Wednesday, November 21, 2012

Cerpen Horor: Kak Erik

“Kak Erick…”

“Si…siapa?”

“Mia menemukan kakak.”

“Mia? Siapa Mia?”

“Kakak mencari Mia tapi Mia yang menemukan kakak!”

Suara itu membangunkanku. Suara seorang gadis kecil. Kudapati diriku tergeletak tak sadarkan diri di sebuah lorong, di atas lantai yang dingin. Kupegang kepala yang masih berdenyut sembari melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa di lorong panjang itu.

“Dimana aku?”

Aku masih tidak menemukan siapapun. Lampu temaram di sepanjang lorong membantu penglihatanku. Ada banyak pintu disana dengan nomor-nomor. Kucoba mengingat apa yang terjadi padaku tapi sepertinya otakku buntu. Seakan sesuatu telah menghapus memori otakku. Aku tidak bisa mengingat apa-apa.

Aku berusaha membaca situasi. Kuraih dinding untuk bertumpu. Kulongok lorong itu, ada pintu yang terbuka di ujung sementara di ujung lainnya jalan buntu. Hanya ada kursi roda menghadap sebuah lukisan, sungguh tidak penting. Aku menebak-nebak bagaimana aku bisa sampai di tempat ini.

Kulangkahkan kaki menuju pintu yang terbuka. Sembari berjalan kutengok pintu-pintu yang berderet disana. Ada sebuah jendela kecil yang bisa membuat kita melihat ke dalam. Aku tersentak saat melihat apa yang ada didalam. Ada sebuah dipan dengan bermacam alat-alat medis. Seperti seorang gadis kecil terbaring di atasnya. Bermacam-macam selang terpasang di tubuhnya. Wajahnya, aku tak bisa melihat. Kain putih dengan penuh bercak darah menutupinya.

“Ap… apa-apaan ini?”

Penasaran, aku mencoba membuka kenop. Sayang, kenop tertutup dari dalam. Kucoba menengok pintu lain, aku menemukan pemandangan yang tak jauh berbeda.

“Apa… ini ruang operasi? Ini rumah sakit?”

Kulihat lagi pintu yang lain dan tidak kutemukan hal berbeda. Gadis kecil, dipan operasi, selang di semua tubuhnya, wajah yang tertutup kain putih penuh bercak darah, semua gambaran itu seperti hasil sebuah operasi medis yang gagal. Dan lagi, tidak ada satupun dari pintu-pintu itu yang dapat dibuka. Atmosfer yang sangat tidak nyaman membuatku merinding. Aku bergidik. Apa aku sedang bermimpi buruk?

Tiba-tiba terdengar suara tawa anak kecil dari arah pintu yang hendak kutuju tadi. Saat kutolehkan pandanganku, gadis, kira-kira berusia sepuluh tahunan, melintas di baliknya.

“H…hei!” aku bersyukur ada orang di tempat aneh ini. Instingku menyuruhku mengejarnya. Mungkin dia bisa menjelaskan dimana aku berada. Namun, saat aku sampai di balik pintu, gadis itu menghilang.

Tidak ada siapa-siapa disana selain lorong yang lebih besar. Kutengok ke kanan dan kiri, gadis itu tidak ada. Bagaimana mungkin? Di lorong sebesar itu? Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja? Bulu kudukku kembali berdiri. Aku tanpa sadar merinding.

“Ha… halo…! Gadis kecil…?!”

Kupanggil dia. Aku menepis anggapan kalau gadis itu juga semacam halusinasi, pengejawantahan dari rasa takut berlebihanku melihat isi dari kamar-kamar tadi. Aku meyakinkan diri kalau gadis itu ada dan kini dia sedang bersembunyi.

Kuberjalan menyusuri lorong besar itu. Sejenak kuperhatikan, tempat ini memang seperti sebuah rumah sakit. Kursi tunggu, dipan dorong, pintu-pintu dengan nomor-nomor, simbol-simbol silang merah, dan hal-hal yang berhubungan dengan medis. Tapi kenapa disini begitu lengang? Apa ini sudah malam dan semua orang sudah pulang?

“Halo…! Ada orang?” bukankah seharusnya ada petugas piket? Atau satpam?

“Aneh!?”

