Thursday, November 1, 2012

Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part V]


Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part V]
Ayah menatap Ibu bingung. “Ingat apa?”

“Ng, anu… semalam… semalam… Eh, kondisi ayah sudah baikan?”

“Segar bugar. Ayah gak pernah merasa sebaik ini!” Senyum Ayah mengembang.

“Oh, syukurlah! Kalau begitu Ibu buat sarapan dulu ya.”

Bergegas Ibu menuju dapur. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi semalam. Tapi hatinya kini berseri. Ia masih tak mengerti, sungguh tak habis pikir, betapa perangai Ayah semalam telah membuatnya dan juga tabib desa ketakutan setengah mati.

Lalu bagaimana dengan mata itu—sepasang mata hitam itu yang mengerikan itu? Ah, ia dan tabib desa pasti berhalusinasi saja semalam! Tetapi mungkinkah dua orang bisa berhalusinasi di saat yang bersamaan sekaligus? Atau mungkin… ya!—bisa jadi itu karena efek cahaya lampu kuning 15 watt di kamarnya yang mulai meredup. Ibu tidak bisa menemukan penjelasan yang lebih baik lagi. Tapi ia girang, seulas garis lengkung di sudut bibirnya manakala ia menyiapkan sarapan menyiratkan segalanya; harapannya semua akan kembali seperti semula dan hidup mereka berjalan normal tertuang dalam rasa sup buatannya yang melimpah dan menggoda selera.

Tapi sebagaimana telepon yang ditujukan padaku semalam, yang memintaku untuk segera pulang dan melihat kondisi penyakit aneh yang menimpa Ayahku, Ibu mengatakan dengan penuh isak kalau ini hanyalah permulaan dari teror sebenarnya yang menimpa keluarga kami.

Dan saat ini aku tengah dalam perjalanan pulang menuju kampung halamanku. Di dalam bus aku terus memikirkan kejadian di atas dengan sejuta cemas. Hatiku bergumul kalut.

Melanjutkan ceritaku di atas, kata Ibu, pagi itu Ayah sarapan dengan sangat lahap. Terutama ia menyukai sup buatan Ibu, berulang kali ia menyendok sayuran dan daun kol yang ada di dalamnya. “Kol ini enak sekali! Manis dan gurih,” berulang kali Ayah memuji masakan Ibu. Tapi mendadak ia terlonjak kaget manakala menemukan sebentuk kepala ayam berikut sayapnya di balik potongan sayuran lainnya. Ayah bergidik ngeri melihatnya.

Tak biasanya, pikir Ibu, padahal Ayah sangat menyukai kepala ayam. Itu adalah salah satu lauk favoritnya. Ibu menyendok kepala ayam tersebut dan melihat tidak ada yang aneh. Lalu disodorkannya kepala ayam itu pada Ayah, tapi Ayah malah terlonjak jatuh dari kursinya saking terkejutnya. Reaksi yang ditunjukkan Ayah saat itu bukanlah sekedar merasa geli, atau jijik, melain jelas sekali ia tampak sangat ketakutan.

Dan bukan hanya sekali itu saja. Setelah kejadian hari itu, Ayah juga akan berlaku histeris dan bagai orang yang kehilangan kendali saat mendengar suara kicau burung tetangga, atau mendengar suara kokok ayam jago di pagi hari, atau melihat sekumpulan anak ayam bermain di pekarangan rumah. Bahkan hanya sekedar melihat gambar burung dan sejenisnya di TV, Ayah akan mengkerut ketakutan. Ini bukanlah fobia, karena sebelumnya Ayah tak pernah berlaku seperti ini. Sebaliknya, ini lebih mirip seperti Ayah bertemu sosok musuh alami yang akan menghabisi nyawanya.

Bersamaan dengan itu nafsu makan Ayah pun mulai tak terkendali. Sepanjang hari ia nyaris tak berhenti mengunyah dan ngemil. Akibatnya dalam sebulan ini ukuran tubuhnya membengkak dua kali lipat dari sebelumnya. Ia suka sekali makan sayuran dan daun-daunan dan mulai mengganti menu makanan hariannya dengan kedua makanan tersebut. Entah apa penyebabnya, sepertinya ia begitu saja memutuskan menjadi seorang vegetarian sejati. Ia tak lagi bekerja menyadap karet sekarang. Bukan karena faktor ukuran tubuhnya yang menghambat aktivitasnya. Tapi karena saat terakhir kali bekerja di kebun Ayah malah membabat habis seluruh dedaunan tumbuhan yang ada di tempat itu di hari pertama. Dan juga seluruh kol yang ada di kebun tetangga pada keesokan harinya. Semuanya disantap habis ke dalam perutnya. Saat ditanya oleh Ibu dengan penuh kesal apa yang telah dilakukannya, Ayah hanya menyeringai dengan wajah tak berdosa dan meneruskan menyantap sebongkah kol bulat yang ada di tangannya.

“Mereka kol-kol yang manis dan lezat!” kata Ayah, seperti orang bodoh, dengan pipi gembil penuh makanan di mulutnya.

Akibatnya Ibu harus mengganti kerugian yang dialami tetangga tersebut dan memintanya tutup mulut agar kabar tentang keanehan Ayah tak tersiar ke seantero kampung. Bagaimanapun Ibu sangat menjunjung tinggi martabat Ayah selaku kepala keluarga kami.

Sementara itu  Ayah tak juga menghentikan hobi anehnya menyantap dedaunan. Seperti mesin pemakan Ayah tak berhenti melahap daun apa saja yang disodorkan Ibu padanya. Ibu tak kuasa melarangnya. Pernah suatu kali Ibu sengaja mengunci Ayah di dalam kamar semalaman tanpa memberinya ‘makanan favoritnya’ sama sekali. Lalu keesokan paginya, saat adzan Subuh berkumandang, Pak RT yang hendak melangkah ke surau menemukan Ayah sedang bertengger di atas dahan pohon mangga tetangga depan rumah kami. Mulanya Pak RT mengira kalau Ayah adalah garong atau jin bertubuh gempal yang kesiangan, tapi begitu disorotkannya cahaya senter ke muka Ayah terkejutlah ia dengan apa yang disaksikannya. Coba tebak, seluruh daun yang ada di pohon mangga itu telah gundul, menyisakan ranting-ranting kurus yang kedinginan dihembus angin malam. Ayahlah yang telah mengunyah semua dedaunan itu semalaman.

Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu  [Part VI]

Penulis: Adhi Glory | Sihirkata

0 komentar