Riana menemukan sepucuk pistol di laci kamar hotelnya.
Ia memang sudah menaruh curiga ketika pertama kali memasuki hotel ini. Terletak di sudut kota tanpa penerangan dan hanya ada satu orang yang menjaga hotel itu. Apa tadi yang ia katakan ketika Riana sampai di sini?
“Selamat datang, Nyonya. Anda datang menggunakan kendaraan pribadi?”
Seharusnya Riana sudah curiga dengan sambutan itu. Semua recepsionis hotel yang normal akan melontarkan pertanyaan ‘ingin menyewa kamar berapa malam’ atau ‘ingin menyewa kamar untuk berapa orang’ ketika tamu datang, bukan pertanyaan apakah datang dengan kendaraan pribadi. Peduli sangat mereka untuk mengurus kendaraan sang terdaftar. Jangankan vallet parkir, lahan parkir hotel juga hanya berupa marka putih tertimpa cahaya lampu kota redup.
Tapi kota ini memang agak aneh. Kota ini tidak terdaftar di GPS mobil, tidak juga di atlas. Jadi bagaimana Riana menemukan kota dan hotel ini? Ah, ia ingat. Seorang teman mengenalkannya. Kata temannya itu, ambil belokan ketiga setelah keluar tol. Terus ikuti jalan setapak, jangan berbelok. Memang setelah melewati hutan pinus dan menyusuri lengkungan danau ia menemukan hotel ini.
Ada satu lagi yang aneh mengenai hotel ini, Riana akhirnya ingat. Riana diminta membayar uang menginap untuk satu malam. Biasanya kan hotel selalu meminta bayaran ketika orang check-out. Mahal pula biayanya! Nyaris menghabiskan empat bulan gajinya. Ia hendak memprotes, tapi pelayan tunggal itu berkata,
“Harganya mahal karena kami menyediakan fasilitas khusus di kamar hotel kami.”
Riana sudah hendak membatalkan sewanya tetapi ia tidak mau menghabiskan malam di mobilnya dan membuka sedikit kacanya agar udara masuk. Ia takut aki mobilnya soak kalau ia menyalakan pendingin terlalu lama. Lagipula kota ini hanya memiliki satu tiang lampu yang menyala redup di tiap jarak lima puluh meter. Makanya ia tidak berdaya, langsung membayar harga yang diminta oleh pria yang bertubuh bongkok dan gigi menjorok ke depan.
Ia langsung mengambil kunci. Riana merasa tidak perlu untuk memberi tahu sang recepsionist berapa lama ia akan menginap. Selain karena pria itu belum bertanya, ia juga tidak ingat akan menginap berapa lama. Ketika sudah sampai di kamar hotel ukuran enam kali delapan dengan sofa empuk, kamar mandi bath up, dan televisi layar datar, ia merasa kamar hotel ini lumayan juga. Tapi ia tidak menemukan fasilitas khusus yang dimaksud oleh si pria di meja depan. Semuanya tampak normal-normal saja.
Barulah ketika ia selesai membasuh tubuh dengan air panas dan menerima makanan yang diantar ke kamarnya (pelayannya sama lagi!), ia menemukannya. Pertamanya, ia duduk di tepian ranjang. Tangannya memijit-mijit telapak kaki yang pegal menekal pedal gas. Ketika itulah ia menengok ke arah samping kanan dan menemukan nakas kecil. Di atas nakas ada lampu. Biasa saja, ia pikir. Tapi ketika ia membuka laci pertama ia menemukan pistol itu.
Ini pasti yang dimaksud fasilitas khusus oleh pelayan hotel itu!
Riana memegang popornya. Takut-takut meledak, ia menyentuh ujung pistol itu dengan jarinya. Di laci itu ia juga menemukan buku petunjuk cara menggunakan, yang sepertinya sengaja dicetak oleh pihak hotel. Pistol itu adalah revolver biasa. Berisikan kapasitas enam peluru yang memutar. Kalibernya kecil saja, tapi Riana tahu satu peluru saja sudah cukup mematikan seseorang. Ia membuka tempat amunisinya. Pistol itu terisi penuh.
Kini Riana jadi ketakutan. Ia meletakkan pistol dan manual itu kembali ke tempatnya dan langsung menutup laci itu. Ia belum pernah memegang senjata api sebelumnya.
