Sunday, November 11, 2012

Cerpen Horor: Legenda Mat Soni

Nama Mat Soni pernah menjadi semacam legenda di kampung kami. Tentu saja menyebutnya sebagai legenda itu terlalu berlebihan, terlebih ia adalah seorang kriminal. Aku masih kecil ketika legenda Mat Soni masih hidup. Aku sering berjalan melewatinya sewaktu pergi sekolah saat ia sedang terbaring teler di pos ronda. Mat Soni memang tidak setenar Hercules, preman Tanah Abang yang pernah kulihat di TV, namun meski demikian namanya sering disebut para orang tua di kampung kami untuk contoh anak yang tidak baik. Mat Soni untuk si tukang bolos atau Mat Soni untuk anak durhaka. Aku sendiri tidak ingin disamakan dengan Mat Soni.

Bapaknya memberi nama Mat Soni dengan harapan ia bisa bekerja di perusahaan elektronik Sony. Ada dua orang tetangga kami yang kerja di pabrik Soni dan masing-masing memiliki sepeda motor. Di rumah mat Soni ada stiker Sony di kaca depan rumahnya. Namun rupanya Mat Soni tidak beruntung sebelum masanya. Belum beranjak berumur dewasa Sony menutup pabriknya dan memindahkannya di negara tetangga yang upah buruhnya lebih murah. Tapi meskipun pabrik Sony pun masih berdiri, mustahil bagi Mat Soni untuk bekerja di perusahaan di sana karena ia melewati masa sekolah dengan kebodohannya. Lima kali tidak naik kelas, dan dengan kealpaannya di hampir setiap pelajaran ia menjadi contoh tidak baik bagi teman-temannya. Hukuman bapaknya tidak membuatnya jera, ia bahkan menambah kenakalannya dengan sebuah tato tengkorak kecil di lengan kanannya.

Bapaknya meninggal saat usianya tiga belas tahun. Ibunya bekerja sebagai buruh pabrik dan mendapat upah cukup lumayan. Ia menikah lagi dengan teman sesama pekerjanya dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Mat Soni benci bapak tirinya. Ia tidak takut hidup tanpa kedua orang tuanya karena teman-temannya di pasar membentuknya sebagai seorang lelaki sejati. Ia lebih menghormati orang yang memberikan sebatang rokok padanya. Ia sukses maling ayam pertamanya di malam takbiran idul fitri. Tidak ada yang mengajarinya, baginya keberuntungan bukanlah bagian dari dirinya. Tapi sayang, kesuksesannya tidak diikuti kesuksesannya selanjutnya. Ia tertangkap saat maling sepeda milik pak hansip. Itulah penjara pertamanya.

Ia berada satu sel dengan seorang pencuri sepeda motor yang mengajarinya cara membobol kunci sepeda motor dengan kunci T. Sebagai tanda perkawanan dan pernah menghuni tempat itu, temannya membuatkan sebuah tato di lengan kirinya. Tato itu menjadi modal yang cukup untuk memeras ayah tirinya, memalak anak-anak sekolah dan menjadi orang bayaran untuk menghajar ketua pemuda kampung yang mengusiknya. Ia membuat takut ibunya dan membuatnya pindah ke kampung lain. Ketenarannya cepat beredar dari mulut ke mulut sampai-sampai namanya disebut untuk menakuti lawan. Rumor yang beredar bahwa dirinya kebal dari senjata tajam. Polisi menangkapnya lagi karena mencuri sepeda motor. Hukumannya ditambah dua bulan karena memukul dua orang polisi dan membuat keduanya pingsan. Di penjara kota ia menghajar habis seorang pemerkosa yang kemudian mati karena terlambat dibawa ke rumah sakit. Itulah pembunuhan pertama Mat Soni. Setelah itu ia dipindahkan ke penjara Cipinang dengan tambahan hukuman lima tahun. Sementara Mat Soni hidup dalam penjara, kisahnya terus hidup di luar penjara. Aku sering mendengar kalau ia menjadi penguasa di penjara, bahkan konon, beberapa kasus kematian di penjara dikaitkan dengan namanya dan pengendalian geng bisa dilakukannya dari penjara.

Tapi hanya aku yang berada di sisi Mat Soni pada saat-saat menjelang kematiannya. Saat-saat yang paling menentukan dalam kehidupanku di masa datang. Aku baru saja pulang sekolah ketika kulihat Mat Soni duduk di ruang tengah. Ada dua luka tembakan; di dada dan perutnya, wajahnya penuh keringat dan sangat kesakitan. Aku terpaku beberapa lama dengan pandangan kosong. Aku melempar tas, lalu berlari ke arah jendela. Aku melihat para polisi dan warga mencari-carinya. Seorang tetanggaku datang mengetuk pintu dan menanyakan apakah aku melihat Mat Soni. Entah mengapa saat itu aku masih takut pada Mat Soni yang sedang sekarat dan tidak berani mengatakan keberadaannya. Aku mengangkat kedua bahuku. Tetanggaku itu menyuruhku berhati-hati karena Mat Soni baru saja melarikan diri dari penjara dan berada di daerah ini. Mat Soni membunuh seseorang sebelum merampas sebuah mobi, katanya. Aku mengikuti tetanggaku hingga pintu pagar dan kemudian mengunci pintu pagar.

