Dalam film ini diceritakan penganut ilmu palasik itu adalah orang yang ingin hidup abadi dan mendapatkan kekayaan. Jelas settingnya Sumatera Barat. Diceritakan suatu keluarga, seorang ayah, ibu hamil dan seorang remaja putri berlibur ke sebuah villa. Mobilnya berplat BA (tanda kendaraan bermotor Sumatera Barat). Si istri memanggil suaminya dengan Uda (kakak dalam Bahasa Minang). Dalam beberapa degan musik tradisional Minang mengalun pelan. Hanya agak aneh, sekalipun remaja itu sekalipun memang anak tiri memanggil istri ayahnya sebagai Tante bukan Etek (bibi dalam budaya Minang).
Kelebihan film ini ini adalah ending yang tidak bisa ditebak. Tiga scene terakhir adalah yang paling menegangkan ketika si ibu hamil berhadapan dengan palasik dan bisa mengalahkannya. Namun bukan berarti persoalan selesai. Setelah cerita berakhir saya baru teringat cerita tutur keluarga saya bahwa palasik itu kerap sepasang. Klu sosok palasik itu ada di lukisan pria dan wanita yang berpakaian adat Minang menambah seramnya cerita ini, selain buku tentang ilmu palasik yang ditemukan ibu hamil itu di sebuah kamar dalam villa.
Akting Poppy Sovia sebagai si remaja putri tadinya saya kira hanya pemanis belaka. Namun menjelang ending pemeran tokoh bernama Novi ini memberikan kejutan. Penampilan dara kelahiran Sukabumi 23 September 1984 ini merupakan nilai plus lain film ini. Yang menjadi tanda tanya saya adalah buat apa lagu Nina Bobo jadi ilustrasi musik, bukankah musik Minang sudah cukup? Kalau menambah ilustrasi, sutradara bisa menambahkan ilustrasi animasi tentang cerita palasik singkat dalam kepercayaan orang Minang.
Wajang Koelit karya Chairun Nissa adalah segmen berikutnya yang menarik menurut saya. Dati opening scene cerita seorang guide pada Nicole, wartawati bule ketika menyaksikan pertunjukan wayang kulit di sebuah dusun di Jawa Tengah. “Wayang di kampung sering digunakan untuk ruwatan, baik ruwatan untuk kemenangan atau ruwatan menolak bala lewat Dewi Durga”
Mulanya Nicole tidak terlalu faham tentang aroma mistis dalam sebuah pertunjukkan wayang kulit, yang baik dalang maupun pesindennya semua perempuan. Sampai suatu ketika pertemuannya dengan Muni (dimainkan dengan baik oleh Sigi Wimala), salah seorang pesinden dan menemukan tusuk kondenya membawanya ke sebuah malapetaka yang tak disangkanya. Nicole berhadapan dengan kekuatan jahat yang menginginkan hidup abadi.
Wajang Koelit ceritanya kuat. Settingnya juga bagus, rumah berdiding bambu dengan lantai tanah khas perdesaan di Jawa, serta tatapan dingin para perempuan berkonde lebih menyeramkan daripada hantu perempuan berambut panjang kebanyakan film horror Indoensia yang make-upnya begitu-begitu saja. Ending ceritanya juga mengejutkan yang juga menjelaskan siapa si guide bule itu.
Tiga cerita lain sebetulnya juga tak kalah menarik. Namun dua di antaranya Kotak Musik (oleh Billy Christian) dan Loket oleh Harvan Agustriansyah sepertinya banyak dipenagruhi film horror Jepang-Korea. Kotak Musik menampilkan tokoh Farah (Luna Maya), seorang dosen dan peneliti yang menagmati fenomena kepercayaan supranatural namun dengan pendekatan ilmiah. Penemuannya pada sebuah kotak musik membuatnya bertemu sosok anak perempuan kecil yang membuatnya percaya agar bisa menyelamatkan dirinya.
Beberapa scene seperti penampakan anak kecil yang merangkak mundur, menarik kaki Farah, penampakan hantu cleaning service saya kira pengaruh horror Jepang atau korea. Bahkan juga horror dari Pang Brothers. Scene yang paling saya suka adalah opening dan ending cerita ketika awak akmera merekam sebuah bgaian ruangan yang menampakan hantu serupa. Yang berbeda ialah siapa sosoknya.
Loket begitu juga. Ceritanya pada suatu malam yang sepi, seorang petugas penjaga loket parkiran basement sebuah gedung mengalami kejadian aneh. Diawali dengan palang pintu loket yang tidak bisa terbuka. Bgeitu juag pertemuannya dengan sosok perempuan setenagh baya yang menyeramkan (dimainkan Bella Esperance). Pelan-pelan penonton digiring kpeada misteri siapa sebenarnya yang hantu penasaran dalam film itu.
Pasar Setan yang menjadi cerita pertama tidak terlalu istimewa. Karena cerita seram tentang orang hilang di gunung, sudah banyak digarap. Bahkan film petualangan seperti Pencarian Terakhir juga menampilkan hal mistis menyangkut bagaimana orang itu hilang. Pertemuan dengan mahluk dari dimensi lain (ada yang menyebutnya sebagai orang bunian) juga banyak digarap sienas kita seperti Angker Batu.
Ceritanya tentang Sari (Tara Basro) terpisah dengan pacarnya saat mendaki Gunung Lawu. Ia pun menjelajah hutan untuk mencari kekasihnya itu. Di tempat lain, Zul (Dion Wiyoko) baru hendak memulai pendakian pertamanya. Di tengah hutan Zul bertemu Sari, Zul pun berusaha menolong Sari mencari pacarnya bernama Jaka. Mereka bertemu dengan suatu tempat yang menyeramkan serupa pasar (digamabrkan sellau malam dengan diterangi obor), padahal ketika masuk tadinya siang.
Pertanyaannya bukan siapa saja yang sebetulnya hilang dalam film ini, tetapi kapan sebetulnya masing-masing tokoh itu hilang merupakan nilai plus film ini. Klunya adalah foto-foto yang ada di dinding pos pendakian Gunung Lawu dan sebuah adegan ketika Jaka dan Sari berhadapan tetapi mereka berada dalam dimensi yang berbeda. Adegan-adegan ini mengingatkan saya pada film Bermuda Triangle (1978) karya Rene Cardona Jr tentang pertemuan kapal laut dan udara yang hilang dalam waktu berbeda, namun tidak di segitiga Bermuda.
Secara keseluruhan Hi5teria film horror Indonesia kontemporer yang di atas rata-rata.
Irvan Sjafari | Kompasiana
0 komentar