Perempuan penyanyi kelab malam itu tak merasakan getar angin yang lamban di atas kuil emas Buddha tidur. Somsri senantiasa mencari makna ajal yang damai di wajah patung keemasan itu. Belum juga dimengertinya, mengapa kedamaian yang menenteramkan terpancar pada wajah Buddha menjelang wafat. Selalu saja ia menatap wajah kekasih gelapnya, Somjai, yang terperangkap kecemasan. Setidaknya, kilau keemasan patung Buddha tidur, yang begitu panjang, dan pertikaian hatinya untuk mengantar lelaki itu ke Kuil Wat Pho telah membuatnya tersadar, ia tak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengasihi lelaki muda itu. Ia memiliki ruang yang bebas untuk mengepakkan sayapnya seperti pesona merpati-merpati yang berkeliaran di pelataran candi.
Lelaki muda itu, Somjai, pernah mengungkapkan keinginannya pada Somsri akan hasratnya menyempurnakan hidup sebagai biksu, dengan kepala gundul mengilat dan jiwon1) melilit tubuhnya. Somjai bicara dengan kesantunan. Matanya teduh. Mata yang memancarkan kebeningan serupa mata air, yang mengalirkan hidup dengan keikhlasan.
Somjai tak banyak berkata-kata. Ia serupa serangga dalam jaring laba-laba. Asmara telah menjerat dan melilitnya. Menjerat langkahnya untuk membebaskan diri dari kubangan lumpur dunia. Meski tempat yang paling disukainya berkunjung ke patung Buddha tidur, tetapi rasa cemas terus meretus hatinya. Ia bercinta dengan perempuan penyanyi kelab malam yang sudah bersuami dan memiliki anak. Anehnya lagi, perempuan itu selalu didera rasa cemas akan ancaman seorang pembunuh bertopeng Buddha, yang sesekali muncul di kejauhan — serupa bayangan — mengarahkan senapan ke keningnya.
“Aku semakin takut kha2),” kata Somsri saat berdiri di bawah wajah patung Buddha tidur—perangai damai menjelang wafat—yang sangat disukainya. “Dekat denganmu, sepertinya aku diburu maut.”
“Katamu, di sini tempat yang paling damai khrab3).”
Tersipu-sipu, Somsri ingin mengelak, tetapi pada saat yang bersamaan, ingin mengiyakan. Ia selalu menikmati ketenteraman setiap saat berkunjung ke kuil ini. Tapi ia terus dibayangi lelaki bertopeng wajah Buddha yang menebar senyum kedamaian, dengan senapan di tangan, mengincar menembak keningnya. Ia dirasuki ketakutan bila mendadak kepalanya ditembus peluru panas.
“Aku merasa diuber penembak gelap bertopeng wajah Buddha,” kata Somsri, seperti meretas mimpi buruk, yang menyelubungi tidur resah. Ia merasa telah dihalang-halangi untuk meraih ketenangan hati bersua Somjai. Ketenangan yang merapuhkan perasaannya. Tak seperti ketika ia menyanyi di kelab malam, yang memberinya kegairahan, pesona, dan debur dada yang membangkitkan pelangi—ia melayang dalam cahaya.
Tapi ketika kemudian Somsri menyadari tempat tinggalnya di rumah petak, yang kecil, sempit, kumuh di bilangan Klong Toey, ia merasa dihamburkan dari cahaya pelangi itu. Tersuruk dalam lumpur membusuk. Rasanya tak ingin ia kembali ke rumahnya yang berantakan, rumah yang penuh kegaduhan.
Berjalan di sisi Somjai, perempuan itu menemukan ketenteraman yang penuh kelembutan. Ia menatap sepasang mata yang teduh, mata yang memancarkan kedalaman bening Danau Lumpini Park—tentu tidak jalang, tidak mesum ingin menelannya. Mata lelaki itu seperti membasuh luka-luka yang mengotori tubuhnya.