Aku kembali ke dalam rumah. Tiba-tiba Mat Soni memanggilku padaku dengan suara parau dan tidak jelas. Tapi itu tetap suara yang menyeramkan bagiku. Aku memberanikan diri mendekatinya. Mat Soni menarik bajuku, mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mengatakan agar aku membawanya ke kamar mandi. Itulah saat terjelas aku melihat wajah Mat Soni. Aku berpikir ia mungkin akan membersihkan lukanya di sana. Aku menarik tangannya hingga setengah berdiri. Ia sangat berat, tangannya melingkar di pundakku dan aku bisa mencium bau darahnya. Kamar mandi hanya berjarak enam meter dari ruang tengah, namun cukup membuatku kecapaian. Mat Soni menjatuhkan dirinya di kamar mandi, lalu menggelosor dengan darah yang terus mengucur. Ia mengucapkan terima kasih padaku, lalu mengucapkan terima kasih lagi hingga tiga kali. Seketika itu aku merasa kasihan padanya. Aku berdiri beberapa lama memandangnya. Apa yang terlintas di pikiranku saat itu adalah aku merasa jijik dan penuh keingintahuan. Mat Soni merogoh sesuatu dari saku kanannya. Aku mundur satu langkah ketika kulihat pisau berada di tangan kanannya. Ia mengatakan agar aku tidak perlu takut, lalu melempar pisaunya ke hadapanku.

Pisau itu mengkilat di bagian yang tidak tertutup darah. Darah di pisau itu milik Mat Soni karena bagian tangan yang menggenggamnya dipenuhi oleh darahnya. Mat Soni tertidur sebentar sebelum terbangun karena suara benda jatuh atap rumah. Aku berlari ke kamar depan dan melihat keluar dari jendela. Tidak ada siapapun di luar. Aku membuat teh manis hangat untuknya. Aku sering membuat teh manis untuk ibuku ketika ia sakit. Katanya, teh buatan aku enak. Mat Soni menghabiskannya dengan sekali teguk, lalu menyerahkan kembali gelas yang kosong padaku.

Lewat jam sebelas pagi, sudah hampir setengah jam aku bersama Mat Soni. Tidak pernah terlintas dalam benakku untuk melaporkannya. Ia sedang tidak beruntung hari itu. Kalaupun ia selamat maka ia tidak bisa melarikan diri, sedangkan aku tidak bisa membantunya melarikan diri. Mat Soni mengambil gayung dan menyiramkan air ke tubuhnya. Darah di lantai ikut tersapu air. Aku cemas orang-orang akan melihat darah di selokan dan kemudian datang ke rumahku.

Mat Soni memanggilku dan menyuruhku duduk. Aku melangkah perlahan ke dalam kamar mandi, lalu perlahan menyender di tembok menghadapnya dan duduk di lantai yang basah. Ia menegakkan duduknya dengan tangan kanan menekan luka di perutnya. Ia tertawa kecil, menampakkan deretan gigi penuh darah. Aku tetap diam, air di lantai mulai merembes ke celanaku dan sedikit membuatku kedinginan. Ia batuk beberapa kali, diantaranya mengeluarkan darah yang langsung menimpa wajahku. Ia tertawa geli melihatku. Ia tidak mengatakan apa-apa selain tertawa geli. Lalu tawanya berhenti. Aku melihat matanya membesar sambil menduga mungkin ia sedang sekarat. Tapi pandangan aneh itu mulai meresap kedalam diriku. Beberapa menit kemudian pandangan itu memudar dan hanya menyisakan padangan hampa. Mat Soni mati. Aku tahu ia mati karena tidak ada lagi nafas yang keluar dari hidungnya dan tidak ada lagi jantung yang berdetak ketika kuberanikan diri memegang lengan dan dadanya. Darahnya terus mengucur hingga berhenti beberapa menit kemudian.

Sejak saat itu aku tidak lagi takut pada mayat, tidak seperti sebelumnya aku tidak berani melihat mayat nenekku yang sedang dikubur beberapa waktu lalu. Aku memukul dada Mat Soni dengan keras. Darah dari perutnya muncrat ke tubuhku dan membuatku jatuh ke belakang. Aku merasakan tanganku berada di atas sebuah logam. Benda itu pisau milik Mat Soni. Aku mengambilnya dan bangkit berdiri. Selanjutnya keadaan seperti dalam gerakan lambat. Orang-orang berhamburan masuk ke rumahku. Mereka mengetahui keberadaan Mat Soni setelah melihat bercak darah di pagar rumahku. Seseorang meraihku dan menyeretku keluar rumah.

"Kau membunuhnya, nak. Kau membunuh Mat Soni!"

Aku melihat bayangan masa depanku melintas begitu saja di kepalaku. Bayangan yang sama dengan yang kualami saat ini, saat kubunuh korban ketigaku dengan pisau milik Mat Soni.

***

Penulis: Ali Reza | Teks | Pic

0 komentar