Seorang pembunuh berdarah dingin, tak senang bernostalgia, mengawali rencananya dengan seorang perempuan yang mati tanpa melihat kunang-kunang. Dari ruang dan waktu yang jauh berbeda, ia mengintip Epon, seorang perempuan dengan kebiasaan ganjil. Tepat pukul dua belas malam, kala suaminya terlelap, Epon akan berjalan keluar rumah menuju kuburan demi melihat kunang-kunang. Ia percaya kunang-kunang ini–jenis betina berkilauan yang mengubah diri sesuai selera pejantan hanya untuk memangsanya kemudian–tak muncul di tempat lain. Tentu saja Toha suaminya menjadi gelisah. Di desa Cibeurit yang guyub tentram, perempuan tak berkeliaran malam-malam, apalagi pergi ke kuburan. Bisa-bisa istri Toha dianggap penganut ilmu hitam.
Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.
Mau ke mana kamu? Kenapa sembunyi-sembunyi seperti tikus?
Epon, yang sedang hamil besar, terpaksa kembali ke pembaringan tanpa melihat kunang-kunang.
Di akhir hayatnya Epon tak melihat kunang-kunang sungguhan, tetapi bayi mungil dalam pelukan Mak Icih, dukun yang membantu persalinannya. Bayi itu perempuan, molek, seolah punya sayap bersinar-sinar. Kunang-kunang yang cantik, gumam Epon sebelum penghabisan. Pembunuh kita setuju, meski ia tengah melihat kunang-kunang di kuburan yang lain.
DARI tempat yang jauh, kabur, dan terserpih, pembunuh berdarah dingin itu masih mengintai Cibeurit. Ia tahu Toha menamai putrinya Maimunah. Meski tak ada yang menghubung-hubungkan Maimunah dengan kunang-kunang, penduduk desa sepakat bahwa ia memang bercahaya.
Di usia tiga belas, Maimunah telah menyedot perhatian pemuda-pemuda Cibeurit. Namun banyak yang sungkan mendekatinya karena ia terlalu tinggi, setidaknya di atas tinggi rata-rata gadis-gadis desa itu. Teman-teman masa kecilnya menjulukinya si Jangkung. Para bujang merasa rendah diri bila berhadapan dengannya, khawatir diejek kontet oleh pesaing yang iri. Mereka juga khawatir membayangkan rupa Maimunah sepuluh tahun mendatang, mengingat gadis-gadis Cibeurit cenderung menggemuk setelah menikah atau melahirkan anak pertama. Setelah masa jayanya lewat, Maimunah akan menjadi perempuan tinggi besar, seperti raksasa. Bahkan sekarang pun ia sudah cukup bahenol.
Merasa tak berbeda dengan perempuan-perempuan lain, Maimunah selalu berjalan lurus dengan punggung tegap dan dada membusung. Rambut ikal panjangnya senantiasa menari-nari, seirama dengan lenggok pinggulnya. Tak pernah ia tundukkan pandangannya. Toha mulai resah karena putrinya tak takut pada apapun. Dengan cara berjalan yang kelewat menantang, bisa saja ia diperkosa para begundal sepulang mencuci di kali. Memang tak ada lelaki brengsek di desa yang aman ini. Kekacauan selalu ditimbulkan oleh mereka yang tak berumah, seperti kawanan penjahat yang berkelana dari hutan ke hutan, merampok, memperkosa perempuan lugu, lalu menghilang. Melihat basah rambut Maimunah pastilah liur mereka menetes. Jika keperawanan hilang, tamatlah riwayat seorang gadis.
Di usia tujuh belas, Maimunah mulai bosan menjadi pusat perhatian. Ia menyambut pemuja-pemujanya dengan senang hati, namun segera jemu karena mereka tak tahu apa-apa. Pun mereka tak ingin tahu apa-apa tentang kaum perempuan, kecuali isi kutang mereka. Maimunah lebih suka menghabiskan waktunya di rumah Mak Icih. Di matanya, Mak Icih memiliki pengetahuan luar biasa. Setiap hari ia bergulat dengan kaki-kaki yang membuka, gelap rahim, dan darah bergumpal-gumpal di balik kain perempuan. Perempuan hidup; perempuan sekarat. Dari si dukun Maimunah tahu rupa ibunya sebelum direnggut maut.