Dalam keheningan dan kelengangan lorong rumah sakit itu, kembali aku mendengar suara cekikikan.  Tawa anak kecil. Sejenak aku merinding. Tapi aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Gadis kecil? Halo! Dimana kau?”

Cekikikan itu semakin nyata terdengar saat aku mendekati salah satu lorong. Sesampainya aku disana, mataku menangkap seorang gadis tengah melangkah masuk ke salah satu ruang kamar di lorong itu.

“Tu…tunggu!” 

Tapi dia tidak menunggu. Aku berlari menuju pintu itu. Dari sebuah kaca kecil, kuintip ruangan itu dari luar. Tidak ada siapa-siapa disana. Hanya sebuah ruang perawatan kecil, dengan dipan, meja kecil, sebuah televisi, dan beberapa bunga di pot kecil di samping jendela. 

Gadis itu pasti bersembunyi! Dasar anak kecil, dalam keadaan begini masih sempat bercanda denganku.

Kubuka pintu, dia rupanya tidak terkunci, kulongok ke dalam, tidak ada siapa-siapa disana.

Gadis kecil?”

Kuperiksa balik pintu, kutengok di bawah ranjang, kulihat di balik lemari pakaian, tidak ada satu tandapun keberadaan gadis kecil disana. Pikiranku mulai membawaku berpikir, jangan-jangan, gadis itu…

“Ga… gadis kecil?” kucoba memanggil lagi, tapi kali ini suaraku terdengar gemetaran. Aku akui, aku mulai ketakutan. Imajinasi bermacam-macam dari alam bawah sadarku mencuat menaklukkan logika yang menguasai otakku. Tak adanya jawaban membuatku semakin yakin kalau yang kulihat tadi tidak nyata. Gadis kecil itu sebenarnya hanya halusinasi. Atau hantu?

Aku berusaha untuk tenang. Meskipun bulu tengkukku sudah berdiri dan semua bayangan ketakutan memenuhi otakku, aku memaksa diriku untuk tidak panik. Aku melihat kembali seisi ruangan itu, masih tidak ada apa-apa. Kuputuskan untuk keluar saja dan mencari jalan keluar dari rumah sakit ini!

Saat tanganku menyentuh kenop pintu, tiba-tiba televisi tua di belakangku menyala. Gemerisiknya membuatku terkejut. Rasa takutku memuncak. Siapa yang menyalakan benda itu? Aku hendak berlari keluar ruangan dengan ketakutan kalau saja dari televisi itu menunjukkan sesuatu yang hampir tidak aku duga.

Ada gambar sebuah ruangan disana dengan seorang anak kecil yang tertidur di dipan dan beberapa pria paruh baya mengenakan jas putih seperti dokter. Ruangan di dalam televisi itu mirip dengan tempat ini. Pria-pria itu seperti mengutarakan sesuatu satu sama lain. Wajah mereka begitu yakin. Seorang pria berkata sambil tersenyum pada gadis itu. Gadis itu mengangguk ceria, apalagi saat sang pria memberinya sebuah lolipop.

Aku melihat si gadis kecil. Ciri-cirinya sama dengan gadis yang kutemui tadi. Kulit putih dan rambut ikal merahnya sama persis. Apakah gadis ini gadis yang kutemui berjalan-jalan tadi? Dan, apakah gadis ini juga yang tergeletak di meja operasi? Apakah pria-pria itu hendak mengoperasinya, yang berdasarkan dugaanku, akan berakhir pada kegagalan?

Tiba-tiba gambar di televisi menjadi tidak jelas seperti kehilangan sinyal. Aku juga tidak peduli. Aku hanya ingin kembali mencari jalan keluar dari rumah sakit ini. Biarlah yang berhantu tetap berhantu, yang penting aku bisa keluar dengan selamat dari tempat ini.

Aku berlari keluar dari pintu dan berusaha menuju ke lorong besar tempatku tadi berada. Aku akan menemukan pintu keluar disana!

Tapi sayang, sesuatu yang tidak kusangka muncul di hadapanku. Tepat di depan lorong, aku menemukan jalan itu tiba-tiba sudah berlubang besar. Lubang menganga yang membuatku tidak bisa melangkah kembali ke lorong besar tadi. Aneh! Padahal tadi tidak ada lubang disini.

