia hanya mencucapkan bahasa singkat seperti "ya", "tidak", "tidak tahu" dan sebagainya. Aku merasa seperti orang bodoh yang banyak bicara.
Karena sudah tak tahan lagi, akhirnya aku berbicara sendiri tanpa peduli dihiraukan atau tidak. Aku mengucapkan apa yang ada di kepalaku tentang toilet tua. Aku memulainya dengan menanyakan bagaimana perasaan Wiwid terhadap toilet itu, apakah ia merasa takut, atau biasa saja namun ia tidak menjawab. Kuputuskan untuk mengakhiri percakapan dengan mengakui bahwa diriku merasa takut dengan toilet itu dan tidak ingin masuk kamar mandi sendirian.
Saat itu aku berencana langsung tidur setelah mengakhiri percakapan karena kupikir ia tidak peduli denganku. Namun ternyata ia merespon. Mulanya aku merasa senang bisa saling bicara dengan Wiwid namun di luar dugaan, apa yang ia katakan tidak menyenangkan bagiku.
Ia berkata bahwa dirinya menghindari toilet itu. Setiap ingin buang air, ia selalu pergi ke kamar mandi musholla sebelah. Jika tak bisa keluar, ia lebih memilih menahannya. Saat kutanya mengapa demikian, Wiwid mengaku merasakan ada yang tak beres dengan toilet itu. Ada sesuatu di dalam tangki yang membuat toilet itu seolah hidup dan akan melahap siapapun yang menggunakannya.
Wiwid mengatakan hal yang buruk di saat yang tepat. Berkat dia, aku jadi ketakutan. Bahkan aku tak bisa tidur setelah mendengar ceritanya, terutama ucapannya sebelum ia masuk ke kamarnya. Anak itu mengingatkanku untuk tidak melihat ke atas jika menggunakan toilet, apapun yang terjadi dan aku berjanji pada diriku untuk tidak menggunakan toilet itu, apapun yang terjadi.
Namun janji tinggalah janji. Pada akhirnya aku terpaksa menggunakannya.
***
Malam itu adalah malam yang dingin. Aku berada di kamar kosong yang disediakan uwa' dan tidak bisa tidur. Pikiranku terus mengulang cerita Wiwid setiap kali memejamkan mata. Aku berusaha melupakannya tetapi tak berhasil, malah semakin gelisah. Hal ini membuatku semakin kedinginan.
Malam semakin larut dan perutku mulas. Aku tak tahu apa penyebabnya padahal tak ada makanan tajam yang menusuk perut saat makan malam tadi. Mungkinkah ini karena stres? Atau ada penyebab lain? Saat aku memikirkannya dan meringis, kurasakan seluruh ususku berkontraksi, memaksa untuk segera melakukan pelepasan. Aku tak punya pilihan lain.
Sambil memegang perut yang perih, aku berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Bukannya aku tak ingin menghindar dan menggunakan kamar mandi musholla tapi aku tak bisa keluar, pintunya terkunci. Tak mungkin aku membangunkan pemilik rumah hanya untuk menumpang buang air di tetangga dengan alasan anak kecil. Aku juga tak mungkin kuat menahannya semalaman dan jikalau dipaksakan, usiaku sudah terlalu tua untuk mengantisipasi kegagalan. Jadi, satu-satunya jalan adalah menghadapi ketakutanku sendiri. Aku berharap tak terjadi apa-apa dan tak berlangsung lama.
Lorong menuju kamar mandi terasa panjang, gelap dan dingin. Aku ingin cepat tiba di sana namun pada saat yang sama aku tak mau sampai di sana. Kegundahan menyelimuti perasaanku seiring langkah perjalananku. Walau begitu, aku tak sanggup menahan gejolak perutku ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang menarikku mendekati toilet tua itu.