Ia jadi penasaran apa tujuannya datang kemari. Riana menderita penyakit short-term memory loss. Kata yang lebih ramah dibanding hanya menyebut pelupa. Dibuat istilah medisnya sehingga dokter bisa mendiagnosis dan memberikannya resep obat yang tidak akan pernah bisa menyembuhkannya. Biasanya Riana membawa notes kecil yang selalu diselipkan di saku celananya. Ia akan menuliskan daftar kegiatan yang mesti ia lakukan, tempat yang harus ia kunjungi, dan orang yang harus ia jumpai. Tapi kini ia tidak membawa catatannya.
“Hotel itu akan menyelesaikan masalahmu.” Riana teringat ucapan temannya.
Maka mulailah Riana berasumsi, apa yang perlu ia lakukan dengan sebuah pistol. Tentunya, dan seharusnya, pistol hanya digunakan untuk menembak. Menembak apa? Tentunya lagi, dan seharusnya lagi, pistol yang baik hanya untuk menembak orang. Bulu kuduk Riana berdiri ketika ia sampai pada pertanyaan itu: ia ingin membunuh siapa.
Baiklah, ia akan berusaha mengingatnya. Penderita penyakit short-term memory loss memang kesulitan untuk membentuk memori baru yang bertahan lama, akan tetapi mereka masih bisa mengingat kejadian sebelum mereka menderita penyakit itu. Barangkali ada orang di masa lalu yang ingin dibunuhnya.
Di pikirannya tergambar seorang perempuan yang melahirkannya. Bertubuh kecil dan selalu mengantongi kacamata besar di saku. Ibunya adalah seorang penjahit. Orang-orang yang merasa harga celana jins di toko terlalu mahal biasa datang kepadanya. Kadang orang kelebihan lemak juga meminta dibuatkan celana. Ibunya biasa melingkarkan meteran kain di pinggang para pembeli, mencatat dengan perhatian di nota. Riana sering mendengar suara mesin jahit mengetuk-ngetuk kain pada larut malam.
Mimpi ibunya mendirikan butik dan merancang gaun-gaun pengantin mewah. Memakai kain sifon untuk menjahitnya, bukan kain tebal yang kadang-kadang bikin sempit kemaluan. Ibunya menceritakan impiannya ketika sedang menghitung-hitung panjang bahan yang diperlukan, ketika memintal sebuah benang dari satu lubang ke lubang lainnya, ketika bersama Riana. Ia seakan menebar ironi: seorang tukang permak levis yang bercita-cita mendirikan butik.
Belakangan Riana sadar ibunya tidak menceritakan mimpi untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Riana, agar ia berlajar bermimpi.
Kenapa gaun pengantin? Tidak adakah keinginan bunda merancang gaun mode, gaun pesta? Tanya Riana suatu malam. Ibunya terus menjahit seraya tersenyum. Riana kala itu belum sadar bahwa sudah merupakan kewajiban bagi seorang orangtua untuk membanggakan pernikahannya, memperlihatkan foto pelaminannya.
Sampai pada satu ketika ibunya pulang dari pesta bersama temannya. Ketika pergi ia memakai taksi, berdua dengan sang sopir, depan-belakang. Ketika pulang ia kembali dengan sebuah mobil chevrolet hijau tua, berdua dengan sang sopir, bersebelahan.
Riana dikenalkan dengan seorang laki-laki tua tambun. Keriput menjalari rambutnya. Sebelah matanya hanya terbuka sipit akibat penyakit stroke yang pernah membuatnya koma. Bicaranya menggelegar, kadang tidak keruan sehingga membuat Riana tidak mengerti.
Sebulan kemudian Riana mendapat kosakata baru. Ayah.
Lalu apa?
Riana berusaha mengingat dan mengingat. Tapi ingatannya seperti daun yang berguguran, perlu waktu untuk mengumpulkannya lagi dan merangkainya kembali. Ia ingat sebuah kalimat yang mulai rutin diucapkan ketika Riana berusia sepuluh tahun.
“Kamu itu cuma tukang jahit! Gak usah ngatur-ngatur!”
Riana terhuyung. Apakah tadi itu ayahnya yang berkata demikian?
Ibunya bagai madu yang telah habis disepah. Tidak bertahan selamanya dan habis di tengah jalan. Perkawinan mereka masihlah begitu muda ketika pihak laki-laki menjadi lebih berkuasa.
Ia ingat bahwa ayahnya jadi sering tidak pulang ke rumah. Ia ingat betapa sering ayahnya itu menggedor pintu ketika malam hari hingga para tetangga mengeluh keesokan harinya. Dan ibu hanya bisa menyunggingkan senyum diiringi permintaan maaf.