Bulan purnama di atas Danau Lumpini Park, Somsri di samping calon biksu yang menampakkan ketenangan. Memandang permukaan danau yang memantulkan kebeningan bulan. Tapi ketika di antara celah-celah pepohonan menyembul sosok bayangan lelaki bertopeng Buddha, dengan laras senapan yang benar-benar mendesingkan peluru, Somsri menggigil ketakutan. Peluru tak menembus batok kepala Somsri. Hanya merontokkan rambutnya. Perempuan itu memucat, bergetar, berpeluh dingin, dan tak bisa berkata-kata.
Perempuan itu mendekap Somjai, ketat dan menggigil. Ia mencari ketenangan dalam tubuh lelaki itu, seperti ia menemukan ketenangan dalam patung Buddha tidur—yang terbujur, dengan tangan menyangga kepala, menopang wajah memendam senyum di ambang ajal.
“Aku tak lagi bisa bersamamu,” ratap Somsri, sambil mendekap tubuh Somjai, ingin melenyapkan diri dalam tubuh lelaki itu. Ia tahu biksu itu sama sekali tak jadi sasaran tembak. Cuma dirinya—penyanyi kelab malam— yang menjadi sasaran bidikan butir peluru.
“Kau akan selamat, selama berdua denganku,” kata Somjai.
“Justru nyawaku melayang bila berada di sisimu. Mungkin kau sendiri yang mengutus seseorang untuk membunuhku?”
Terbelalak Somjai. “Mengapa aku ingin membunuhmu?”
“Kau tak ingin dikotori perempuan sepertiku,” kata Somsri, “sementara kau tak bisa lepas dariku.”
“Apa aku sejahat itu?”
“Kau tidak jahat. Kau hanya memelihara kebimbangan dalam dirimu. Kau ingin terbebas dari pertemuan-pertemuan gelap bersamaku.”
Wajah Somjai tidak menampakkan ketersinggungan. Tak menampakkan keterkejutan. Ia masih tampak tenang sebagaimana sediakala—ketenangan permukaan danau yang menyimpan kedalaman lumpur.
Mengurung diri di rumahnya, diam-diam Somsri dirajam kegundahan. Ia tinggal di rumah yang kecil, pengap, dengan denging nyamuk yang merisaukan telinga. Anak-anak bermain di kawasan kumuh Khong Toey tanpa kenal waktu. Teriakan-teriakan, kegaduhan, selalu menenggelamkan purnama. Bulan tak lagi memiliki kelembutan cahaya.
Telah beberapa hari ini ia tak lagi memiliki kekuatan untuk menyanyi di kelab malam. Tubuhnya seperti lumpuh untuk digerakkan. Mulutnya tak lagi mengeluarkan suara, apalagi menyanyi dengan kemerduan yang menawan para penonton. Ia takut bila saat menyanyi—dan Somjai menungguinya—sebutir peluru melesat bersarang ke dalam tubuhnya, tepat mengenai dada.
Apakah Somjai memang benar mengutus seseorang untuk membunuhnya agar ia terbebas dari samsara dan segera menjalani kelahiran baru, dan menjelma dalam kehidupan yang lebih baik? Bukan lagi penyanyi kelab malam. Bukan lagi sebagai penghuni kawasan busuk. Bukan sebagai istri yang dipecundangi suami. Bukan lagi sebagai kekasih gelap seorang calon biksu.
“Sampai kapan kamu akan tetap tinggal di rumah?” tegur suami Somsri.
“Aku takut. Penembak bertopeng Buddha selalu mengincarku.”
“Kenapa mesti takut? Kematian akan mengantarmu pada kehidupan baru yang lebih baik.”
“Bagaimana dengan anak kita?”
Somsri memandangi anak lelakinya, Wichai, yang belum lagi genap setahun. Masih sembilan bulan. Merangkak-rangkak. Sesekali berdiri. Terjatuh. Berdiri lagi. Terjatuh lagi. Wichai inilah satu-satunya yang membangkitkan semangatnya untuk tetap bertahan hidup. Ia bimbang hingga kemarahan memuncak. Dia memasuki kamar. Mengenakan pakaian panggung. Menampakkan belahan dada yang ranum. Lengannya bening, ramping, bertato bunga teratai.
Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkan rumahnya. Menghambur ke jalan raya. Naik tuktuk4) memasuki keriuhan kota. Mengarah ke Lumpini Night Bazaar. Ia kembali duduk di bawah panggung. Menangguk pelan-pelan anggur merah Gracia dari Chile. Merokok. Embusan asap yang lembut meredam kegundahan. Aroma anggur merah dan asap rokok berdenyar-denyar, melambungkannya menjadi penyanyi.
Kali ini ia mesti merelakan segalanya. Mungkin akan datang padanya tembakan. Akan meluncur sebutir peluru, dua butir, atau bahkan lebih, menembus kening, mungkin dada, dan membuatnya rubuh. Berlumpur darah.
Dan menyanyilah Somsri di atas panggung, dengan napas mengembuskan aroma anggur merah Grazia dari Chile. Lengannya terbuka yang sesekali terangkat, menampakkan tato bunga teratai. Saat itulah ia melihat Somjai muncul di kelab malam membawa bayangan pantulan cahaya bulan di atas Danau Lumpini Park. Di kejauhan berkelebat menyelinap di antara penonton pembunuh bertopeng Buddha. Menembakkan pelurunya, melesat dan bersarang di antara kedua ujung alis mata perempuan itu. Ia tergeletak seketika. Panggung kelab malam itu beberapa saat gaduh. Setelah itu sunyi. Orang- orang memandangi tubuh molek yang terbujur dingin. Masih tersisa aroma anggur merah Gracia dari Chile di mulutnya yang belum menyelesaikan larik terakhir lirik lagunya.
Gerimis turun di perkampungan Klong Toey. Di rumah Somsri, malam sangat rapuh. Tak terdengar suara pertengkaran sebagaimana biasanya. Tak terdengar teriakan dan bentakan-bentakan suami Somsri. Sejak Somsri meninggal dan diperabukan, lelaki itu larut dalam kemurungan. Sesekali dilihat orang, lelaki itu mengajak Wichai kecil meninggalkan rumah, bermain di gang. Sesekali tampak dia berjalan-jalan seorang diri, linglung, tanpa Wichai di sisinya.
Wichai kecil merangkak-rangkak sendirian di rumah kecil yang pengap. Telah beberapa saat bocah itu ditinggalkan ayahnya. Sendirian di rumah. Merangkak. Berdiri. Terjatuh. Merangkak. Menangis. Tak seorang pun mau menolong. Dibiarkan saja bocah itu merangkak-rangkak.
Bergegas-gegas menyusup rintik gerimis seorang biksu muda, terlilit jiwon kuning yang membasah. Ia melintas permukiman Klong Toey itu dengan buru-buru. Memasuki rumah Somsri. Heran dan iba ia mendapati Wichai merangkak-rangkak, terisak-isak tangis dalam kesendiriannya. Tubuh bocah itu berlumur air kencing dan kotorannya sendiri. Biksu itulah yang mengangkat Wichai, memandikannya, menggantikan pakaian yang bersih, dan membawanya pergi dengan taksi meninggalkan kota.
Taksi itu terus menembus gerimis, menembus kelam yang basah, menuju sebuah kuil tua berlumut di daerah pegunungan. Kuil yang sepi dari keriuhan kota. Patung Buddha tak semewah di Wat Pho. Di kuil tua ini patung buddha berlumut, tidak berwarna keemasan sebagaimana di lingkup keraton dan di pusat kota. Memang sesekali masih terdengar di antara desau angin pegunungan itu suara nyanyian Somsri melintasi padang rerumputan.
Di sini Somjai memutuskan untuk menghabiskan hidupnya sebagai biksu, sambil menunggu Somsri lahir dalam kehidupan yang baru. Tetapi, mungkin ia tak kan menemukan siapa pun. Ia sudah merasa tenteram bersama Wichai, yang bening matanya menampakkan ketenangan danau. Telah dibawanya sepertiga abu jenazah Somsri, yang hendak disimpan dalam kuil sunyi di tepi hutan. Biarlah sepertiga abu jenazah Somsri disimpan di kuil tua yang jauh di pedalaman. Di kuil tua tepi hutan ini ketenangan hati Somjai serasa merasuk dalam keheningan. Ia terbebas dari kecemasan, terbebas dari harapan-harapan yang bukan miliknya.
