Friday, November 2, 2012

Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part VII] - End

Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part VII] - End
Tak puas dengan hanya mengamati bunga-bunga yang kami tanam, selanjutnya Ayah mulai melesat ke dalam hutan untuk melihat lebih banyak bunga. Ia melompat—aku tak berbohong saat menuliskan hal ini, aku benar-benar kaget sewaktu melihat Ayah melompat dari satu pohon ke pohon dengan gesit layaknya seekor belalang, seolah ia memiliki pegas pada kedua tungkai kakinya—sesaat setelah ia bilang akan pergi ke hutan. Kemudian dalam bilangan detik ia telah menghilang di antara rimbun pepohonan di belakang rumah kami.

Di hutan Ayah menjumpai berbagai bunga liar yang membuatnya kegirangan hingga lupa waktu. Ia berkeliaran dengan riang ke sana kemari, mengamati ragam corak dan keindahan bunga-bunga yang ditemuinya. Sore hari ia baru pulang setelah matahari tenggelam dan membawa beberapa bibit bunga di tangannya untuk kami tanam. Begitulah selama beberapa hari kemudian yang dilakukan Ayah. Mulanya aku sangat mengkhawatirkannya berkeliaran seorang diri di tengah hutan dalam kondisi mentalnya yang agak kurang sehat itu, namun demi melihat senyum di wajahnya saat ia menatap bunga-bunga itu aku tak banyak berkomentar. Lagipula, Ibu sudah tak sanggup melarang Ayah. Dan selama Ayah merasa baik-baik saja Ibu cukup senang.

***

Seminggu kemudian, kami semua dikejutkan dengan berita Ayah terkena tembakan pemburu di hutan. Seorang pemburu amatir yang melihat Ayah berkelebat di atas pepohonan merasa ketakutan karena mengira Ayah sebagai binatang buas yang hendak menyerangnya dan melepaskan tembakan secara membabi buta. Seorang bocah tetanggaku yang berlari tergopoh-gopoh melaporkan hal ini pada saat tengah hari. Mendengar kabar itu Ibu terkejut bukan main dan jatuh pingsan. Ayah—oh, aku kehabisan kata-kata untuk menggambarkan penderitaannya!—setelah semua yang dialaminya selama ini, akhirnya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit kabupaten karena kehabisan darah. Aku tak berhenti menangis sembari menggenggam tangannya di dalam mobil Pak RT.

Aku dan Ibu tak menaruh dendam pada pembunuh Ayahku. Ibu malah berujar dengan berurai air mata saat mengantar iringan jenazah Ayah di muka rumah bahwa mungkin inilah saatnya Ayah mengakhiri penderitaannya. Ia sudah sangat menderita selama ini, meski ia tak pernah mengucapkannya. Aku hanya tak mengira ternyata di hutan tempat Ayah menikmati kesenangannya pada bunga-bunga liar itu menjadi akhir bagi perjalanan hidupnya.

***

Suasana pemakaman sepi karena para pengantar jenazah telah berangsur-angsur pergi, aku duduk tercenung di depan makam Ayah memikirkan semua kejadian yang menimpanya selama ini. Aku benar-benar tak mengerti maksud semua ini; apakah Tuhan hanya ingin menimpakan nasib buruk pada Ayahku begitu saja, atau Dia hanya ingin mempermainkan hidupnya layaknya lakon dalam pentas sandiwara. Saat memikirkan hal ini aku merasa sangat sedih dan air mataku tak berhenti mengalir. Atau adakah ini suatu pertanda yang tak dapat kupahami.

Pada saat itu jawabannya muncul bersama seekor kupu-kupu berwarna cerah yang tiba-tiba hinggap di atas nisan Ayah. Lama ia berdiam di sana, ia tampak begitu tenang dan khusuk, seolah sedang memanjatkan doa untuk Ayah yang telah terbaring di bawahnya. Aku tak berkedip memandangnya. Kemudian kulihat perlahan-perlahan seekor kupu-kupu lainnya terbang memutar dengan anggun di atas makam Ayah, lalu datang seekor lagi di belakangnya, lalu seekor lagi, dan seekor lagi, dan seterusnya hingga di udara dipenuhi berbagai jenis kupu-kupu berwarna-warni. Begitu indah, layaknya rona pelangi yang tercecer dan berserakan memenuhi tempat itu. Aku hanya membisu dan dalam hati berdecak kagum sekaligus bingung; Ayah, apalagikah yang akan terjadi setelah ini?

Layaknya keluarga kami yang tengah berduka, selama empat puluh hari kemudian seluruh langit desa kami dipenuhi beraneka ragam kupu-kupu berwarna-warni. Mereka beterbangan kian kemari, hinggap di pucuk-pucuk pepohonan dan atap rumah penduduk, dan membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Orang-orang yang berkendara melintasi desa kecil kami akan berhenti dan melongok ke udara dengan terkesima. Tak lama desa kami segera dipenuhi dengan turis-turis lokal yang datang membawa kamera dari kota terdekat, orang-orang berfoto dengan wajah ceria dan menyebarkan kabar dari mulut ke mulut tentang fenomena langit kupu-kupu di desa kami. Beberapa penduduk yang cerdik membuka warung-warung sederhana di pinggir jalan raya untuk tempat singgah para turis lokal dan memperkerjakan pemuda pengangguran yang biasa nongkrong bermain gaple di pos ronda. Ada juga bocah-bocah yang menyewakan tikar untuk pelancong yang memilih ingin bersantai di antara rimbun pepohonan.

Tak ketinggalan koran lokal dan kru TV meliput tentang desa kami. Desa kami menjadi buah bibir dan tak pelak nama Ayahku ikut disinggung sebagai awal mula penyebab fenomena ini. Seorang pakar botani yang sebelumnya tak pernah didengar namanya berkoar-koar di TV kalau, mungkin saja, katanya, Ayahku telah menyuruh kami untuk menanam bunga-bunga yang telah menarik perhatian kawanan kupu-kupu tersebut. Bunga tersebut pastilah sangat istimewa dan mengeluarkan aroma wangi yang sangat semerbak. Mendengar hal itu, para penduduk yang lain, seolah tak mau ketinggalan tren dan ingin menjadi bagian dari fenomena segera menanami beraneka rupa bunga di pekarangan mereka.

Aku tak mengerti, Ayah. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh Ayah. Mungkin ini adalah kehendak alam. Namun aku bisa melihat dengan jelas hari itu, sebagai seorang mahasiswa, bahwa kita sebagai manusia bisa bekerjasama dengan alam, dan bukannya mengeksploitasi atau bahkan merusaknya untuk mendapatkan keuntungan.[nd]

(Sebelumnya ditulis untuk memperingati Hari Bumi, 22 April 2011)

Penulis: Adhi Glory | Sihirkata

0 komentar