Perkawinanku telah membuahkan dua orang putra, yang kini telah lulus dari SMA, dan yang kecil baru kelas dua SMP di Tahunan juga. Pertama kali aku membangun rumah, ada pengalaman unik yang pernah aku alami, hi ngga kini menjadi catatan manis dalam keluargaku.
Suatu malam, sekitar jam satu malam, tempat praktikku, kedatangan seorang ibu yang berjalan tertatih-tatih dalam keadaan hamil mengetok pintu rumahku. "Bu Bidan, maaf ya saya mengganggu… tolonglah ibu… saya mau melahirkan … " pintanya, sambil memgang perut yang telah membesar.
Aku segera membangunkan Mas Hardi agar mau membantuku, menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan proses persalinan. "Ibu kok sendirian…" tanyaku sambil membenahi dipan persalinan. "Iya bu, suamiku masih di Tegalgondo…"
Aku tidak mau berpikir banyak. Ibu muda yang akan melahirkan itu segera aku bimbing berbaring pada dipan persalinan di ruang praktikku. "Oek… oeeek… oek!!!" tangis bayi itu memecah kesunyian malam yang telah beranjak dari jam satu menuju jam dua seperempat. Aku segera membersihkan bayi dan ibunya sesuai dengan prosedur pelayanan kesehatan yang sudah biasa aku lakukan. Sementara suamiku, tertidur lelap di kursi tamu, setelah selama satu jam lebiah ia menunggu.
"Bu, maaf ya bu… malam hari ini saya sudah ngrepotin ibu. Suami saya kebetulan pas pulang ke Tegalgondo. Jadi malam hari ini saya belum bisa melunasi administrasi keuangannya. Tapi anu kok Bu… suami saya tadi siang sudah pesan, kalau malam ini saya melahirkan… ibu bisa mengambil uangnya di Tegalgondo…"
"Sudahlah ibu… ibu nggak usah memikirkan itu dulu. Yang penting kesehatan ibu baik-baik saja…." kataku bijaksana.
"Terus, anu ya bu… saya ingin malam ini diantar pulang saja ya…"
"Oh iya, nggak apa-apa."
Akhirnya aku membangunkan suamiku, untuk mengantar Bu Mugi pulang ke rumahnya, tidak jauh dari rumahku. Di sepanjang jalan mobilku terasa enak sekali. Jalan yang aku lalui terasa datar, seperti di kota saja. Perasaanku pada waktu itu, ruang mobil beraroma seperti kembang yang biasa dibuat untuk tabur bunga di pusara. Suamiku diam saja. Dia juga merasakan hal yang sama. Dan akhirnya tidak berapa lama mobil itu sudah berada di depan rumah Pak Mugi.
"Mari Bu, aku bimbing masuk rumah. Mana kunci rumahnya?"
"Nggak terkunci kok Bu. Sudahlah, ibu nggak usah membantu. Aku bisa berjalan masuk sendiri kok."
Akhirnya Bu Mugi berjalan dan masuk rumah sendirian. Aku dan suamiku hanya bengong melihat kejadian malam itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. "Sudah mas, ayo kita segera pulang saja. Besok pagi aku akan ke Tegalgondo…"
Malam semakin larut. Kokok ayam pertanda hari sudah pagi, mulai riuh terdengar bersautan. Aku segera membangunkan suami dan anak-anak untuk sholat Shubuh berjamaah di suarau dekat rumahku. Sekitar jam tujuh pagi aku segera mengambil sepedamotor, menemui Pak Mugi di Tegalgondo.
"Assalamu'alaikum Bapak!"
"Wa'alaikum salam!. Mari Bu Bidan masuk!!" sambut Bu Sainem, orang tua Pak Mugi.
"Selamat ya Bu… tadi malam istri Pak Muji melahirkan anak laki-laki…" kataku memberi kabar.
Bu Sainem terlihat heran, dan bingung. "Maaf Bu Bidan, apa nggak salah…???"
"Benar , ibu. Tadi malam cucu ibu telah lahir, ini lho saksinya suami saya…"
"Betul bu… istri Pak Mugi telah melahirkan di rumah saya…" jelas suamiku jujur.
"Tapi begini lho Bu, anakku Mugi itu hingga kini belum punya istri lho. Dan rumahnya yang di Tahunan itu tidak pernah ditempati."
"Jad…jadi…jadi… siapa tadi malam itu????"
Aku jadi penasaran dibuatnya. Aku segera berpamitan pulang. Sesampai di rumah, ternyata tempatku praktik masih dalam keadaan bersih. Seperti tidak pernah ada orang yang baru melahirkan. Demikian juga rumah kosong milik Pak Mugi, juga kosong melompong tiada satupun penghuninya. "Haaaa" aku dan suamiku bulu kuduknya merinding…[]
Penulis:Ki Setyo Handoyo | Teks
0 komentar