“Apa-apaan ini! Bukankah tadi tidak ada lubang disini?” aku hampir-hampir tak bisa mempercayai penglihatanku. Apakah ini halusinasi?

Tiba-tiba sayup-sayup kudengar namaku disebut. Saat aku menoleh, gadis kecil itu sudah berdiri tepat di belakangku. Wajahnya pucat. Dia menyeringai. Aku yang melonjak kaget tidak sadar kalau aku terlalu dekat dengan lubang di belakangku. Aku hampir terjatuh. Gadis itu, tanpa melangkahkan kakinya, mendekat perlahan. Aku menjerit. Kusuruh dia menjauh. Tapi gadis itu semakin menyeringai.

Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terjerembab ke dalam lubang yang kelam. Mendadak semuanya menjadi gelap.

***

“Erick. Maafkan ayah. Tapi hanya kalianlah harapan terakhir kami. Koloni kita sekarat. Kita butuh obatnya. Temukan Sang Sumber dan bawa antibodinya kembali. Hanya kau yang bisa melakukannya.”

“Kenapa aku, Ayah? Kenapa harus aku?”

“Para ilmuwan punya alasan, Erick. Awalnya Ayah juga tak ingin dirimu pergi. Tapi Ayah kembali berfikir, kalau kita tidak bertindak, mereka yang akan membunuh kita terlebih dahulu. Hanya kalianlah yang bisa menunjukkan jalannya menuju Sumber. Kau mungkin hanya bocah lima belas tahun. Tapi bagi ayah, kau seorang pria. Ayah yakin kau akan menemukannya.”

“Tapi… tapi aku…”

“Jangan takut Anakku. Tuhan bersama kita!”

Sentakan luar biasa seperti habis disengat listrik puluhan volt membuatku terbangun. Nafasku bertubi-tubi. Kepalaku masih saja terasa pening. Aku dapati diriku berada di sebuah ruangan yang cukup luas.

Sumber? Obat? Menemukan?

Entah kenapa, aku tiba-tiba teringat semua. Alasanku berada disini! Kenapa aku berada disini! Aku punya tujuan khusus disini! Aku harus menemukan obat yang dibutuhkan oleh kami, antibodi yang dicari-cari ayah dan rekan ilmuwannya, yang hanya dimiliki oleh sang Sumber.

“Kakak mencari Mia tapi Mia yang menemukan kakak!”

Ya! Gadis itu! Aku serasa mendapatkan jawabannya. Gadis itulah sumbernya. Operasi dalam kamar itu! Rekaman di televisi itu! Para dokter-dokter itu! Mereka pasti menyimpan hasilnya di suatu tempat. Jangan-jangan gadis itu, atau mungkin bisa lebih tepat kusebut hantu gadis itu, pasti tadi berusaha menunjukkan dimana mereka menyimpan obatnya kepadaku. Karena itu dia membawaku ke lubang itu dan membuatku berada disini.

Yah, kurang lebih seperti itulah kesimpulan yang kubuat. Kutengok ke langit-langit ruangan, tidak ada lubang disana. Seharusnya ada tapi setelah kurenungkan lagi, semua ini pasti halusinasi. Aku pasti sedang berada dalam dunia halusinasi yang sangat nyata. Mungkin gadis hantu itu punya kekuatan yang mampu membentuk sebuah dunia halusinasi dan membawa tubuh fisikku ke dalamnya.

Aku mencoba kembali berdiri. Ruangan ini, seperti lorong tadi, juga begitu temaram, redup. Kulihat banyak dipan-dipan besi berjejer teratur dengan tubuh-tubuh manusia tergeletak diatasnya sambil ditutup kain putih. Kamar mayat!

Sial! Dari sekian banyak ruangan di rumah sakit, kenapa gadis hantu itu harus memilih ruangan ini? Meskipun aku sepenuhnya ingat misiku, tetap saja bulu kudukku berdiri. Rasa takut mulai menjalar lagi ke seluruh sudut tubuhku. Kuberanikan diri untuk tidak melihat ke setiap bungkusan – mayat? – yang berada disana. Kadang rasa penasaran yang menggelitik membuat kita ingin membuka kafan penutup mayat itu. Tapi aku tidak menggubrisnya. Tujuanku hanyalah mencari pintu.

