Tuesday, February 19, 2013

[Cerpen Horor] Sang Pembunuh yang Terbunuh

Malam legam di desaku. Aku hanya terdiam berbaring dalam kamar. Setiap malam begitu sunyi, ngeri dan mencekam. Warga lebih banyak memilih menghabiskan waktu dalam rumah. Bercengkerama dengan keluarga sambil nonton TV. Ada pula yang asyik bermain kartu di Pos Ronda. Nama desaku adalah Desa Rembung Papan. Aku juga tidak begitu mengerti kenapa namanya seperti itu, dan apa arti nama itu. Tapi di sinilah aku besar, di sini aku mulai mengenal hidup. Hidup yang bisa dikatakan keras dan penuh dengan kecurangan. Para pengusaha kaya seenaknya saja mengambil tanah warga dan membayar dengan harga relatif rendah. Kemudian memperkerjakan warga sebagai kuli. Kuli yang sehari penuh bekerja dan tersengat mentari. Hanya mendapat upah yang begitu minim dan terkadang harus pula berhutang kepada para tengkulak.

Tapi apa boleh buat, warga di sini sebagian besar hanya berpendidikan rendah. Tidak mempunyai pikiran luas untuk melawan pihak yang kaya. Mereka hanya pasrah dan cukup tersenyum saat dibagikan upah sore harinya. Upah yang hanya cukup untuk makan. Upah yang membuat mereka sering sakit-sakitan karena pekerjaan yang berat dan uang berobat yang lumayan tinggi. Ujung-ujung mati tanpa pernah mendapat pelayanan yang maksimal. Yah, Uang. Uang adalah segalanya. Uang adalah tuan. Uang begitu dipuja dan diagung-agungkan. Demikian juga dengan aku, apapun akan kulakukan demi uang. Apapun itu.

Aku masih saja termenung. Makku di kamar sebelah sakit-sakitan. Batuknya berdentang sepanjang malam. Yah sudah bertahun-tahun batuk itu semakin menjadi-jadi. Batuk yang terkadang membuatku takut. Batuk yang membuatku selalu berpikir apa aku harus kehilangan begitu cepat sosok seorang Ibu. Ibu adalah satu-satunya yang kupunya setelah bapak dan kakakku meninggal tertabrak kereta dua tahun lalu. Waktu aku masih duduk di kelas tiga SMA. Aku kehilangan beliau. Aku terguncang waktu itu, betapa tidak, Beliau adalah satu-satunya penopang keluarga. Sementara tekadku saat itu adalah menyelesaikan SMA dan hendak kuliah di luar kota. Kuliah, demi semua cita-citaku untuk meningkatkan taraf hidup keluarga. Jujur saja, aku bosan dengan kemiskinan. Aku bosan dengan segala kekurangan. Aku bosan mendengar ibu dan bapak bertengkar hanya karena masalah ekonomi.

Namun apa daya, sejak bapak meninggal. Kehidupan keluargaku semakin sulit. Ibu harus bekerja siang dan malam. Sampai akhirnya ia hanya diam kaku di rumah menikmati sakitnya. Selepas SMA, aku putuskan untuk bekerja di pasar. Menjadi kuli tepatnya. Mengandalkan tenaga mengangkat berkuintal-kuintal beras setiap harinya dengan upah yang begitu minim. Aku hanya ingin melihat Ibuku sehat dan bahagia. Sehingga apa pun akan kulakukan demi dia. Dia adalah kekuatan yang membuat saya bertahan mengarungi semua ini.

Tiba-tiba desa ini tak lagi sunyi. Suara warga riuh di luar. Seperti sedang ada pembagian beras atau zakat dari orang-orang berduit. Ibuku yang lagi sakit pun berusaha keluar kamar mencari tahu ada apa sebenarnya di luar. Aku hanya membuka tirai jendela dan melihat keluar. Kebetulan kamarku terletak pas di pinggir jalan. Begitu dekat dengan kumpulan warga yang ricuh. Aku melihat dengan jelas seorang satpam menggeletakkan sesosok tubuh. Tubuh seorang lelaki yang tampak kekar. Kacamatanya masih terpasang. Bercampur darah. Tubuh yang sudah kehilangan nyawa. Dengan lubang peluru tepat di keningnya.

Para tetangga mulai sibuk bertanya dan menerka-nerka. Setelah sekian lama diketahui mayat itu adalah mayat seorang pengusaha yang sekian tahun menguasai pasar. Semua warga mengambil stok barang dari dia. Mendapat upah minim sedang dia mendapat upah sekian lipat dari barangnya. Tubuh itu diam. Malam semakin gelap. Warga semakin berduyun melihat kejadian. Aku hanya melihat dari balik jendela. Aku hanya termenung melihat kejadian itu. Sontak, dusun ini menjadi ngeri. Semakin ngeri sejak penemuan mayat itu.