Kata ibumu kau cantik seperti kunang-kunang.
Di mana aku bisa melihat kunang-kunang?
Aku tak pernah melihatnya, tapi ibumu bilang kunang-kunang menari di kuburan.
Sejarah pun berulang. Seperti Epon, Maimunah pergi mencari binatang bercahaya itu. Tapi bukan kunang-kunang yang ia temukan, melainkan Jaja, kuncen kuburan. Lelaki itu jarang memperlihatkan diri karena sering diolok-olok. Ia bertubuh kerdil, hanya setinggi perut Maimunah, berkulit hitam, berkepala botak licin, dan berkumis kelewat tebal. Tangan-tangannya pendek dipenuhi bulu. Tubuhnya yang kecil bergerak lincah, mirip tikus, hingga anak-anak desa menjulukinya tikus raksasa. Raja Tikus. Orang dewasa melarang anak mereka menjelek-jelekkan orang lain, sebab itu bukan tabiat penduduk Cibeurit, namun tak ada di antara mereka yang mau berlama-lama bicara dengan si kuncen.
Di perjumpaan pertamanya dengan Maimunah, Jaja hanya mendongak sesaat, lalu kembali menggali kubur. Ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa sadar air liur menetes dari mulutnya yang selalu terbuka.
Kalau kamu menjadi mayat, kamu akan sama buruk denganku, ujar Jaja sambil menghapus ludah di sudut bibirnya.
Mungkin karena tak silau cahaya, Jaja di mata Maimunah lebih menarik daripada pemuda-pemuda Cibeurit. Daging busuk lebih memesona lelaki itu ketimbang daging segar. Bila Mak Icih memegang rahasia hidup di balik kain perempuan yang merah kotor, maka Jaja mengetahui segala yang hancur, keropos, berlalu. Ia pemegang kunci dunia mati.
Toha mulai mengendus hubungan ganjil Maimunah dengan kuburan, persis Epon semasa hidupnya. Wajahnya pucat ketika beberapa orang melaporkan keakraban Maimunah dengan si kuncen kate. Ini tak dapat dibiarkan. Sudah waktunya ia bertindak tegas demi masa depan putri tersayang. Toha menawarkan Maimunah pada Suparna, kepala desa, untuk diambil sebagai istri kedua. Lelaki empat puluhan itu punya berhektar-hektar sawah dan sebuah mobil jip. Suparna memahami kerisauan Toha, dan, selayaknya warga desa Cibeurit yang siap membantu tetangga, ia membuka tangan lebar-lebar untuk menyelamatkan harga diri Maimunah.
Sehari sebelum pernikahannya dengan Suparna, Maimunah mendatangi Jaja, menatapnya getir.
Bawa aku pergi, bisiknya.
Jaja tahu ia tak akan pernah bisa membahagiakan Maimunah, maka ia menjawab,
Aku hanya membawa pergi orang mati.
Demi ketentraman desa, gadis belia itu menikah. Ia tinggal di rumah yang cukup besar untuk menaungi dirinya dan Euis, istri pertama Suparna. Setiap minggu, Suparna menghabiskan tiga malam bersamanya, sedangkan sisanya adalah milik Euis. Semuanya baik-baik saja. Maimunah membantu Euis mengurusi ketiga anaknya sesuai tradisi guyub perempuan Cibeurit.
Saat itu pembunuh kita masih memasang mata, menyusun rencana sambil meneguk minumannya. Naluri pembunuhnya selalu melihat kebocoran pada apa-apa yang aman. Ia tersenyum mengetahui bahwa saat tidak sedang bersama Suparna, Maimunah menemui Jaja di kuburan.