Kamar mandi di tengah malam memancarkan aura yang lebih mencekam dibandingkan siang hari. pintu yang kusam itu seperti gerbang menuju alam lain yang belum pernah dan tidak ingin kulihat dan jendela yang buram di tengah seakan ada sesuatu yang mengintaiku dari baliknya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan cerita Wiwid dari kepalaku. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada toilet tua, itu cuma ketakutan anak kecil saja.
Satu hal yang membuatku lega adalah keberadaan saklar lampu di luar kamar mandi. Setidaknya mengurangi rasa takutku. Lampu neon berkedip-kedip beberapa saat sebelum akhirnya menyala terang sambil mengeluarkan dengung. Aku percaya tak akan terjadi apa-apa di sana.
Dengan menekan rasa takutku dalam-dalam, kubuka pintu kayu. Dia di sana, sebuah toilet Belanda tua masih berada di tempatnya. Kuharap ia bersedia kugunakan.
Aku menutup pintu, menurunkan celana, lalu duduk di atasnya. Dudukannya terasa dingin. Tanpa pikir panjang, kutekan otot perutku mengeluarkan ampas pencernaan yang tersisa di dubur. Terasa sedikit cair, sepertinya memang ada gangguan dalam pencernaan. Meskipun begitu aku merasa lega telah membuang sampah yang mengganggu.
Sudah cukup. Walau terasa masih ada yang tersisa di dalam kuputuskan untuk meninggalkan kamar mandi ini namun aku membuat kesalahan, aku lupa membawa tisu dan tidak ada air pembasuh. Untunglah tak jauh dari toilet ada keran pompa dan ember. Aku terpaksa menunggu di sini hingga air di dalam ember terisi penuh dari keran tersebut.
Ditemani suara cucuran air, aku mengamati suasana kamar mandi ini. Sangat sunyi, dan lembab. Dindingnya ada bekas aliran air kering dari atap. Lantainya penuh noda-noda dan bak mandinya besar serta tinggi. Airnya yang sangat gelap mencirikan banyak lumut di dasarnya karena jarang dibersihkan. Aku sejenak memperhatikannya, bak mandi itu seperti sumur yang tak terlihat dasarnya. Saat aku sedikit melamun, aku tersentak kaget karena mendengar suara cemplungan dari bak mandi. Refleks aku menoleh ke arahnya dan melihat permukan air beriak. Mencurigakan sekali, seperti ada sesuatu yang masuk ke dalam air.
Belum lama setelahnya, air keran berhenti mengucur dan meninggalkan suara udara mendesis. Aku heran mengapa air tiba-tiba habis padahal yang tertampung di ember masih sedikit. Rasanya ada sesuatu yang ganjil di sana. Terlebih lagi saat aku memperhatikan keran itu, buku kudukku berdiri. Suara desisan udara itu terdengar seperti seseorang yang berbisik "hsssssyyiiiiaaaaasshaaaaa....".
Aku sangat ketakutan. Aku ingin keluar dari sini. Kuputuskan untuk mengambil air dari bak mandi yang berada cukup jauh dari toilet. Aku tak peduli harus berjalan dengan pantat yang masih kotor. Paling tidak satu atau dua siraman sudah cukup asalkan tidak terasa lengket lagi.
Namun anehnya, aku tak bisa bangkit beridiri. Pantatku terasa berat untuk diangkat dan kakiku kesemutan. Aku tak bisa beranjak dari toilet ini seperti sesuatu memegang tubuhku. Aku benar-benar panik saat itu dan di tengah-tengah kerisauan tersebut, aku mendengar sesuatu di belakangku dan bulu kudukku berdiri tegak. Suara aliran air diikuti dengan tetesan di punggungku. Entah bagaimana, aku merasa tangki toilet terisi penuh. Artinya aku bisa membilas kotoran di bawah dengan menarik tuas yang tergantung di atasku.