Orang-orang bertanya-tanya. Siapa yang membunuhnya? Pertanyaan itu terus mengalir beberapa hari.

“Ah, paling dibunuh sama saingan bisnisnya.”

Yang lain berkata, “Mungkin ada yang tidak suka dengan sikapnya selama hidupnya. Biasalah, orang ini kan pelit. Selalu makan dari keringat warga. Wajarlah ada berbagai pihak yang dendam dan membunuhnya.”

Begitulah obrolan sehari-hari yang kudengar. Mulai di warung kopi, ibu-ibu yang lagi asyik berkumpul. Bahkan di pasar, semua membicarakan hal itu. Aku seperti biasa hanya terdiam tak pernah menanggapi apa pun. Aku memilih untuk tidak berkata apa-apa. Sementara di rumah, ibuku mulai sakit-sakitan. Batuknya tambah parah. Aku memutuskan mengajak meriksa ke puskesmas. Ibu semula menolak, “Biarlah, uang itu pakai aja membeli beras, besok juga sudah baikan kok,” Ia selalu berkata demikian.

“Ada uang lebih, Bu.” Aku mengeluarkan sejumlah uang di kantongku. Ibuku tampak heran melihat uang dalam jumlah lumayan banyak.

“Uang dari mana nak?” tanyanya.

“Kebetulan tadi pagi banyak kerjaan, lumayanlah dapat banyak”. Ibu diam, ia tak bertanya lagi, ia tak pernah terlalu bertanya. Karena Ia sadar aku sudah dewasa.

Akhirnya, Ibu pun mau kubawa ke puskesmas. Sepulang dari puskesmas, aku menyempatkan diri ke toko. Membeli spring bed, dikarenakan aku tak tahan melihat Ibu hanya beralaskan tikar dalam keadaan sakit begini. Ibu hanya tersenyum, “Makasih Nak, mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan rezekinya untukmu.” Ibu seakan ingin menetes air mata. Tangannya masih mengusap rambutku. Aku senang dan bahagia melihat Ibuku juga tersenyum.

Hari itu kami makan enak, aku membeli dua bungkus nasi di warung makan sebelah. Tanpa sengaja di warung tersebut, aku bertemu dengan Pak Sulaiman. Pak Sulaiman adalah seorang pengusaha tembakau yang kaya raya. Tanahnya tersebar di mana-mana dan bahkan Ia sering ke luar kota mengurus bisnis-bisnisnya. Aku pernah bekerja setahun lalu di kebunnya. Mengurus kebun dan beberapa binatang piaraannya. Ia memberiku sebungkus rokok dan mengajakku berbincang sebentar. Hari itu ia tampak galau. Seperti ada beban dalam kepalanya, seperti ada urusan yang harus ia selesaikan dengan meminta bantuanku. Setelah mengobrol, aku pun pulang membawa dua bungkus nasi untuk kumakan bersama ibu.

Ibu tampak lahap makan siang ini. Dikarenakan lapar atau mungkin tumben makan dengan menu seenak ini. Dengan daging, paha ayam dan cumi goreng. Aku tersenyum memandang Ibu. “Kamu gak makan Nak?” Ia menyapaku karena melihatku yang hanya diam tidak menyuapkan nasi sedari tadi. Aku pun tersenyum dan mulai menyuapkan nasi. Ibu istirahat sehabis makan, ia tampak lelah karena lumayan jauh perjalan ke puskesmas tadi.

Aku masuk ke kamar, membuka sebuah lemari yang selalu ku kunci rapat. Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dan mulai berpikir. Sambil mulutku tak henti mengisap rokok yang terus menyala mengeluarkan asap. Asap putih yang terbang dan keluar dari balik jendela. Aku akhirnya keluar dan pamit sama Ibu. Ibu sangat ikhlas melepasku maghrib itu. Suasana desa mulai sepi lagi. Mendung menyelimuti. Gumpalan awan tebal seakan enggan memberi sedikit saja celah untuk sinar bulan. Hanya ada dua orang satpam yang mulai bermain kartu dan berjaga di pos ronda. Aku pun menyapa mereka.

“Permisi bapak-bapak, asyik kayaknya main kartunya.”

“Eh, mas Ilham, mau kemana?” satpam yang agak kurus menyapaku.

“Mau nyari kopi Pak, dingin…”

“Oalah dingin, makanya buruan kawin.” Mereka seperti biasa mencandaiku.

“Kalau sudah waktunya, Jodoh pasti datang,” sahutku supaya tidak terkesan benar-benar kesepian.

“Ya, tidak dicari bagaimana bisa datang?” Serempak mereka semua tertawa.