Arnoma Hotel, Bangkok, 2006
Catatan:
1) Jiwon = jubah biksu
2) Kha = partikel penghormatan yang diucapkan penutur perempuan
3) Khrab = partikel penghormatan yang diucapkan penutur laki-laki
4) tuktuk = angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta
Lelaki muda itu, Somjai, pernah mengungkapkan keinginannya pada Somsri akan hasratnya menyempurnakan hidup sebagai biksu, dengan kepala gundul mengilat dan jiwon1) melilit tubuhnya. Somjai bicara dengan kesantunan. Matanya teduh. Mata yang memancarkan kebeningan serupa mata air, yang mengalirkan hidup dengan keikhlasan.
Somjai tak banyak berkata-kata. Ia serupa serangga dalam jaring laba-laba. Asmara telah menjerat dan melilitnya. Menjerat langkahnya untuk membebaskan diri dari kubangan lumpur dunia. Meski tempat yang paling disukainya berkunjung ke patung Buddha tidur, tetapi rasa cemas terus meretus hatinya. Ia bercinta dengan perempuan penyanyi kelab malam yang sudah bersuami dan memiliki anak. Anehnya lagi, perempuan itu selalu didera rasa cemas akan ancaman seorang pembunuh bertopeng Buddha, yang sesekali muncul di kejauhan — serupa bayangan — mengarahkan senapan ke keningnya.
“Aku semakin takut kha2),” kata Somsri saat berdiri di bawah wajah patung Buddha tidur—perangai damai menjelang wafat—yang sangat disukainya. “Dekat denganmu, sepertinya aku diburu maut.”
“Katamu, di sini tempat yang paling damai khrab3).”
Tersipu-sipu, Somsri ingin mengelak, tetapi pada saat yang bersamaan, ingin mengiyakan. Ia selalu menikmati ketenteraman setiap saat berkunjung ke kuil ini. Tapi ia terus dibayangi lelaki bertopeng wajah Buddha yang menebar senyum kedamaian, dengan senapan di tangan, mengincar menembak keningnya. Ia dirasuki ketakutan bila mendadak kepalanya ditembus peluru panas.
“Aku merasa diuber penembak gelap bertopeng wajah Buddha,” kata Somsri, seperti meretas mimpi buruk, yang menyelubungi tidur resah. Ia merasa telah dihalang-halangi untuk meraih ketenangan hati bersua Somjai. Ketenangan yang merapuhkan perasaannya. Tak seperti ketika ia menyanyi di kelab malam, yang memberinya kegairahan, pesona, dan debur dada yang membangkitkan pelangi—ia melayang dalam cahaya.
Tapi ketika kemudian Somsri menyadari tempat tinggalnya di rumah petak, yang kecil, sempit, kumuh di bilangan Klong Toey, ia merasa dihamburkan dari cahaya pelangi itu. Tersuruk dalam lumpur membusuk. Rasanya tak ingin ia kembali ke rumahnya yang berantakan, rumah yang penuh kegaduhan.
Berjalan di sisi Somjai, perempuan itu menemukan ketenteraman yang penuh kelembutan. Ia menatap sepasang mata yang teduh, mata yang memancarkan kedalaman bening Danau Lumpini Park—tentu tidak jalang, tidak mesum ingin menelannya. Mata lelaki itu seperti membasuh luka-luka yang mengotori tubuhnya.
Bulan purnama di atas Danau Lumpini Park, Somsri di samping calon biksu yang menampakkan ketenangan. Memandang permukaan danau yang memantulkan kebeningan bulan. Tapi ketika di antara celah-celah pepohonan menyembul sosok bayangan lelaki bertopeng Buddha, dengan laras senapan yang benar-benar mendesingkan peluru, Somsri menggigil ketakutan. Peluru tak menembus batok kepala Somsri. Hanya merontokkan rambutnya. Perempuan itu memucat, bergetar, berpeluh dingin, dan tak bisa berkata-kata.
Perempuan itu mendekap Somjai, ketat dan menggigil. Ia mencari ketenangan dalam tubuh lelaki itu, seperti ia menemukan ketenangan dalam patung Buddha tidur—yang terbujur, dengan tangan menyangga kepala, menopang wajah memendam senyum di ambang ajal.