Maimunah pergi di malam hari, bahkan kala ia tengah mengandung. Penduduk desa mulai mengendus hubungan gelapnya dengan si kuncen kate. Beberapa orang mengaku pernah melihat perempuan jangkung dan lelaki kerdil bergumul di semak-semak. Warga Cibeurit tak suka bergunjing, tapi perbuatan laknat harus ditindak. Kegemparan tak terhindarkan ketika Maimunah melahirkan seorang bayi lelaki. Mak Icih si dukun beranak memuji, “Kasep.”
Tapi bayi itu tidak tampan. Tubuhnya kecil berbulu, nyaris menyerupai seekor tikus. Berita hubungan Maimunah dan lelaki kerdil itu benar adanya. Jahanam! Suparna meninju tembok hingga buku-buku jarinya berdarah. Ia memberi waktu satu malam bagi istrinya, si pendosa, agar bersiap-siap hengkang dari rumahnya. Malu benar ia punya bayi serupa binatang pengerat. Anak jadah tentunya!
Keesokan harinya, seisi rumah dibangunkan oleh jeritan Euis. Perempuan itu menemukan begitu banyak tikus menyembur dari kamar suaminya, yang tidur bersama Maimunah untuk terakhir kali. Gerombolan binatang hitam dan licin melewati kakinya. Mengamuk. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin seribu. Maimunah tak ditemukannya. Hanya Suparna, tewas mengenaskan. Dagingnya tercabik-cabik, seperti habis dikerati sepanjang malam. Darah dan bulu-bulu halus menutupi borok matanya. Ia ditinggalkan dalam murka dan lapar, tak tandas. Tikus-tikus berlari tergesa. Kematian merayap perlahan.
Tikus-tikus pemangsa itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa, masuk ke dalam sumur, tempayan, dan tempat penyimpanan beras. Warga Cibeurit tak sempat berduka untuk kepala desa mereka sebab dalam waktu singkat, desa guyub tentram itu diserang penyakit sampar. Mayat membujur di setiap sudut jalan. Tak ada yang mengubur sebab Jaja tiba-tiba menghilang, seolah terhisap udara berbau amis dan genangan muntah. Desa Cibeurit dikurung aroma tikus. Aroma penyakit. Aroma mati.
Si perempuan jangkung dan kekasih kerdilnya tak pernah ditemukan. Penduduk desa percaya Maimunah telah pergi bersama Raja Tikus dan mengutuk desa itu. Mereka yang lolos dari maut sepakat memilih lupa dan mengembara seperti kawanan penyamun. Kekerabatan Cibeurit buyar sudah. Mak Icih, salah seorang yang bertahan, menceritakan kisah ini pada ibu-ibu hamil yang datang padanya. Suratan takdir membiarkannya hidup dan menjadi pemegang rahasia, meski ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan para ibu:
Siapakah yang mengirim tikus-tikus pemakan manusia itu?
MAY, pembunuh berdarah dingin kita, telah memuaskan nafsunya untuk menghancurkan. Ia menutup buku catatan kecilnya. Puas. Ceritanya tuntas sampai di sini.
Disibakkannya rambut ikal panjangnya, yang kerap menari-nari seiring lenggok pinggulnya. Matanya tertuju pada bola kristal besar di langit-langit, pada ratusan lingkaran kecil kuning kemerahan yang berputar-putar seperti rotasi planet. Seorang penulis besar, yang memilih nostalgia ketimbang pembunuhan, tentu memaknai gemerlap ini sebagai kunang-kunang yang lain.
Perempuan itu tak mengira akan mengakhiri ceritanya di sebuah kelab malam di Chinatown. Diteguknya lagi minumannya. Seperti banyak perempuan Manhattan, ia menyetiai Cosmopolitan. Vodka, cointreau, lemon, cranberry. Ia selalu melihat dirinya sebagai racikan. Gado-gado juga racikan, tapi gado-gado adalah rumah, kampung halaman, tempat merindu. Tak ada perjalanan.