Ayah pulang dengan keadaan mabuk. Ayah pulang dengan baju terbuka dan langkah sempoyongan. Ayah pulang dengan bau parfum murahan di tubuhnya.
Ayah tidak pulang.
Suatu hari ayah datang ke rumah―agaknya istilah ‘pulang’ tak lagi tepat. Bau alkohol merebak dari mulutnya. Kakinya seperti sedang berdansa dan tangannya direntang lebar-lebar. Pipinya seolah diberikan serbuk merah dan tenggorokannya diisi oleh udara sendawa.
Ayah dijamu ibu di ruang tamu. Menyediakannya air putih hanya untuk sekedar mengisi spasi janggal antara dua kursi sofa. Ayah menyangka itu bir dan tersedak ketika mendapati apa yang diminumnya tidak mengandung alcohol. Brak! Riana ingat jelas bagaimana suaranya karena malam itu ia masih terbangun dan mengintip dari jendela pintu yang dibuka sedikit.
Bunyi porselen ketika pecah terbanting ke lantai adalah prang, sedangkan ini brak. Perpaduan suara gelas pecah dan tulang yang patah. Ayanya bukan membanting gelas itu ke lantai, melainkan…
Riana menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia baru saja mengingat hal yang begitu menakutkannya. Kepalanya terasa kebas dan air mata mulai menggenang. Ia mengambil lagi pistol di laci. Urat-urat seketika tercetak di kulitnya. Tentunya laki-laki itu yang akan ia bunuh.
Atau sudah. Eh?
Terakhir kali Riana melihat ayahnya adalah di pemakaman. Bukan pemakaman ibunya. Pemakaman itu kosong dan yang ada hanya liang lahat kecil di bukit gundul. Tidak ada orang lain. Hanya Riana dan... jasad ayahnya.
Pemakaman dilakukan tergesa-gesa. Jenazah tidak dimandikan ataupun didoakan. Ini bukan seremoni menghantarkan almarhum kembali menyatu dengan tanah melainkan sebagai seremoni penyatuan kembali tanah kepada ayahnya. Mata ayahnya bahkan belum tertutup. Tanah galian yang terasa lebih merah dibandingkan biasanya. Riana tidak ingat lagi ketika tanah kembali menjadi rata. Barangkali ia pingsan di sana dan tidak sengaja mencium tanah kuburan ayahnya.
Di kamar hotel, Riana sedang menangis. Tapi meski sudah berkali-kali ia mengusapkan punggung tangannya dan kembali menangis lagi, ia masih tidak paham. Untuk apa ia menangis? Kepada siapa? Ibunya atau dirinya?
Lalu pertanyaan yang sedari tadi terlupa membuatnya berhenti terisak. Jadi siapa yang harus ia bunuh?
Ia ingat ruang pemeriksaan serba putih yang harus dilaluinya. Otaknya difoto, entah bagaimana caranya. Apa yang dikatakan dokter itu kepada temannya?
“Riana mengalami syok hebat. Ia begitu trauma saat menyaksikan ibunya dibunuh. Ditambah juga rasa bersalahnya ketika ia membunuh ayahnya. Syok ini menyebabkan gangguan di otaknya.”
“Kejadian itu memaksa otaknya untuk tidak mengingat. Mekanisme perlindungan diri berusaha untuk mengubur memori yang membuatnya syok itu. Efek sampingnya ia jadi mudah kehilangan ingatan jangka pendeknya.”
“Meski ia berusaha melupakan kejadian itu, ada saatnya ketika secara tidak sengaja ia mengingatnya. Ketika ia memegang foto ibunya ia akan menangis hebat bahkan sampai kejang. Meski esok paginya ia akan kembali pulih seolah tiada yang terjadi.”
Barangkali Riana yang lelah akan trauma dan rasa takut itu diam-diam meminta saran dari temannya. Temannya tidak tega melihat Riana terus menerus menderita akan sesuatu yang tidak bisa ia ingat. Akan tetapi temannya itu juga tidak bisa berbuat apapun. Kecuali menunjukkan jalan ke hotel ini.
Riana kini tidak menangis lagi. Ia sudah tahu harus mengarahkan pistol itu kepada siapa.