“Aku tak lagi bisa bersamamu,” ratap Somsri, sambil mendekap tubuh Somjai, ingin melenyapkan diri dalam tubuh lelaki itu. Ia tahu biksu itu sama sekali tak jadi sasaran tembak. Cuma dirinya—penyanyi kelab malam— yang menjadi sasaran bidikan butir peluru.
“Kau akan selamat, selama berdua denganku,” kata Somjai.
“Justru nyawaku melayang bila berada di sisimu. Mungkin kau sendiri yang mengutus seseorang untuk membunuhku?”
Terbelalak Somjai. “Mengapa aku ingin membunuhmu?”
“Kau tak ingin dikotori perempuan sepertiku,” kata Somsri, “sementara kau tak bisa lepas dariku.”
“Apa aku sejahat itu?”
“Kau tidak jahat. Kau hanya memelihara kebimbangan dalam dirimu. Kau ingin terbebas dari pertemuan-pertemuan gelap bersamaku.”
Wajah Somjai tidak menampakkan ketersinggungan. Tak menampakkan keterkejutan. Ia masih tampak tenang sebagaimana sediakala—ketenangan permukaan danau yang menyimpan kedalaman lumpur.
Mengurung diri di rumahnya, diam-diam Somsri dirajam kegundahan. Ia tinggal di rumah yang kecil, pengap, dengan denging nyamuk yang merisaukan telinga. Anak-anak bermain di kawasan kumuh Khong Toey tanpa kenal waktu. Teriakan-teriakan, kegaduhan, selalu menenggelamkan purnama. Bulan tak lagi memiliki kelembutan cahaya.
Telah beberapa hari ini ia tak lagi memiliki kekuatan untuk menyanyi di kelab malam. Tubuhnya seperti lumpuh untuk digerakkan. Mulutnya tak lagi mengeluarkan suara, apalagi menyanyi dengan kemerduan yang menawan para penonton. Ia takut bila saat menyanyi—dan Somjai menungguinya—sebutir peluru melesat bersarang ke dalam tubuhnya, tepat mengenai dada.
Apakah Somjai memang benar mengutus seseorang untuk membunuhnya agar ia terbebas dari samsara dan segera menjalani kelahiran baru, dan menjelma dalam kehidupan yang lebih baik? Bukan lagi penyanyi kelab malam. Bukan lagi sebagai penghuni kawasan busuk. Bukan sebagai istri yang dipecundangi suami. Bukan lagi sebagai kekasih gelap seorang calon biksu.
“Sampai kapan kamu akan tetap tinggal di rumah?” tegur suami Somsri.
“Aku takut. Penembak bertopeng Buddha selalu mengincarku.”
“Kenapa mesti takut? Kematian akan mengantarmu pada kehidupan baru yang lebih baik.”
“Bagaimana dengan anak kita?”
Somsri memandangi anak lelakinya, Wichai, yang belum lagi genap setahun. Masih sembilan bulan. Merangkak-rangkak. Sesekali berdiri. Terjatuh. Berdiri lagi. Terjatuh lagi. Wichai inilah satu-satunya yang membangkitkan semangatnya untuk tetap bertahan hidup. Ia bimbang hingga kemarahan memuncak. Dia memasuki kamar. Mengenakan pakaian panggung. Menampakkan belahan dada yang ranum. Lengannya bening, ramping, bertato bunga teratai.
Tanpa menoleh lagi, ia meninggalkan rumahnya. Menghambur ke jalan raya. Naik tuktuk4) memasuki keriuhan kota. Mengarah ke Lumpini Night Bazaar. Ia kembali duduk di bawah panggung. Menangguk pelan-pelan anggur merah Gracia dari Chile. Merokok. Embusan asap yang lembut meredam kegundahan. Aroma anggur merah dan asap rokok berdenyar-denyar, melambungkannya menjadi penyanyi.
Kali ini ia mesti merelakan segalanya. Mungkin akan datang padanya tembakan. Akan meluncur sebutir peluru, dua butir, atau bahkan lebih, menembus kening, mungkin dada, dan membuatnya rubuh. Berlumpur darah.