Dalam perjalanan, kawanan penjahat membunuh demi meninggalkan jejak. Tak mudah bila satu kakimu tersangkut di tempat lain, mencari-cari pasangan sepatu yang terserak entah di mana. May tahu sepatunya tertinggal di desa Cibeurit, maka ia habisi desa guyub tentram itu sebelum desa itu melumatnya. Ia membunuh ruang dan ingatan dengan cinta, seperti membunuh Ayah. Di kota New York, dengan sepatu sebelah, ia bertahan seperti para penyamun. Singgahi tempat-tempat, lalu binasakan! Tempat-tempat yang jauh, kabur, dan terserpih.
Niat May meninggalkan kelab malam tertahan oleh sosok bercahaya. Kunang-kunang? Di samping mejanya duduk seorang lelaki berjubah emas dan berkumis tebal. Topi berkilauan menutupi kepala botaknya. May memicingkan mata, berupaya meyakinkan diri bahwa ia tak mabuk. Lelaki itu tak asing. Betapa pendek kaki-kakinya: menggantung, tak menyentuh lantai. May bergidik, menyadari sesuatu.
Si kuncen kate. Ia muncul di kota ini, bukan sebagai olok-olok seperti di Cibeurit, tetapi sebagai seorang raja kecil. Raja Tikus. May memperhatikan tongkat dalam genggamannya. Ada bola kristal di ujungnya, mirip lampu disko.
Jantung May berdebar. Ia mengira Cibeurit telah luluh lantah, tapi tokohnya hidup, memaksa masuk ke tempat persembunyiannya. Menemukannya. Dengan cerdas ia menyamar sebagai peramal. Meski sedikit takut, May ingin mendekatinya, hanya untuk bertanya, atau lebih tepatnya meminta, seperti ketika Maimunah berbisik pada kekasihnya,
Katakan padaku tentang masa depan.
Tapi si cebol bergeming, asyik dengan martini, tak melirik barang sedikitpun ke arahnya. May melirik kaus yang dikenakan lelaki itu. Little Johnny, demikian tulisannya. Perempuan itu terhempas.
Ia menghabiskan minumannya, menertawakan dirinya sendiri karena percaya jejak-jejak Cibeurit, tak terhapus, tiba-tiba muncul di sebuah kelab di Manhattan. Alangkah bodohnya. Ia Joni, bukan Jaja. Menelan sakit hati, entah karena merasa dungu atau karena Jaja ternyata Joni, May mengalihkan perhatiannya pada kerumunan di lantai dansa. Pengunjung bersorak-sorai ketika DJ yang mereka tunggu-tunggu naik ke atas panggung. DJ itu berkacamata, juga botak, tapi tidak kerdil. Musik berdentum-dentum seperti gaduh suara ribuan tikus yang kelaparan. Semua orang mengangkat satu lengan ke atas, memasrahkan kebahagiaan mereka di tangan piawai sang DJ.
Lelaki di sebelah May menghilang. Kini Little Johnny berada di atas panggung, di samping DJ, berdansa dengan perempuan pirang yang teramat jangkung. May menghela nafas, merasa ditampar dua kali. Lelaki kerdil, dan perempuan jangkungnya, adalah bagian dari pertunjukkan malam ini.
Mungkin si Jangkung itu kekasihnya. Entah mengapa ia cemburu, bertanya-tanya mengapa ia selalu berada di antara, terjebak ménage à trois.
Saat itu May paham bahwa ia kunang-kunang yang berputar-putar seperti lampu disko, tapi tak pernah beranjak. Sudah saatnya pergi. Ia menerobos kerumunan para pedansa, mencari pintu keluar. Dilewatinya penjaga kelab dan beberapa orang yang masih mengantre demi melihat si DJ botak. Ia ingin lari, menghambur, mempersetankan kunang-kunang, menantikan serbuan sampar yang membinasakan semua.
Tapi ia seorang pembunuh yang dihantui.
Di trotoar Chinatown yang mulai lengang, pukul satu dini hari, sesuatu menghentikan langkahnya. Bukan kunang-kunang, tapi Little Johnny, menghapus air liur di sudut bibirnya.
