Aku meminum teh hangatku yang berada di meja dengan perlahan. Terdengar derap langkah sesuatu, ah, tidak. Seseorang lebih tepatnya. Aku meletakkan cangkir yang aku pegang kembali ke tempatnya. Sambil memandang kebun bunga yang kumiliki, aku tersenyum. Seseorang yang melangkah ke sini akhirnya berhenti. Kira-kira jarakku dengannya adalah satu meter. Sayangnya, aku belum bisa menggambarkan ekspresi tamuku karena aku membelakanginya.
“Selamat sore, Tuan Gold. Bukankah ini hari yang indah?” ujarku sambil membalikkan kursiku. Aku tersenyum ke arahnya, dan ia membalas dengan tatapan penuh dendam. Ah, tatapan yang paling indah di dalam hidupku.
“Kau! Bukankah kita sudah membuat perjanjian?!” nada suaranya yang penuh dengan kebencian terdengar merdu di telingaku.
“Tentu saja, dan jika saya membuat perjanjian tak akan pernah bisa dibatalkan. Anda sendiri juga tahu kan?”
“Ah! Dasar penipu! Buktinya, Emma masih hidup!”
“Lantas? Apa yang Anda ributkan?”
“Mana perjanjian kita?! Di dalam kontrak, kau bersedia membunuhnya! Tapi apa?! Sampai sekarang Emma masih hidup!”
Aku mendekat ke arahnya perlahan dan berbisik di telinganya, “Asalkan Anda tahu, saya bisa membuat perjanjian dengan siapa saja. Dan saat perjanjian kita, saya belum memikirkan apa yang saya inginkan dari Anda. Tapi sepertinya sekarang saya tahu.”
Lelaki yang disebut-sebut sebagai walikota itu akhirnya tumbang juga setelah kutusuk perutnya dengan pisau kecil yang selalu terselip di balik lengan bajuku. Aku menyeret tubuhnya dan menguburkannya di tengah kebunku dengan orang-orang yang pernah melakukan perjanjian denganku.
“Yang saya inginkan adalah kematian Anda,” ucapku sambil menebarkan rerumputan dan bunga untuk menutupi kuburannya. Mungkin yang aku ucapkan tadi sangat tidak penting, karena ia tak akan mendengarnya di bawah tanah sana.
Aku jadi ingat dengan seorang gadis bernama Emma yang melakukan perjanjian denganku beberapa minggu yang lalu.
***
“Akhirnya. Kau sudah lama kucari, Emma Blanchard,” aku duduk di hadapannya yang sedang merintih kesakitan memegangi perutnya yang besar itu.
“Tolong aku. Kumohon, selamatkan bayi ini. Kumohon…” tangisnya di sela sakit yang ia rasakan. Aku tahu betapa sakitnya itu karena aku pernah merasakannya.
“Berapa umurmu?”
“Sembilan belas tahun.”
Entah setan apa yang merasuki jiwaku untuk menolongnya bersalin di sebuah rumah sakit. Rasanya, aku seperti melihat diriku tiga tahun yang lalu. Tapi pada saat itu umurku delapan belas, lebih muda darinya. Tapi dalam kondisi seperti ini semua hal bisa saja terlihat sama.
Sesampai di rumah sakit, aku menunggunya di ruang tunggu. Memikirkan apa aku harus melakukan kontrak yang aku buat dengan Tuan Gold, atau tidak sama sekali. Seorang suster menghampiriku dan mengatakan keadaan bayi maupun ibunya sangat sehat. Itu bukan yang aku pedulikan saat ini. Yang aku pedulikan hanyalah kontrakku. Hanya itu.
“Kau sudah baikan?” tanyaku memasuki kamar bersalinnya. Dan ia hanya mengangguk lalu tersenyum memandangi bayinnya.
“Kau tahu, sekarang nyawamu dan nyawa bayimu sedang diincar oleh Tuan Gold. Apa yang ingin kau lakukan?” aku menatapnya serius. Tak ada respon yang berlebihan juga darinya.
“Kau si pembuat kontrak bukan?”
“Sesuai yang kau ucapkan.”
“Kalau begitu, bunuh dia! Kau bisa kan?”
“Setiap perbuatan ada imbalannya,” aku duduk di tepi ranjangnya, dan sepertinya ia tidak main-main. “Baiklah, aku belum tahu apa yang aku inginkan. Jadi, bagaimana?”
“Sepakat.”
Aku tersenyum lalu pergi meninggalkannya. Dan menunggu Gold pergi ke tempatku dengan sendirinya.
***
‘Tok. Tok’
Aku mendengar suara pintu rumahku diketuk. Aku tahu siapa yang datang. Dan ia mencari sesuatu, tidak, seseorang lebih tepatnya.
Aku membukakan pintu untuk orang yang tak lain adalah polisi. “Permisi. Apakah Anda Emma Swan?”
“Memang terdengar seperti itu. Ada apa?”
“Anda ditahan tuduhan pembunuh berantai yang sudah membunuh lebih dari sepuluh orang di kota ini,” dan setelah kalimat itu berakhir, sebuah borgol terpasang dengan indah di kedua tanganku. Akhirnya saat-saat seperti ni terjadi juga. Sudah lama aku bermimpi tentang hal ini.
***
Sejak tadi aku melihat seorang sipir duduk dengan wajah yang ditekuk. Aku tersenyum lalu berkata kepadanya, “Ada masalah, Tuan sipir?”
“Banyak sekali. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan sendiri. Aku rasa kau tahu bagaimana rasanya.”
Aku tersenyum, “Kalau begitu, mungkin aku bisa membantu.”