Kupercepat langkahku saat aku bisa menemukan pintu, yang kalau dilihat dari bentuknya itu seperti pintu keluar. Saat aku hendak memutar kenop kudengar suara gemerisik dari belakangku. Aku terkesiap. Kubalikkan tubuhku. Aku terkejut hingga tubuhku terjungkal ke belakang. Kulihat mereka, tubuh-tubuh di atas dipan itu, sudah dalam posisi terduduk. Kepala mereka, yang demi Tuhan sudah tidak layak untuk disebut kepala lagi, dan tangan mereka yang mencuat dari kain itu menunjuk ke suatu arah.

Kulihat arah yang mereka tunjuk. Sebuah lubang kremasi untuk membakar mayat. Gadis itu menginginkan aku menuju kesana.

Kulalui mayat-mayat yang masih terduduk dengan tetap menunjukkan arah itu dengan perlahan-lahan. Sesampainya disana, kujulurkan tubuhku sedikit untuk melihat ke dalam lubang itu. Tidak ada apa-apa selain celah sempit yang penuh abu hitam dan bau yang menusuk hidung. Haruskah aku masuk ke dalamnya?

Karena tak ada peluang lain dan tak ada jaminan aku tetap hidup kalau aku tidak masuk kesana, kupaksakan juga diriku merangkak ke dalam lubang itu. Begitu aku membawa tubuhku sepenuhnya ke dalam lubang, suara gemerisik terdengar lagi. Kulihat mayat-mayat itu sudah dalam posisi tidur. Kembali kuperhatikan lubang pembakaran itu kalau-kalau ada sesuatu di dalamnya.

Ternyata jawabannya ada di sisi sebelah dalam. Dengan menyeret tangan dan kakiku, kubawa tubuhku kesana. Ada sebuah kenop kecil. Kubuka kenop itu dan pintu rahasia terbuka. Aku lihat lorong yang lain dari balik pintu. Kubawa diriku kesana.

Lorong kali ini putih bersih. Tidak ada apapun disana. Tidak ada pintu-pintu dan jendela-jendela. Lorong itu hanya lurus saja. Aku tak bisa mengira sampai mana kakiku ini membawaku. Mungkin sekitar dua puluh menit berjalan aku akhirnya menemukan ujung dari lorong itu.

Aku terkejut saat mendapati  rupanya itu adalah sebuah jalan buntu. Hanya ada sebuah kursi roda disana menghadap sebuah lukisan di dinding.

“H…Hei! Jangan bercanda!” ujarku. Masak aku sudah jauh-jauh berjalan yang kudapati malah jalan buntu? Aku mencoba menggeser kursi roda itu untuk mengecek apakah ada semacam kenop rahasia lagi. Tapi saat aku mulai menggeser, aku merasa tidak asing dengan sosok dalam lukisan itu.

Lukisan itu berisi potret gadis kecil dalam ukuran tiga perempat badan. Wajahnya sama persis dengan wajah gadis yang tadi kutemui. Gadis yang ada dalam televisi itu. Gadis yang membuatku terjatuh dalam lubang itu.

Tunggu dulu! Pemandangan dari dinding buntu ini tidak jauh berbeda dengan dinding buntu yang kulihat saat pertama kali aku siuman!

Ada kursi roda! Ada lukisan! Tapi baru kali ini aku menyadari potret dalam lukisan itu. Kalau begitu, seharusnya aku bisa menemukan pintu-pintu dengan nomor-nomor dari tempat ini. Saat kutengok ke belakang, benar juga, pintu-pintu itu secara ‘ajaib’ sudah berada menempel di sepanjang lorong.

Terima kasih, gadis kecil! Aku menoleh lagi ke arah potret sambil tersenyum. Tapi yang kudapati kini dari potret itu adalah potret dirinya tanpa tubuh. Hanya kepala dengan mata yang membelalak menatap ke arahku. Potret yang membuatku spontan melonjak ke belakang.

Aku memalingkan kepala tanpa menoleh ke potret itu lagi. Kuhampiri pintu-pintu disana. Pemandangan di balik pintu itu sama persis dengan yang kujumpai waktu aku siuman pertama kali. Gadis kecil, dipan operasi, selang di semua tubuh telanjangnya, wajah yang tertutup kain putih penuh bercak darah, dan tidak ada satupun dari pintu-pintu itu yang dapat dibuka.