Si cebol yang hanya membawa pergi orang mati.
Di hadapan lelaki berkumis tebal itu, May berdiri mematung. Ia tak percaya apa yang didengarnya,
Where have all the rats gone? ***
NYC, akhir Juni 2008
Beberapa malam sebelum peristiwa menyedihkan itu, Toha menyergap Epon saat ia mengendap-endap meninggalkan kamar.
Mau ke mana kamu? Kenapa sembunyi-sembunyi seperti tikus?
Epon, yang sedang hamil besar, terpaksa kembali ke pembaringan tanpa melihat kunang-kunang.
Di akhir hayatnya Epon tak melihat kunang-kunang sungguhan, tetapi bayi mungil dalam pelukan Mak Icih, dukun yang membantu persalinannya. Bayi itu perempuan, molek, seolah punya sayap bersinar-sinar. Kunang-kunang yang cantik, gumam Epon sebelum penghabisan. Pembunuh kita setuju, meski ia tengah melihat kunang-kunang di kuburan yang lain.
DARI tempat yang jauh, kabur, dan terserpih, pembunuh berdarah dingin itu masih mengintai Cibeurit. Ia tahu Toha menamai putrinya Maimunah. Meski tak ada yang menghubung-hubungkan Maimunah dengan kunang-kunang, penduduk desa sepakat bahwa ia memang bercahaya.
Di usia tiga belas, Maimunah telah menyedot perhatian pemuda-pemuda Cibeurit. Namun banyak yang sungkan mendekatinya karena ia terlalu tinggi, setidaknya di atas tinggi rata-rata gadis-gadis desa itu. Teman-teman masa kecilnya menjulukinya si Jangkung. Para bujang merasa rendah diri bila berhadapan dengannya, khawatir diejek kontet oleh pesaing yang iri. Mereka juga khawatir membayangkan rupa Maimunah sepuluh tahun mendatang, mengingat gadis-gadis Cibeurit cenderung menggemuk setelah menikah atau melahirkan anak pertama. Setelah masa jayanya lewat, Maimunah akan menjadi perempuan tinggi besar, seperti raksasa. Bahkan sekarang pun ia sudah cukup bahenol.
Merasa tak berbeda dengan perempuan-perempuan lain, Maimunah selalu berjalan lurus dengan punggung tegap dan dada membusung. Rambut ikal panjangnya senantiasa menari-nari, seirama dengan lenggok pinggulnya. Tak pernah ia tundukkan pandangannya. Toha mulai resah karena putrinya tak takut pada apapun. Dengan cara berjalan yang kelewat menantang, bisa saja ia diperkosa para begundal sepulang mencuci di kali. Memang tak ada lelaki brengsek di desa yang aman ini. Kekacauan selalu ditimbulkan oleh mereka yang tak berumah, seperti kawanan penjahat yang berkelana dari hutan ke hutan, merampok, memperkosa perempuan lugu, lalu menghilang. Melihat basah rambut Maimunah pastilah liur mereka menetes. Jika keperawanan hilang, tamatlah riwayat seorang gadis.
Di usia tujuh belas, Maimunah mulai bosan menjadi pusat perhatian. Ia menyambut pemuja-pemujanya dengan senang hati, namun segera jemu karena mereka tak tahu apa-apa. Pun mereka tak ingin tahu apa-apa tentang kaum perempuan, kecuali isi kutang mereka. Maimunah lebih suka menghabiskan waktunya di rumah Mak Icih. Di matanya, Mak Icih memiliki pengetahuan luar biasa. Setiap hari ia bergulat dengan kaki-kaki yang membuka, gelap rahim, dan darah bergumpal-gumpal di balik kain perempuan. Perempuan hidup; perempuan sekarat. Dari si dukun Maimunah tahu rupa ibunya sebelum direnggut maut.
Kata ibumu kau cantik seperti kunang-kunang.
Di mana aku bisa melihat kunang-kunang?
Aku tak pernah melihatnya, tapi ibumu bilang kunang-kunang menari di kuburan.