“Benarkah?”
“Tapi, tiap perbuatan harus ada imbalannya. Bagaimana?” tanyaku sambil tersenyum ke arahnya.
“Setuju.”
Penulis: Wiedya_Swead | Kemudian
“Selamat sore, Tuan Gold. Bukankah ini hari yang indah?” ujarku sambil membalikkan kursiku. Aku tersenyum ke arahnya, dan ia membalas dengan tatapan penuh dendam. Ah, tatapan yang paling indah di dalam hidupku.
“Kau! Bukankah kita sudah membuat perjanjian?!” nada suaranya yang penuh dengan kebencian terdengar merdu di telingaku.
“Tentu saja, dan jika saya membuat perjanjian tak akan pernah bisa dibatalkan. Anda sendiri juga tahu kan?”
“Ah! Dasar penipu! Buktinya, Emma masih hidup!”
“Lantas? Apa yang Anda ributkan?”
“Mana perjanjian kita?! Di dalam kontrak, kau bersedia membunuhnya! Tapi apa?! Sampai sekarang Emma masih hidup!”
Aku mendekat ke arahnya perlahan dan berbisik di telinganya, “Asalkan Anda tahu, saya bisa membuat perjanjian dengan siapa saja. Dan saat perjanjian kita, saya belum memikirkan apa yang saya inginkan dari Anda. Tapi sepertinya sekarang saya tahu.”
Lelaki yang disebut-sebut sebagai walikota itu akhirnya tumbang juga setelah kutusuk perutnya dengan pisau kecil yang selalu terselip di balik lengan bajuku. Aku menyeret tubuhnya dan menguburkannya di tengah kebunku dengan orang-orang yang pernah melakukan perjanjian denganku.
“Yang saya inginkan adalah kematian Anda,” ucapku sambil menebarkan rerumputan dan bunga untuk menutupi kuburannya. Mungkin yang aku ucapkan tadi sangat tidak penting, karena ia tak akan mendengarnya di bawah tanah sana.
Aku jadi ingat dengan seorang gadis bernama Emma yang melakukan perjanjian denganku beberapa minggu yang lalu.
***
“Akhirnya. Kau sudah lama kucari, Emma Blanchard,” aku duduk di hadapannya yang sedang merintih kesakitan memegangi perutnya yang besar itu.
“Tolong aku. Kumohon, selamatkan bayi ini. Kumohon…” tangisnya di sela sakit yang ia rasakan. Aku tahu betapa sakitnya itu karena aku pernah merasakannya.
“Berapa umurmu?”
“Sembilan belas tahun.”
Entah setan apa yang merasuki jiwaku untuk menolongnya bersalin di sebuah rumah sakit. Rasanya, aku seperti melihat diriku tiga tahun yang lalu. Tapi pada saat itu umurku delapan belas, lebih muda darinya. Tapi dalam kondisi seperti ini semua hal bisa saja terlihat sama.
Sesampai di rumah sakit, aku menunggunya di ruang tunggu. Memikirkan apa aku harus melakukan kontrak yang aku buat dengan Tuan Gold, atau tidak sama sekali. Seorang suster menghampiriku dan mengatakan keadaan bayi maupun ibunya sangat sehat. Itu bukan yang aku pedulikan saat ini. Yang aku pedulikan hanyalah kontrakku. Hanya itu.
“Kau sudah baikan?” tanyaku memasuki kamar bersalinnya. Dan ia hanya mengangguk lalu tersenyum memandangi bayinnya.
“Kau tahu, sekarang nyawamu dan nyawa bayimu sedang diincar oleh Tuan Gold. Apa yang ingin kau lakukan?” aku menatapnya serius. Tak ada respon yang berlebihan juga darinya.
“Kau si pembuat kontrak bukan?”
“Sesuai yang kau ucapkan.”
“Kalau begitu, bunuh dia! Kau bisa kan?”
“Setiap perbuatan ada imbalannya,” aku duduk di tepi ranjangnya, dan sepertinya ia tidak main-main. “Baiklah, aku belum tahu apa yang aku inginkan. Jadi, bagaimana?”
“Sepakat.”
Aku tersenyum lalu pergi meninggalkannya. Dan menunggu Gold pergi ke tempatku dengan sendirinya.
***
‘Tok. Tok’
Aku mendengar suara pintu rumahku diketuk. Aku tahu siapa yang datang. Dan ia mencari sesuatu, tidak, seseorang lebih tepatnya.
Aku membukakan pintu untuk orang yang tak lain adalah polisi. “Permisi. Apakah Anda Emma Swan?”
“Memang terdengar seperti itu. Ada apa?”
“Anda ditahan tuduhan pembunuh berantai yang sudah membunuh lebih dari sepuluh orang di kota ini,” dan setelah kalimat itu berakhir, sebuah borgol terpasang dengan indah di kedua tanganku. Akhirnya saat-saat seperti ni terjadi juga. Sudah lama aku bermimpi tentang hal ini.
***
Sejak tadi aku melihat seorang sipir duduk dengan wajah yang ditekuk. Aku tersenyum lalu berkata kepadanya, “Ada masalah, Tuan sipir?”
“Banyak sekali. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan sendiri. Aku rasa kau tahu bagaimana rasanya.”
Aku tersenyum, “Kalau begitu, mungkin aku bisa membantu.”
“Benarkah?”
“Tapi, tiap perbuatan harus ada imbalannya. Bagaimana?” tanyaku sambil tersenyum ke arahnya.
“Setuju.”
Penulis: Wiedya_Swead | Kemudian
0 komentar