Tapi aku tidak menyerah, kuteruskan pencarianku. Kuputar satu-persatu kenop disana sampai akhirnya aku menemukan satu pintu yang dapat dibuka. Kulangkahkan kaki memasuki ruangan itu.

Ruangan itu rupanya berbeda dari ruangan-ruangan yang tadi kulihat. Ruangan itu seperti sebuah laboratorium eksperimen yang tidak begitu luas. Ada sebuah tabung kaca disana dikelilingi puluhan instrumen komputer, selang-selang besar yang beruntaian di lantai, dan alat-alat medis yang bertebaran disana-sini. Aku mencium bau obat-obatan yang begitu menyengat. Ruangan ini sangat dingin, seolah dibekukan agar apa yang ada disana dapat tersimpan dengan baik. Menurutku, apa yang didalam tabung kaca itulah jawabannya. Dengan yakin, meskipun rasa takut masih memenuhi diriku, kulangkah mendekat ke tabung itu.

Ada sebuah kepala disana. Kepala gadis itu. Tapi tidak hanya kepala. Dari balik rambut yang menjuntai bebas, aku juga melihat rangkaian tulang belakang yang mencuat dari tengkuk kepala hingga tulang ekor di bagian bawah. Sementara itu tidak ada ekspresi apa-apa dari wajahnya. Dia seperti sedang tertidur pulas.

Seketika itu juga semua instrumen yang tampak mati mendadak hidup. Suara gemerisik komputer dan selang-selang yang tiba-tiba menyala. Aku mendengar suara dari sebuah audio-speaker yang berada di langit-langit ruangan itu mengalahkan gemerisiknya mesin-mesin laboratorium. Suara dari sang gadis.

“Kak Erick!”

“Kaukah gadis itu? Kaukah Sang Sumber yang kami cari-cari?” ujarku sambil memandang wajahnya. Wajahnya masih tidak menunjukkan ekspresi apapun. Darimana dia bicara?

“Benar Kak! Akulah gadis itu.”

“Kalau begitu, dimana obat yang kami cari?”

“Ada Kak! Obat itu ada!”

“Dimana?”

“Di dalam darah Mia ini! Ambillah! Tapi Kakak harus menggunakan tubuh Kakak sendiri. Obat ini akan hancur bila hanya ditaruh dalam tabung. Obat ini aktif. Dia butuh inang. Karena itu mereka mengirim kalian bersepuluh.”

“Bagaimana kau bisa tahu…? Tunggu, itu tidak penting! Bagaimana cara aku mendapatkan obatnya?”

“Duduklah dalam dipan di sudut kiri kamar ini,” kutengok ke arah kiri dari aku berada, benar ada sebuah dipan operasi disana, “dan biarkan alat-alat ini melakukan sisanya.”

“K…Kau yakin?”

“Waktu kita tak banyak, Kak. Mereka sudah mulai mengendus keberadaan Kakak. Tenagaku yang tersisa takkan cukup menyembunyikan Kakak dari mereka.”

“Mereka…?”

Seketika aku teringat sesuatu. Mereka yang dimaksud gadis itu memang tidak dapat dianggap remeh. Tanpa basa-basi aku melangkah menuju dipan. Alat-alat canggih mulai bergerak teratur. Sembari menunggu, aku melihat ada sesuatu yang bergerak di dalam tabung itu. Sesuatu seperti selang perak, mencuat dari bawah tabung menuju kepala belakang si gadis. Saat itu juga aku sadari sebuah selang yang lain bergerak di bawahku. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, selang itu menancap di tengkuk belakangku. Aku menjerit kesakitan sebelum semuanya menjadi gelap.

***

“Kita adalah yang tersisa setelah Bencana Besar. Kita tak bisa lagi tinggal di planet ini karena Bumi telah mati. Mereka yang tak selamat menjadi penghuninya dan tak mau berbagi dengan kita. Tapi kita tidak kehilangan harapan. Kita masih bisa kembali ke Bumi. Kita memiliki cara mengobati planet ini. Para ilmuwan terbaik kita telah menemukan penyebab Bencana Besar dan mereka bisa menemukan obatnya. Sang Sumber, kita yakin dialah yang membawa bencana ke planet kita. Tapi dia jugalah yang memiliki obat untuk memulihkan segala kekacauan. Kami hanya bisa berharap, misi ini dapat menemukan dimana Sang Sumber berada. Kami harap kalian bisa kembali dengan selamat dan membawakan obat untuk ras kita yang sudah akan punah.”