Sejarah pun berulang. Seperti Epon, Maimunah pergi mencari binatang bercahaya itu. Tapi bukan kunang-kunang yang ia temukan, melainkan Jaja, kuncen kuburan. Lelaki itu jarang memperlihatkan diri karena sering diolok-olok. Ia bertubuh kerdil, hanya setinggi perut Maimunah, berkulit hitam, berkepala botak licin, dan berkumis kelewat tebal. Tangan-tangannya pendek dipenuhi bulu. Tubuhnya yang kecil bergerak lincah, mirip tikus, hingga anak-anak desa menjulukinya tikus raksasa. Raja Tikus. Orang dewasa melarang anak mereka menjelek-jelekkan orang lain, sebab itu bukan tabiat penduduk Cibeurit, namun tak ada di antara mereka yang mau berlama-lama bicara dengan si kuncen.
Di perjumpaan pertamanya dengan Maimunah, Jaja hanya mendongak sesaat, lalu kembali menggali kubur. Ia terlihat begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa sadar air liur menetes dari mulutnya yang selalu terbuka.
Kalau kamu menjadi mayat, kamu akan sama buruk denganku, ujar Jaja sambil menghapus ludah di sudut bibirnya.
Mungkin karena tak silau cahaya, Jaja di mata Maimunah lebih menarik daripada pemuda-pemuda Cibeurit. Daging busuk lebih memesona lelaki itu ketimbang daging segar. Bila Mak Icih memegang rahasia hidup di balik kain perempuan yang merah kotor, maka Jaja mengetahui segala yang hancur, keropos, berlalu. Ia pemegang kunci dunia mati.
Toha mulai mengendus hubungan ganjil Maimunah dengan kuburan, persis Epon semasa hidupnya. Wajahnya pucat ketika beberapa orang melaporkan keakraban Maimunah dengan si kuncen kate. Ini tak dapat dibiarkan. Sudah waktunya ia bertindak tegas demi masa depan putri tersayang. Toha menawarkan Maimunah pada Suparna, kepala desa, untuk diambil sebagai istri kedua. Lelaki empat puluhan itu punya berhektar-hektar sawah dan sebuah mobil jip. Suparna memahami kerisauan Toha, dan, selayaknya warga desa Cibeurit yang siap membantu tetangga, ia membuka tangan lebar-lebar untuk menyelamatkan harga diri Maimunah.
Sehari sebelum pernikahannya dengan Suparna, Maimunah mendatangi Jaja, menatapnya getir.
Bawa aku pergi, bisiknya.
Jaja tahu ia tak akan pernah bisa membahagiakan Maimunah, maka ia menjawab,
Aku hanya membawa pergi orang mati.
Demi ketentraman desa, gadis belia itu menikah. Ia tinggal di rumah yang cukup besar untuk menaungi dirinya dan Euis, istri pertama Suparna. Setiap minggu, Suparna menghabiskan tiga malam bersamanya, sedangkan sisanya adalah milik Euis. Semuanya baik-baik saja. Maimunah membantu Euis mengurusi ketiga anaknya sesuai tradisi guyub perempuan Cibeurit.
Saat itu pembunuh kita masih memasang mata, menyusun rencana sambil meneguk minumannya. Naluri pembunuhnya selalu melihat kebocoran pada apa-apa yang aman. Ia tersenyum mengetahui bahwa saat tidak sedang bersama Suparna, Maimunah menemui Jaja di kuburan.
Maimunah pergi di malam hari, bahkan kala ia tengah mengandung. Penduduk desa mulai mengendus hubungan gelapnya dengan si kuncen kate. Beberapa orang mengaku pernah melihat perempuan jangkung dan lelaki kerdil bergumul di semak-semak. Warga Cibeurit tak suka bergunjing, tapi perbuatan laknat harus ditindak. Kegemparan tak terhindarkan ketika Maimunah melahirkan seorang bayi lelaki. Mak Icih si dukun beranak memuji, “Kasep.”