Ia jadi sadar mengapa si pelayan tidak menanyakan berapa malam ia akan tinggal. Barangkali karena selama ini memang tidak pernah ada orang yang menginap lebih dari satu malam.[]
Penulis: H Lind | Kemudian
Ia memang sudah menaruh curiga ketika pertama kali memasuki hotel ini. Terletak di sudut kota tanpa penerangan dan hanya ada satu orang yang menjaga hotel itu. Apa tadi yang ia katakan ketika Riana sampai di sini?
“Selamat datang, Nyonya. Anda datang menggunakan kendaraan pribadi?”
Seharusnya Riana sudah curiga dengan sambutan itu. Semua recepsionis hotel yang normal akan melontarkan pertanyaan ‘ingin menyewa kamar berapa malam’ atau ‘ingin menyewa kamar untuk berapa orang’ ketika tamu datang, bukan pertanyaan apakah datang dengan kendaraan pribadi. Peduli sangat mereka untuk mengurus kendaraan sang terdaftar. Jangankan vallet parkir, lahan parkir hotel juga hanya berupa marka putih tertimpa cahaya lampu kota redup.
Tapi kota ini memang agak aneh. Kota ini tidak terdaftar di GPS mobil, tidak juga di atlas. Jadi bagaimana Riana menemukan kota dan hotel ini? Ah, ia ingat. Seorang teman mengenalkannya. Kata temannya itu, ambil belokan ketiga setelah keluar tol. Terus ikuti jalan setapak, jangan berbelok. Memang setelah melewati hutan pinus dan menyusuri lengkungan danau ia menemukan hotel ini.
Ada satu lagi yang aneh mengenai hotel ini, Riana akhirnya ingat. Riana diminta membayar uang menginap untuk satu malam. Biasanya kan hotel selalu meminta bayaran ketika orang check-out. Mahal pula biayanya! Nyaris menghabiskan empat bulan gajinya. Ia hendak memprotes, tapi pelayan tunggal itu berkata,
“Harganya mahal karena kami menyediakan fasilitas khusus di kamar hotel kami.”
Riana sudah hendak membatalkan sewanya tetapi ia tidak mau menghabiskan malam di mobilnya dan membuka sedikit kacanya agar udara masuk. Ia takut aki mobilnya soak kalau ia menyalakan pendingin terlalu lama. Lagipula kota ini hanya memiliki satu tiang lampu yang menyala redup di tiap jarak lima puluh meter. Makanya ia tidak berdaya, langsung membayar harga yang diminta oleh pria yang bertubuh bongkok dan gigi menjorok ke depan.
Ia langsung mengambil kunci. Riana merasa tidak perlu untuk memberi tahu sang recepsionist berapa lama ia akan menginap. Selain karena pria itu belum bertanya, ia juga tidak ingat akan menginap berapa lama. Ketika sudah sampai di kamar hotel ukuran enam kali delapan dengan sofa empuk, kamar mandi bath up, dan televisi layar datar, ia merasa kamar hotel ini lumayan juga. Tapi ia tidak menemukan fasilitas khusus yang dimaksud oleh si pria di meja depan. Semuanya tampak normal-normal saja.
Barulah ketika ia selesai membasuh tubuh dengan air panas dan menerima makanan yang diantar ke kamarnya (pelayannya sama lagi!), ia menemukannya. Pertamanya, ia duduk di tepian ranjang. Tangannya memijit-mijit telapak kaki yang pegal menekal pedal gas. Ketika itulah ia menengok ke arah samping kanan dan menemukan nakas kecil. Di atas nakas ada lampu. Biasa saja, ia pikir. Tapi ketika ia membuka laci pertama ia menemukan pistol itu.
Ini pasti yang dimaksud fasilitas khusus oleh pelayan hotel itu!
Riana memegang popornya. Takut-takut meledak, ia menyentuh ujung pistol itu dengan jarinya. Di laci itu ia juga menemukan buku petunjuk cara menggunakan, yang sepertinya sengaja dicetak oleh pihak hotel. Pistol itu adalah revolver biasa. Berisikan kapasitas enam peluru yang memutar. Kalibernya kecil saja, tapi Riana tahu satu peluru saja sudah cukup mematikan seseorang. Ia membuka tempat amunisinya. Pistol itu terisi penuh.
Kini Riana jadi ketakutan. Ia meletakkan pistol dan manual itu kembali ke tempatnya dan langsung menutup laci itu. Ia belum pernah memegang senjata api sebelumnya.