“Ayah… Aku menemukannya! Aku akan membawanya untuk umat kita!”

“Kak Erick…!”

“Huh, siapa itu?”

“Ini Mia”

“Siapa kau sebenarnya?”

“Mia hanyalah seorang gadis kecil. Tapi bapak-bapak itu berkata, Mia memiliki berkah yang luar biasa. Mereka melakukan banyak percobaan pada Mia. Mereka menyuntik Mia, membius, mengoperasi, dan melakukan segala hal pada Mia, hampir setiap hari. Mia berusaha kuat karena kata mereka, inilah yang bisa Mia lakukan demi menyelamatkan Mama. Mia tak ingin kehilangan Mama. Mia rela melakukan apapun demi Mama.”

“Lalu, apa yang kemudian terjadi?”

“Mereka akhirnya menemukan obat dari darah Mia. Mereka bilang, obat ini dapat membuat orang menjadi awet muda dan abadi, lepas dari semua penyakit dan wabah.Mereka juga bilang obat ini dapat menyembuhkan Mama. Dan sesuai janji, mereka mengujinya pada Mama. Hasilnya sukses besar. Mama sembuh dan sehat seperti sedia kala.”

“Tapi itu tak lama. Obat itu rupanya tidak memberi hasil yang diharapkan. Orang-orang yang telah diujicoba  menjadi seperti kehilangan kendali. Mereka berubah menjadi semacam monster. Mama juga. Mama berubah menjadi monster. Mia takut. Mama seperti tak mengenal Mia lagi. Tapi bapak-bapak itu melindungi Mia. Tapi Mia tetap saja sedih.”

“Bapak-bapak itu melanjutkan penelitian di suatu tempat rahasia. Disinilah tempat itu. Mia diajak serta mereka. Mereka minta maaf kepada Mia dan akan berusaha mengembalikan Mama secepat mungkin asal Mia mau diajak bekerja sama. Tapi sekarang mereka melakukan percobaan yang lebih gila. Lebih mengerikan. Mia takut, Mia menangis hampir tiap malam. Tapi mereka terus menguatkan Mia. Tapi Mia juga punya batas. Mia akhirnya tak kuat lagi bertahan.”

“Dan berakhir seperti ini… Jadi hanya karena sebuah obat keabadian, Bumi menjadi hancur karena wabah?”

“Benar Kak. Monster-monster itu menginfeksi semua orang. Tidak ada yang bisa membendung infeksi. Dia seperti wabah dan tidak ada yang bisa menahannya. Semua yang Mia kenal berubah menjadi monster. Hanya mereka yang berhasil naik ke bahtera bisa selamat. Tapi Mia tahu, di atas bahtera, mereka juga sekarat.”

“Kak Erick. Mia sudah memberikan antibodi yang tersisa kepada Kakak. Antibodi ini adalah harapan terakhir yang bapak-bapak simpan untuk umat manusia. Sayang mereka tidak sempat menyampaikannya karena Bencana itu terlebih dulu terjadi dan membuat mereka menjadi monster. Karena itu, kumohon pada Kakak, bawalah obat ini dengan selamat ke Bahtera. Bawa kembali kehidupan ke planet ini. Mia akan membantu kakak dengan tenaga yang masih ada. Semoga kakak bisa selamat.”

Sebuah sentakan dahsyat membuatku tersadar dari pingsanku. Aku terbangun. Kudapati diriku masih berada di atas dipan di laboratorium dimana Mia memberiku antibodi yang dicari-cari oleh kami. Aku mulai beranjak dari dipan dan kembali memandang wajah yang tertidur dalam tabung kaca itu.

Tiba-tiba terdengar berisik ribut dari audio-speaker disana. Ada suara lemah lagi.

“M… Mia?”