Tapi bayi itu tidak tampan. Tubuhnya kecil berbulu, nyaris menyerupai seekor tikus. Berita hubungan Maimunah dan lelaki kerdil itu benar adanya. Jahanam! Suparna meninju tembok hingga buku-buku jarinya berdarah. Ia memberi waktu satu malam bagi istrinya, si pendosa, agar bersiap-siap hengkang dari rumahnya. Malu benar ia punya bayi serupa binatang pengerat. Anak jadah tentunya!
Keesokan harinya, seisi rumah dibangunkan oleh jeritan Euis. Perempuan itu menemukan begitu banyak tikus menyembur dari kamar suaminya, yang tidur bersama Maimunah untuk terakhir kali. Gerombolan binatang hitam dan licin melewati kakinya. Mengamuk. Jumlahnya ratusan, bahkan mungkin seribu. Maimunah tak ditemukannya. Hanya Suparna, tewas mengenaskan. Dagingnya tercabik-cabik, seperti habis dikerati sepanjang malam. Darah dan bulu-bulu halus menutupi borok matanya. Ia ditinggalkan dalam murka dan lapar, tak tandas. Tikus-tikus berlari tergesa. Kematian merayap perlahan.
Tikus-tikus pemangsa itu dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru desa, masuk ke dalam sumur, tempayan, dan tempat penyimpanan beras. Warga Cibeurit tak sempat berduka untuk kepala desa mereka sebab dalam waktu singkat, desa guyub tentram itu diserang penyakit sampar. Mayat membujur di setiap sudut jalan. Tak ada yang mengubur sebab Jaja tiba-tiba menghilang, seolah terhisap udara berbau amis dan genangan muntah. Desa Cibeurit dikurung aroma tikus. Aroma penyakit. Aroma mati.
Si perempuan jangkung dan kekasih kerdilnya tak pernah ditemukan. Penduduk desa percaya Maimunah telah pergi bersama Raja Tikus dan mengutuk desa itu. Mereka yang lolos dari maut sepakat memilih lupa dan mengembara seperti kawanan penyamun. Kekerabatan Cibeurit buyar sudah. Mak Icih, salah seorang yang bertahan, menceritakan kisah ini pada ibu-ibu hamil yang datang padanya. Suratan takdir membiarkannya hidup dan menjadi pemegang rahasia, meski ia tak pernah bisa menjawab pertanyaan para ibu:
Siapakah yang mengirim tikus-tikus pemakan manusia itu?
MAY, pembunuh berdarah dingin kita, telah memuaskan nafsunya untuk menghancurkan. Ia menutup buku catatan kecilnya. Puas. Ceritanya tuntas sampai di sini.
Disibakkannya rambut ikal panjangnya, yang kerap menari-nari seiring lenggok pinggulnya. Matanya tertuju pada bola kristal besar di langit-langit, pada ratusan lingkaran kecil kuning kemerahan yang berputar-putar seperti rotasi planet. Seorang penulis besar, yang memilih nostalgia ketimbang pembunuhan, tentu memaknai gemerlap ini sebagai kunang-kunang yang lain.
Perempuan itu tak mengira akan mengakhiri ceritanya di sebuah kelab malam di Chinatown. Diteguknya lagi minumannya. Seperti banyak perempuan Manhattan, ia menyetiai Cosmopolitan. Vodka, cointreau, lemon, cranberry. Ia selalu melihat dirinya sebagai racikan. Gado-gado juga racikan, tapi gado-gado adalah rumah, kampung halaman, tempat merindu. Tak ada perjalanan.
Dalam perjalanan, kawanan penjahat membunuh demi meninggalkan jejak. Tak mudah bila satu kakimu tersangkut di tempat lain, mencari-cari pasangan sepatu yang terserak entah di mana. May tahu sepatunya tertinggal di desa Cibeurit, maka ia habisi desa guyub tentram itu sebelum desa itu melumatnya. Ia membunuh ruang dan ingatan dengan cinta, seperti membunuh Ayah. Di kota New York, dengan sepatu sebelah, ia bertahan seperti para penyamun. Singgahi tempat-tempat, lalu binasakan! Tempat-tempat yang jauh, kabur, dan terserpih.