Sompret. Aku hanya bsa tersenyum. Mereka selalu mencandaiku seperti itu. Selalu nyuruh kawin. Padahal umurku baru 22 tahun. Aku rasa belum saatnya memikirkan itu. Aku harus bisa membuat Ibuku bahagia dan paling tidak bias membeli sebuah rumah yang layak untuk kami tempati. Baru berani ngawinin anak orang. Begitulah pola pikirku. Meskipun banyak teman sebayaku sudah kawin dan malahan banyak yang sudah punya anak satu. Tak sedikit pula yang harus cerai karena terbelit masalah ekonomi. Itulah yang sangat aku takutkan. Sangat kutakutkan. Akhirnya aku pun permisi kepada kedua satpam itu. Mereka melanjutkan lagi permainannya. Malam pun semakin gelap. Hujan besar membasahi penjuru dewasa. Petir menggelegar dan sesekali menyambar. Membuat sebagian orang mengunci pintu rumah rapat-rapat.

***

Tepat jam satu malam aku pulang. Ibuku keluar membukakan pintu. Seperti biasa, Ia tak pernah bertanya sudah dari mana. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Makanan ada di dapur Nak, Ibu masak telur hari ini. Kebetulan masih ada sisa uang kemarin yang kamu kasih.”

Aku hanya tersenyum dan langsung masuk ke kamar. Melihat tetesan hujan yang sesekali menyelinap dari genteng rumah yang bocor. Petir bergemuruh, lagi-lagi warga riuh. Ada yang berteriak dan ada pula yang berlari. Pak satpam lagi-lagi menemukan mayat. Seperti biasa, ia menggeletakkannya di pinggir jalan. Persis di dekat jendela kamar. Aku hanya membuka jendela dan mulai memperhatikan dengan seksama.

Seonggok badan kurus. Dengan rambut ikal dan sudah beruban. Sebuah peluru menembus dadanya. “Saya temukan di pinggiran sungai, saya waktu itu mau buang air, eh, ketemu mayat lagi.” Begitulah pengakuan satpam itu.

Aku mendengarkan dengan seksama. Petugas mulai berdatangan menyelidiki. Hujan menetes membawa darah yang mengucur ditubuh mayat itu. Para warga mulai terbiasa dengan kondisi itu.

“Ah, mayat lagi. Pak Idris ya?” Tampak seorang warga bertanya.

“Biasalah, saingan bisnis, pak Idris baru saja mendapat kontrak oleh Bupati untuk beberapa proyek.”

“Nggak usah berkata begitu, nggak baik.” Seseorang menegurnya. Tangis pilu dari keluarganya pun terdengar. Mayat itu dibungkus rapi, namun darah masih tampak mengucur menembus kain tipis yang menutupi tubuh itu.

Beberapa kejadian mulai banyak terjadi. Beberapa mayat sering ditemukan di malam itu. Polisi terus mencari apa penyebab kematian itu. Apa mungkin penjahatnya begitu profesional hingga jejaknya belum bisa diendus. Atau mungkin ada sosok pembunuh yang bekerjasama dengan jin. Begitulah opini-opini warga. Karena masyarakat sini masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau takhayul.

***

Sekian malam, keadaan semakin mengerikan. Aku memutuskan untuk keluar. Ibuku tampak khawatir malam itu. Biasanya dia melepasku dengan senyuman manis di bibirnya. Tapi entah kenapa malam ini Ia hanya terdiam, bibirnya datar tak menyungging senyum. Aku mencium tangannya dan ia hanya berkata, “Cepet pulang ya, Nak.”

Aku pun beranjak dan melangkah jauh dari teras rumah. Hujan mulai deras. Hampir setiap malam hujan turun dan lampu pasti mati. Maklum, dusun ini belum mendapat aliran listrik yang layak. Dan setiap malam selalu bergantian mati dengan dusun tetangga. Kadang-kadang jatahnya sama-sama seminggu. Begitulah setiap malamnya.

Malam pun semakin lurut. Ibu sendirian di rumah. Mungkin ia sedang asyik bertasbih atau berdoa tak henti-henti untuk keselamatan anaknya. Atau mungkin juga sedang terbaring lesu dengan kesakitannnya. Entahlah, ia hanya sendiri di rumah. Aku meninggalkannya sejak maghrib tadi.

Riuh warga mulai terdengar. “Ada mayat lagi!” Sorak sorai warga menembus malam. Ibuku terkaget dan keluar ditemani lampu senter yang redup. Ia tampak mulai masuk di kerumunan warga yang sedang ramai. Betapa kagetnya ia, melihat sekujur tubuhku tergeletak dengan dada ditembus dua peluru. Jerit tangisnya menyeruak membelah malam. Matanya bening dan pipinya merah merekah. Aku bisa melihatnya sebelum aku benar-benar menghembuskan napas terakhir.

“Ia ditembak polisi,” begitulah warga menjelaskan.

Penulis: Rifat Khan | Rifatkhanblog

0 komentar