“Kak Erick! Pergilah! Tanpa antibodi Mia akan kehilangan semua kekuatan Mia. Kekuatan psikis Mia yang menaungi tempat ini tak bisa bertahan lama. Mia takkan bisa lagi menyembunyikan Kakak dari mereka! Pergilah cepat sebelum mereka menemukan Kakak! Kumohon!”

Aku mengangguk. Saat kuanggukkan kepala sembari mengucap terima kasih, kulihat kulit kepala gadis itu mengelupas. Rambut merahnya yang bergerai indah mulai memutih dan suram. Bersamaan itu pula aku bisa merasakan aura ruangan ini berubah. Lantai dan dinding disekitarku mulai ikut mengelupas dan menampilkan lantai lain yang begitu kusam dan lapuk. Sepertinya, kekuatan psikis Mia yang menghasilkan ilusi tempatku berada itu mulai hilang dan digantikan ruangan yang sebenarnya. Aku yakin, bersamaan dengan ini, perlindungan yang diberikan Mia kepadaku pasti juga hilang.

Aku tak mau membuang waktu. Segera kulangkahkan kakiku secepat yang aku bisa. Lorong-lorong yang tadi kujumpai kulewati lagi. Proses pengelupasan itu terus berlanjut semakin cepat. Aku dapati lorong itu kini begitu kumuh, suram, dan ditinggalkan. Cahaya hanya sedikit dari lampu-lampu yang memaksakan diri hidup. Aku terus berlari dengan petunjuk yang makin lama makin sedikit. Pengelupasan terus dan terus berlanjut.

Tiba-tiba kutemui persimpangan. Aneh? Bila kuingat, tidak ada persimpangan apapun sejak aku melalui tempat kremasi mayat itu. Atau tempat ini juga ikut-ikutan berubah. Dalam kebingungan aku melihat bayangan seorang gadis berdiri menatapku dari salah satu persimpangan. Mia, dia melambai-lambai padaku. Aku paham maksudnya. Dia menyuruhku memilih jalur ini.

Di lorong-lorong selanjutnya, situasi semakin tak menentu. Ruangan semakin terlihat suram. Sungguh berbeda jauh dengan ilusi yang diciptakan oleh Mia tadi. Gadis itu terus saja menampakkan diri menunjukkan jalan kepadaku meskipun semakin lama semakin tidak jelas karena kekuatannya yang mulai menghilang. Entah seberapa jauh aku melangkah hingga akhirnya kudapati aku sudah berada di tempat dimana lorong besar tadi berada.

Tapi semuanya sudah berubah. Lorong itu tidak serapi aku mendapatinya pertama tadi. Tempat ini tak ubahnya sebuah tempat yang suram dan lama ditinggalkan. Ada cahaya yang menyeruak dari jendela-jendela. Bisa kulihat matahari bersinar benderang dari celah-celah diantaranya. Kurasa aku sudah berada di dunia nyata, bukan dunia halusinasi yang dikuasai Mia. Gadis itu, dia sudah menyerahkan semua yang tersisa padaku. Semoga dia bisa beristirahat dalam damai.

Dan kini, entah harus bersyukur atau tidak, kehilangan kekuatan Mia merupakan tanda kalau mereka sekarang bisa merasakan keberadaanku. Dugaanku tidak salah, tidak perlu hitungan menit aku bisa merasakan ada kegaduhan di beberapa tempat disini. Belum sempat pula aku berfikir harus melakukan apa saat puluhan, atau mungkin ratusan, dari mereka mulai merangsek masuk ke dalam. Para zombie, produk mengerikan dari Bencana Besar yang dibuat oleh manusia itu sendiri, datang menghampiriku.

Mereka seperti monster kelaparan, mendekatiku dengan terseok-seok dan sebagian dengan menyeret tubuhnya. Wajah mereka hancur. Tubuh mereka tak sepenuhnya utuh. Insting mereka terhadapku sama seperti insting anjing kelaparan yang mencium daging segar. Aku harus segera membela diri. Aku tak boleh mati disini atau kalau tidak, antibodi itu takkan sampai ke tangan mereka yang membutuhkan.

Tapi tak ada yang bisa dijadikan alat bertahan diri disini. Aku berlari menghindar saat para zombie itu mencoba menangkapku. Aku memasuki sebuah kantor administrasi. Disana kutemui pemotong kertas. Alat itu bisa dijadikan parang untuk melindungi diri. Sementara itu, zombie-zombie disana seperti kesetanan mengejarku. Aku harus segera mencari jalan keluar dari sini dan menemukan cara kembali ke Bahtera.