Dan menyanyilah Somsri di atas panggung, dengan napas mengembuskan aroma anggur merah Grazia dari Chile. Lengannya terbuka yang sesekali terangkat, menampakkan tato bunga teratai. Saat itulah ia melihat Somjai muncul di kelab malam membawa bayangan pantulan cahaya bulan di atas Danau Lumpini Park. Di kejauhan berkelebat menyelinap di antara penonton pembunuh bertopeng Buddha. Menembakkan pelurunya, melesat dan bersarang di antara kedua ujung alis mata perempuan itu. Ia tergeletak seketika. Panggung kelab malam itu beberapa saat gaduh. Setelah itu sunyi. Orang- orang memandangi tubuh molek yang terbujur dingin. Masih tersisa aroma anggur merah Gracia dari Chile di mulutnya yang belum menyelesaikan larik terakhir lirik lagunya.
Gerimis turun di perkampungan Klong Toey. Di rumah Somsri, malam sangat rapuh. Tak terdengar suara pertengkaran sebagaimana biasanya. Tak terdengar teriakan dan bentakan-bentakan suami Somsri. Sejak Somsri meninggal dan diperabukan, lelaki itu larut dalam kemurungan. Sesekali dilihat orang, lelaki itu mengajak Wichai kecil meninggalkan rumah, bermain di gang. Sesekali tampak dia berjalan-jalan seorang diri, linglung, tanpa Wichai di sisinya.
Wichai kecil merangkak-rangkak sendirian di rumah kecil yang pengap. Telah beberapa saat bocah itu ditinggalkan ayahnya. Sendirian di rumah. Merangkak. Berdiri. Terjatuh. Merangkak. Menangis. Tak seorang pun mau menolong. Dibiarkan saja bocah itu merangkak-rangkak.
Bergegas-gegas menyusup rintik gerimis seorang biksu muda, terlilit jiwon kuning yang membasah. Ia melintas permukiman Klong Toey itu dengan buru-buru. Memasuki rumah Somsri. Heran dan iba ia mendapati Wichai merangkak-rangkak, terisak-isak tangis dalam kesendiriannya. Tubuh bocah itu berlumur air kencing dan kotorannya sendiri. Biksu itulah yang mengangkat Wichai, memandikannya, menggantikan pakaian yang bersih, dan membawanya pergi dengan taksi meninggalkan kota.
Taksi itu terus menembus gerimis, menembus kelam yang basah, menuju sebuah kuil tua berlumut di daerah pegunungan. Kuil yang sepi dari keriuhan kota. Patung Buddha tak semewah di Wat Pho. Di kuil tua ini patung buddha berlumut, tidak berwarna keemasan sebagaimana di lingkup keraton dan di pusat kota. Memang sesekali masih terdengar di antara desau angin pegunungan itu suara nyanyian Somsri melintasi padang rerumputan.
Di sini Somjai memutuskan untuk menghabiskan hidupnya sebagai biksu, sambil menunggu Somsri lahir dalam kehidupan yang baru. Tetapi, mungkin ia tak kan menemukan siapa pun. Ia sudah merasa tenteram bersama Wichai, yang bening matanya menampakkan ketenangan danau. Telah dibawanya sepertiga abu jenazah Somsri, yang hendak disimpan dalam kuil sunyi di tepi hutan. Biarlah sepertiga abu jenazah Somsri disimpan di kuil tua yang jauh di pedalaman. Di kuil tua tepi hutan ini ketenangan hati Somjai serasa merasuk dalam keheningan. Ia terbebas dari kecemasan, terbebas dari harapan-harapan yang bukan miliknya.
Arnoma Hotel, Bangkok, 2006
Catatan:
1) Jiwon = jubah biksu
2) Kha = partikel penghormatan yang diucapkan penutur perempuan
3) Khrab = partikel penghormatan yang diucapkan penutur laki-laki
4) tuktuk = angkutan kota Bangkok, serupa bajaj di Jakarta
Penulis: S Prasetyo Utomo | Kompas, 17 September 2006
0 komentar