Ia jadi penasaran apa tujuannya datang kemari. Riana menderita penyakit short-term memory loss. Kata yang lebih ramah dibanding hanya menyebut pelupa. Dibuat istilah medisnya sehingga dokter bisa mendiagnosis dan memberikannya resep obat yang tidak akan pernah bisa menyembuhkannya. Biasanya Riana membawa notes kecil yang selalu diselipkan di saku celananya. Ia akan menuliskan daftar kegiatan yang mesti ia lakukan, tempat yang harus ia kunjungi, dan orang yang harus ia jumpai. Tapi kini ia tidak membawa catatannya.
“Hotel itu akan menyelesaikan masalahmu.” Riana teringat ucapan temannya.
Maka mulailah Riana berasumsi, apa yang perlu ia lakukan dengan sebuah pistol. Tentunya, dan seharusnya, pistol hanya digunakan untuk menembak. Menembak apa? Tentunya lagi, dan seharusnya lagi, pistol yang baik hanya untuk menembak orang. Bulu kuduk Riana berdiri ketika ia sampai pada pertanyaan itu: ia ingin membunuh siapa.
Baiklah, ia akan berusaha mengingatnya. Penderita penyakit short-term memory loss memang kesulitan untuk membentuk memori baru yang bertahan lama, akan tetapi mereka masih bisa mengingat kejadian sebelum mereka menderita penyakit itu. Barangkali ada orang di masa lalu yang ingin dibunuhnya.
Di pikirannya tergambar seorang perempuan yang melahirkannya. Bertubuh kecil dan selalu mengantongi kacamata besar di saku. Ibunya adalah seorang penjahit. Orang-orang yang merasa harga celana jins di toko terlalu mahal biasa datang kepadanya. Kadang orang kelebihan lemak juga meminta dibuatkan celana. Ibunya biasa melingkarkan meteran kain di pinggang para pembeli, mencatat dengan perhatian di nota. Riana sering mendengar suara mesin jahit mengetuk-ngetuk kain pada larut malam.
Mimpi ibunya mendirikan butik dan merancang gaun-gaun pengantin mewah. Memakai kain sifon untuk menjahitnya, bukan kain tebal yang kadang-kadang bikin sempit kemaluan. Ibunya menceritakan impiannya ketika sedang menghitung-hitung panjang bahan yang diperlukan, ketika memintal sebuah benang dari satu lubang ke lubang lainnya, ketika bersama Riana. Ia seakan menebar ironi: seorang tukang permak levis yang bercita-cita mendirikan butik.
Belakangan Riana sadar ibunya tidak menceritakan mimpi untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Riana, agar ia berlajar bermimpi.
Kenapa gaun pengantin? Tidak adakah keinginan bunda merancang gaun mode, gaun pesta? Tanya Riana suatu malam. Ibunya terus menjahit seraya tersenyum. Riana kala itu belum sadar bahwa sudah merupakan kewajiban bagi seorang orangtua untuk membanggakan pernikahannya, memperlihatkan foto pelaminannya.
Sampai pada satu ketika ibunya pulang dari pesta bersama temannya. Ketika pergi ia memakai taksi, berdua dengan sang sopir, depan-belakang. Ketika pulang ia kembali dengan sebuah mobil chevrolet hijau tua, berdua dengan sang sopir, bersebelahan.
Riana dikenalkan dengan seorang laki-laki tua tambun. Keriput menjalari rambutnya. Sebelah matanya hanya terbuka sipit akibat penyakit stroke yang pernah membuatnya koma. Bicaranya menggelegar, kadang tidak keruan sehingga membuat Riana tidak mengerti.
Sebulan kemudian Riana mendapat kosakata baru. Ayah.
Lalu apa?
Riana berusaha mengingat dan mengingat. Tapi ingatannya seperti daun yang berguguran, perlu waktu untuk mengumpulkannya lagi dan merangkainya kembali. Ia ingat sebuah kalimat yang mulai rutin diucapkan ketika Riana berusia sepuluh tahun.
“Kamu itu cuma tukang jahit! Gak usah ngatur-ngatur!”
Riana terhuyung. Apakah tadi itu ayahnya yang berkata demikian?
Ibunya bagai madu yang telah habis disepah. Tidak bertahan selamanya dan habis di tengah jalan. Perkawinan mereka masihlah begitu muda ketika pihak laki-laki menjadi lebih berkuasa.
Ia ingat bahwa ayahnya jadi sering tidak pulang ke rumah. Ia ingat betapa sering ayahnya itu menggedor pintu ketika malam hari hingga para tetangga mengeluh keesokan harinya. Dan ibu hanya bisa menyunggingkan senyum diiringi permintaan maaf.