Niat May meninggalkan kelab malam tertahan oleh sosok bercahaya. Kunang-kunang? Di samping mejanya duduk seorang lelaki berjubah emas dan berkumis tebal. Topi berkilauan menutupi kepala botaknya. May memicingkan mata, berupaya meyakinkan diri bahwa ia tak mabuk. Lelaki itu tak asing. Betapa pendek kaki-kakinya: menggantung, tak menyentuh lantai. May bergidik, menyadari sesuatu.
Si kuncen kate. Ia muncul di kota ini, bukan sebagai olok-olok seperti di Cibeurit, tetapi sebagai seorang raja kecil. Raja Tikus. May memperhatikan tongkat dalam genggamannya. Ada bola kristal di ujungnya, mirip lampu disko.
Jantung May berdebar. Ia mengira Cibeurit telah luluh lantah, tapi tokohnya hidup, memaksa masuk ke tempat persembunyiannya. Menemukannya. Dengan cerdas ia menyamar sebagai peramal. Meski sedikit takut, May ingin mendekatinya, hanya untuk bertanya, atau lebih tepatnya meminta, seperti ketika Maimunah berbisik pada kekasihnya,
Katakan padaku tentang masa depan.
Tapi si cebol bergeming, asyik dengan martini, tak melirik barang sedikitpun ke arahnya. May melirik kaus yang dikenakan lelaki itu. Little Johnny, demikian tulisannya. Perempuan itu terhempas.
Ia menghabiskan minumannya, menertawakan dirinya sendiri karena percaya jejak-jejak Cibeurit, tak terhapus, tiba-tiba muncul di sebuah kelab di Manhattan. Alangkah bodohnya. Ia Joni, bukan Jaja. Menelan sakit hati, entah karena merasa dungu atau karena Jaja ternyata Joni, May mengalihkan perhatiannya pada kerumunan di lantai dansa. Pengunjung bersorak-sorai ketika DJ yang mereka tunggu-tunggu naik ke atas panggung. DJ itu berkacamata, juga botak, tapi tidak kerdil. Musik berdentum-dentum seperti gaduh suara ribuan tikus yang kelaparan. Semua orang mengangkat satu lengan ke atas, memasrahkan kebahagiaan mereka di tangan piawai sang DJ.
Lelaki di sebelah May menghilang. Kini Little Johnny berada di atas panggung, di samping DJ, berdansa dengan perempuan pirang yang teramat jangkung. May menghela nafas, merasa ditampar dua kali. Lelaki kerdil, dan perempuan jangkungnya, adalah bagian dari pertunjukkan malam ini.
Mungkin si Jangkung itu kekasihnya. Entah mengapa ia cemburu, bertanya-tanya mengapa ia selalu berada di antara, terjebak ménage à trois.
Saat itu May paham bahwa ia kunang-kunang yang berputar-putar seperti lampu disko, tapi tak pernah beranjak. Sudah saatnya pergi. Ia menerobos kerumunan para pedansa, mencari pintu keluar. Dilewatinya penjaga kelab dan beberapa orang yang masih mengantre demi melihat si DJ botak. Ia ingin lari, menghambur, mempersetankan kunang-kunang, menantikan serbuan sampar yang membinasakan semua.
Tapi ia seorang pembunuh yang dihantui.
Di trotoar Chinatown yang mulai lengang, pukul satu dini hari, sesuatu menghentikan langkahnya. Bukan kunang-kunang, tapi Little Johnny, menghapus air liur di sudut bibirnya.
Si cebol yang hanya membawa pergi orang mati.
Di hadapan lelaki berkumis tebal itu, May berdiri mematung. Ia tak percaya apa yang didengarnya,
Where have all the rats gone? ***
NYC, akhir Juni 2008
Penulis: Intan Paramaditha | Koran Tempo, 15 Februari 2009
0 komentar