Tapi untuk sementara, aku lebih fokus untuk menemukan jalan keluar. Monster-monster itu terlihat begitu kelaparan. Mereka semakin mendekatiku dengan mulut yang menganga dan lendir yang muncrat kemana-mana. Saat aku kembali terdesak, aku melihat sebuah saluran udara yang bisa kugunakan kabur. Tapi aku harus memanjat untuk sampai kesana. Kuraih sebuah kursi. Sesosok zombie yang mendekatiku kuhantam dengan pisau pemotong kertas hingga rahangnya hancur. Kuraih lagi kursi. Kuambil ancang-ancang melompat. Saat aku hendak meraih ujung saluran itu, salah satu monster menangkap kakiku. Aku kehilangan kendali. Tubuhku terjatuh.

“Si…Sial!!!”

Mereka lalu meraih-raih tubuhku yang terjatuh di meja dengan ganas. Kugunakan sekuat tenagaku untuk meronta. Sangat bahaya bila salah satu mereka berhasil menggigit atau melukaiku karena aku akan berubah seperti mereka juga dan antibodi yang kubawa takkan ada artinya. Aku harus berjuang keras untuk bisa secepatnya keluar dari kepungan zombie ini.

Tapi semua usahaku terlambat. Para zombie sudah memenuhi tempat ini. Ruangan ini dan lorong besar tadi semua sudah dikepung oleh zombie-zombie. Satu-satunya jalan hanyalah melalui saluran udara itu. Aku harus bisa menggapainya lagi. Aku harus selamat. Aku harus!

Tidak! Zombie-zombie itu, mereka terlalu kuat!

Aku tak bisa berdiri. Mereka mengekang semua tubuhku. Mulut-mulut mereka tak sabaran menggigitku. Aku menjerit. Aku tak ingin mati. Ada yang ingin kupersembahkan untuk ayah! Untuk semua umat manusia di Bahtera!

Ayah! Kumohon tolong aku!

Mia! Kumohon!

Tiba-tiba sebuah sinar benderang berpijar-pijar seperti membutakan mata. Daya dorong yang muncul selanjutnya membuat aku dan zombie-zombie beringas di sampingku terpental ke salah satu dinding. Aku melihat api yang sangat besar di depanku. Ada sebuah lubang besar di dinding lorong. Dari baliknya, aku melihat beberapa pasukan mengenakan masker penutup dan zirah hitam menembaki zombie-zombie yang masih melawan.

“ERICK!!!”

Sayup-sayup kudengar ada yang memanggil diantara gemuruh rentetan tembakan dan suara raungan zombie-zombie. Kulihat beberapa dari pria bermasker itu menghampiriku. Salah satu mereka mengecek kondisiku. Setelah dianggap oke, pria itu langsung membopongku dan membawaku pergi dari kepungan zombie-zombie di balik perlindungan tembakan pria-pria yang lain. Bisa kudengar para monster itu meraung marah santapan mereka dibawa pergi. Kutatap pria yang membawaku itu. Sayup-sayup kuucapkan terima kasih. Aku sungguh sangat bersyukur mereka datang tepat waktu. Aku sudah benar-benar sangat terpojok tadi.

Sebuah WarBird, pesawat angkut milik Bahtera, melayang-layang di atas kami sembari terus memuntahkan ratusan peluru dari gatling gun miliknya. Zombie-zombie yang masih hidup dan melawan langsung tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Seorang pasukan menarik tali dan mengikatnya kepadaku. Setelah memberi aba-aba, mereka mengangkatku masuk ke dalam pesawat. Setelah semua naik, WarBird segera melesat menuju atmosfer meninggalkan kota yang kini sudah dipenuhi zombie. Kami terus melesat menuju orbit dimana Bahtera berada. Ayah dan rekan-rekan ilmuwannya pasti tak sabar menunggu kabar baik dariku. Obat yang kubawa kuharapkan bisa menyembuhkan semua yang tersisa di Bahtera, dan juga di planet ini.

Aku berdoa untuk itu.[]

tamat

Penulis: Alycon | Teks

0 komentar