Ayah pulang dengan keadaan mabuk. Ayah pulang dengan baju terbuka dan langkah sempoyongan. Ayah pulang dengan bau parfum murahan di tubuhnya.
Ayah tidak pulang.
Suatu hari ayah datang ke rumah―agaknya istilah ‘pulang’ tak lagi tepat. Bau alkohol merebak dari mulutnya. Kakinya seperti sedang berdansa dan tangannya direntang lebar-lebar. Pipinya seolah diberikan serbuk merah dan tenggorokannya diisi oleh udara sendawa.
Ayah dijamu ibu di ruang tamu. Menyediakannya air putih hanya untuk sekedar mengisi spasi janggal antara dua kursi sofa. Ayah menyangka itu bir dan tersedak ketika mendapati apa yang diminumnya tidak mengandung alcohol. Brak! Riana ingat jelas bagaimana suaranya karena malam itu ia masih terbangun dan mengintip dari jendela pintu yang dibuka sedikit.
Bunyi porselen ketika pecah terbanting ke lantai adalah prang, sedangkan ini brak. Perpaduan suara gelas pecah dan tulang yang patah. Ayanya bukan membanting gelas itu ke lantai, melainkan…
Riana menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia baru saja mengingat hal yang begitu menakutkannya. Kepalanya terasa kebas dan air mata mulai menggenang. Ia mengambil lagi pistol di laci. Urat-urat seketika tercetak di kulitnya. Tentunya laki-laki itu yang akan ia bunuh.
Atau sudah. Eh?
Terakhir kali Riana melihat ayahnya adalah di pemakaman. Bukan pemakaman ibunya. Pemakaman itu kosong dan yang ada hanya liang lahat kecil di bukit gundul. Tidak ada orang lain. Hanya Riana dan... jasad ayahnya.
Pemakaman dilakukan tergesa-gesa. Jenazah tidak dimandikan ataupun didoakan. Ini bukan seremoni menghantarkan almarhum kembali menyatu dengan tanah melainkan sebagai seremoni penyatuan kembali tanah kepada ayahnya. Mata ayahnya bahkan belum tertutup. Tanah galian yang terasa lebih merah dibandingkan biasanya. Riana tidak ingat lagi ketika tanah kembali menjadi rata. Barangkali ia pingsan di sana dan tidak sengaja mencium tanah kuburan ayahnya.
Di kamar hotel, Riana sedang menangis. Tapi meski sudah berkali-kali ia mengusapkan punggung tangannya dan kembali menangis lagi, ia masih tidak paham. Untuk apa ia menangis? Kepada siapa? Ibunya atau dirinya?
Lalu pertanyaan yang sedari tadi terlupa membuatnya berhenti terisak. Jadi siapa yang harus ia bunuh?
Ia ingat ruang pemeriksaan serba putih yang harus dilaluinya. Otaknya difoto, entah bagaimana caranya. Apa yang dikatakan dokter itu kepada temannya?
“Riana mengalami syok hebat. Ia begitu trauma saat menyaksikan ibunya dibunuh. Ditambah juga rasa bersalahnya ketika ia membunuh ayahnya. Syok ini menyebabkan gangguan di otaknya.”
“Kejadian itu memaksa otaknya untuk tidak mengingat. Mekanisme perlindungan diri berusaha untuk mengubur memori yang membuatnya syok itu. Efek sampingnya ia jadi mudah kehilangan ingatan jangka pendeknya.”
“Meski ia berusaha melupakan kejadian itu, ada saatnya ketika secara tidak sengaja ia mengingatnya. Ketika ia memegang foto ibunya ia akan menangis hebat bahkan sampai kejang. Meski esok paginya ia akan kembali pulih seolah tiada yang terjadi.”
Barangkali Riana yang lelah akan trauma dan rasa takut itu diam-diam meminta saran dari temannya. Temannya tidak tega melihat Riana terus menerus menderita akan sesuatu yang tidak bisa ia ingat. Akan tetapi temannya itu juga tidak bisa berbuat apapun. Kecuali menunjukkan jalan ke hotel ini.
Riana kini tidak menangis lagi. Ia sudah tahu harus mengarahkan pistol itu kepada siapa.
Ia jadi sadar mengapa si pelayan tidak menanyakan berapa malam ia akan tinggal. Barangkali karena selama ini memang tidak pernah ada orang yang menginap lebih dari satu malam.[]
Penulis: H Lind | Kemudian
0 komentar