Monday, May 6, 2013

Cerpen Horor: Paku Kuntilanak

Malam telah larut, Juned berjalan menyusuri tepian sungai. Walau suasana gelap dan sunyi, laki-laki itu tak gentar. Juned memang jagoan udik yang tak kenal takut. Sementara itu di tepi kampung, dua laki-laki tengah bercakap-cakap. Keduanya duduk di bangku sebuah warung yang telah tutup. Percakapan keduanya amatlah mengasyikan. Sedang bercakap-cakap itu, tiba-tiba suasana terasa aneh. Tanpa sadar kedua laki-laki itu terdiam. Dalam hati, keduanya bertanya-tanya, ada apa gerangan. Dalam kesenyapan yang mencekam itu, tiba-tiba terdengar teriakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk-duduk itu tersentak. Lekas keduanya berdiri. Dari kegelapan muncul Juned, berlari pontang-panting, jatuh bangun. Serentak kedua laki-laki yang tengah duduk itu menghampiri. Juned terjatuh di depan kedua laki-laki itu. Wajahnya sepucat bulan, matanya membelalak liar. Ia menunjuk-nunjuk.

Gegerlah seisi kampung. Ada kuntilanak.

Sejak saat itu, tak ada lagi orang kampung yang berani berkeliaran pada malam hari. Menjelang Mahgrib, semua pintu dan jendela telah tertutup rapat. Semua orang diam di cekam ketakutan sepanjang malam di dalam rumah. Saat fajar menyingsing, barulah orang berani keluar.

Namun tidak semua orang bersembunyi ketakutan. Rokib si pemberani, setiap malam selalu mengendap-endap di tempat-tempat sunyi. Dengan bersenjatakan sebatang paku sepanjang satu jengkal ia mengintai.

Entah, sudah berapa malam lamanya ia mengintai. Malam itu ia merasakan suasana begitu mencekam. Perasaannya mengatakan, inilah saat yang ditunggu. Jantungnya berdebar keras.

Benar, sesaat setelah kukuk buruk hantu terdengar, suasana kian terasa mencekam. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Rokib, erat ia menggenggam paku besar itu di tangannya. Bagi tersengat tubuh laki-laki pemberani itu, saat terdengar suara tawa panjang.

Rokib merasakan lututnya lemas, sekujur tubuhya bergetar tak terkendali. Suara tawa kembali terdengar, bunyinya mirip ringkikan berbaur dengan pekik seperti kesakitan. Amat memilukan, amat mengerikan.

Dengan mengerahkan sisa-sisa keberaniannya, Rokib mencoba melihat. Matanya nyalang menembus kegelapan. Di sana, di cabang pohon sirsak, tampak suatu sosok berambut panjang.

Walau seluruh belulangnya serasa lunglai, Rokib menggertakkan diri. Ia menyelinap mendekati pohon itu. Sosok berambut panjang itu meloncat ringan ke pohon cempedak. Rokib terus mengikuti.

Kembali sosok itu meloncat dengan ringannya. Ia hinggap dari pohon ke pohon dengan ringannya. Rokib nyaris kehilangan jejak.

Akhirnya, kembali suara lengkingan tawa yang menyayat terdengar. Tampak makhluk itu di dekat sumur milik Wak Modin. Rokib mengendap mendekatinya.

Pada jarak yang tepat, Rokib menerkam makhluk itu. Dengan jitu ia menancapkan paku ke ubun-ubun makhluk itu. Terdengar lolongan menyayat. Kuntilanak itu meronta keras, Rokib terlontar.

Laki-laki pemberani itu jatuh berguling-guling. Suara lolongan terus mendengar. Saat Rokib telah menguasai diri, makhluk itu sudah tak tampak, hanya kabut asap tebal yang terlihat.

Dengan was-was Rokib memperhatikan kabut asap itu. Saat asap mulai menipis, tampak sesosok tubuh perempuan tergolek di tanah. Rokib menatap dengan ragu.

Setelah degup jantung mulai mereda, perlahan Rokib menghampiri perempuan itu. Diperhatikannya dari kepala hingga kaki, perempuan itu sungguh cantik.

Rokib terus mengawasi perempuan itu. Beberapa saat kemudian, perempuan itu membuka matanya. Ia memandang sekeliling dengan ketakutan. Sadarlah Rokib, kuntilanak itu telah berubah menjadi manusia biasa.

Maka Rokib pun membawa perempuan itu dan menikahinya. Keduanya hidup bahagia. Apalagi setelah lahir seorang anak perempuan, lengkaplah kebahagiaan mereka.

Kini anak perempuan Rokib telah cukup besar. Ia sudah dapat membantu-bantu pekerjaan rumah sedikit-sedikit. Gadis kecil itu memang rajin.

Pada suatu hari, Rokib sedang tak di rumah, istrinya meminta anaknya mencarikan kutu. Namun, baru saja gadis itu menyingkap rambut ibunya, alangkah terkejutnya ia. "Mak," seru gadis itu, "Ini apa?"

"Apa nak?" tanya ibunya keheranan.

"Di kepala emak ada paku."

"Astaga, lekas kau cabutkan paku itu."

Cepat gadis kedl itu mencabut paku itu. Begitu paku terlepas, terjadi sesuatu yang mengejutkan. Perempuan itu menjerit keras. Anaknya terperanjat, ia terhuyung ke belakang.

Nanar gadis kecil itu menatap, tampak perubahan pada ibunya. Rambut perempuan itu memanjang, wajahnya pucat pasi. Lalu tubuh perempuan itu melayang.

"Emak, aku ikut, Mak," pekik anaknya, "Mak, jangan tinggalkan aku."

Dari ketinggian ibunya berkata-kata, "Maafkanlah emakmu," isak ibu itu, "Emak tak dapat membawa serta, karena emak harus kembali ke dunia emak."

Usai berkata demikian, lenyaplah perempuan itu dati pandangan. Tinggallah anaknya, ia menangis melolong-lolong. Namun tak ada lagi yang dapat diperbuat.

Namun, setiap malam Jumat Kliwon, si ibu datang untuk menjumpai anaknya.[]

0 komentar