Aku teringat ucapan terakhir Wiwid yang melarangku untuk melihat ke atas apapun yang terjadi, namun lagi-lagi rasa penasaran menguasai tubuhku. Aku ingin tahu apakah pembilasan toilet ini berfungsi atau tidak malam itu. Maka tanpa melihat ke atas, kuangkat lenganku ke arah tuas seharusnya berada. Di saat yang sama, pandanganku terus terpaku pada permukaan air bak mandi yang terus beriak padahal tak tetesan air. Aku benar-benar ketakutan hingga lupa untuk menutup mata.
Tanganku terus meraba udara sampai akhirnya berhasil mencapai tuas, tapi anehnya aku merasakan seperti tidak menggenggam kayu melainkan serat-serat benang tipis. Penasaranku semakin besar, kutarik saja apa yang kugenggam dan aku mendapatkan sesuatu yang menyerupai benang hitam panjang di tanganku. Saat itu aku tak menyadari bahwa itu adalah rambut, dan ketika aku menyadarinya, helai-helai rambut panjang lain turun berjuntaian di hadapanku.
Aku tak bisa berpikir apa-apa ketika semakin banyak rambut berjuntaian dan menutupi pandanganku. Aku pun tak bisa mengendalikan tubuh ketika kepalaku mendongak ke atas dan melihat sepasang mata merah membelalak pada wajah yang amat mengerikan menatapku. Saat itu aku serasa membeku. Aku tak bisa bernapas, aku tak bisa bergerak, aku tak bisa berteriak, bahkan aku tak bisa berkedip hingga ketika tangannya menjulur mencengkram wajahku.....semuanya menjadi gelap. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku setelah itu. Begitu tersadar, aku telah berada di kamarku kembali. Terbangun dari tidur dengan pakaian yang basah oleh keringat. Kupikir aku bermimpi buruk tapi rasanya sangat nyata. Aku bahkan masih bisa merasakan dingin sentuhan tangannya yang sedingin es.
***
Sepertinya itu bukan mimpi. Uwa' Deden menemukanku pingsan di kamar mandi subuh tadi. Khawatir akan kondisiku, ia membersihan tubuhku lalu membawaku ke kamarnya. Aku menceritakan kejadian semalam namun ia tampak tidak mempercayaiku. Beliau mengaku belum pernah mengalami kejadian seperti itu sampai saat ini. Saat kusampaikan tentang Wiwid, ia ternyata baru menyadari hal itu, karena anak itu sangat pendiam dan tak pernah menceritakan hal itu. Setiap putrinya pergi ke wc musholla, ia selalu beralasan toilet tersebut kotor dan ia tak suka.
Akibat kejadian itu, aku memutuskan untuk pulang ke Bandung dengan alasan maag kambuh. Memang tidak enak rasanya pulang lebih awal. Keluarga uwa' Deden juga menyayangkannya tapi aku merasa tak sanggup untuk mengalami peristiwa seperti ini lagi. Sebelum pulang aku memandang ke arah kamar mandi sejenak sambil merenung. Betapa misterius peristiwa yang kualami semalam bagaikan mimpi dan aku berharap itu benar-benar mimpi. Namun kenyataan menjawabnya. Tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka sendiri dan rambut-rambut tipis menjulur dari celahnya. Aku tak mau pikir panjang untuk segera meninggalkan rumah ini.
***
Sejak kejadian di Cisaat tersebut aku jadi trauma. Aku berusaha menghindari toilet bertangki pembilas. Aku tak peduli walaupun harus menggunakan toilet jongkok asalkan tak ada sesuatu yang muncul di belakangku namun usahaku tersebut lantas tak menyembuhkanku dari kenangan buruk itu. Makhluk penunggu toilet terus menghantuiku karena ia telah menggoreskan tanda di wajahku yang tak bisa hilang. Oleh sebab itu bila kau sedang duduk di toilet dan merasakan bulu kudukmu berdiri, jangan pernah mencoba menengok ke belakang karena makhluk penunggu toilet akan muncul di belakangmu.[]
Penulis: Ann Ruruei | Kemudian | Pic
0 komentar