Suasana kamar masih gelap saat aku membuka mata. Rupanya hari masih malam. Tanganku bergerak – gerak meraba sekelilingku, mencari di mana aku meletakkan jam weker. Saat mereka menemukannya, aku menyadari diriku bangun tengah malam. Terlalu awal untuk memulai kehidupanku kembali.
Aku menaruh kembali jam weker dari hadapanku dengan sedikit kesal karena waktu tidurku terganggu. Khawatir akan bangun kesiangan, aku pun menarik selimutku kembali lalu memejamkan mata.
Namun baru saja aku menikmati kembali tidur, aku kembali pada kesadaranku. Pendengaranku terusik oleh suara gaduh pada plafon atau dengan kata lain berasal dari kamar di lantai atas. Aku menggeram dalam hati.
"Apa sih yang mereka lakukan tengah malam begini? Mengganggu orang lain saja."
Aku menatap tajam plafon itu. Suara gaduh itu masih terdengar jelas menggema di kamarku. Suara itu seperti seseorang menggaruk lantai kayu, menggeser lemari, menjatuhkan sesuatu, atau semacamnya. Bisa kusimpulkan suara – suara ini seperti orang yang sedang mengorek gudang di loteng untuk mencari sesuatu.
Tengah malam seperti ini mencari sesuatu? Yang benar saja. Tak ada satupun orang yang menyarankan mengorek gudang pada tengah malam. Tak ada hasilnya. Barang tidak ditemukan, tenaga terkuras, waktu istirahat hilang, dan mengganggu orang lain. Mungkin yang terakhir ini yang kurasakan sekarang. Tetapi aku hanya akan mempermalukan diriku saja jika aku menegurnya sekarang. Penghuni rumah ini tidak hanya aku sendiri. Aku sama saja mengganggu mereka jika pergi ke atas, menggedor pintunya lalu memaharinya di tengah malam. Lebih baik aku melakukannya esok pagi. Sebagai gantinya, aku harus menahan kegaduhan itu yang entah berapa lama lagi harus kudengar.
Aku mencoba untuk tidur kembali saat suara – suara itu hilang dengan sendirinya. Suasana menjadi hening seketika. Ini aneh, seharusnya aku merasa senang mereka berhenti membuat gaduh tetapi yang perubahan suasana yang mendadak seperti ini malah membuatku merinding. Aku tak mau mengakuinya tapi bisa dibilang aku merindukan suara – suara itu. Hatiku bertanya – tanya, apa yang terjadi di atas sana?
Tapi sudahlah, kini tak ada lagi yang menggangguku. Sekarang aku bisa melanjutkan tidur dengan harapan tidak ada lagi yang membangunkanku sebelum waktunya.
***
Mungkin aku beruntung menemukan kamar kosong di sini. Aku tak pernah membayangkan akan menemukannya di pusat kota dan dengan harga murah seperti ini. Padahal teman – teman yang satu kampus denganku banyak yang tidak menemukan kamar kost kosong. Kuharap ini bisa menjadi awal yang baik untuk kelanjutan kehidupan mahasiswaku selanjutnya.
Rumah kost ini terletak tak jauh dari kampusku. Letaknya memang tidak persis di dekatnya ataupun berada di pinggir jalan utama, melainkan harus masuk ke gang kecil. Tetapi setidaknya, cukup strategis untuk bepergian ke manapun di kota ini.
Rumah kost ini memiliki delapan kamar. Empat di lantai bawah dan empat di lantai atas. Setiap kamar memililki kamar mandi sendiri. Selain itu terdapat juga fasilitas laundry. Cukup lengkap fasilitasnya.
Penghuni rumah kost ini selain diriku adalah karyawan bank, pekerja kantoran, dan pedagang. Hanya aku seorang penghuni yang belum bekerja di sini. Karena memiliki aktifitas masing – masing, kami sulit bertemu. Mereka selalu pergi pagi dan pulang malam. Di akhir pekan, mereka pergi ke luar kota atau beristirahat seharian dan tidak mau diganggu. Kami memang jarang bertemu dalam rumah kost tetapi semua itu tidak terlalu masalah bagiku sampai akhirnya seorang penghuni membuatku penasaran. Aku ingin tahu tentang penghuni kamar 203, tepat di atas kamarku.
***
Adalah suatu keajaiban aku bisa bangun pagi pada keesokan harinya. Setelah apa yang kualami di tengah malam, aku mengira akan bangun kesiangan. Rupanya tubuhku masih menuruti apa yang kuinginkan. Aku langsung mandi dan bersiap – siap untuk berangkat ke kampus. Ada kuliah pagi menantiku hari ini.
Pukul 06.30 aku keluar dari kamar. Suasana masih hening seperti pagi – pagi sebelumnya tetapi samar – samar terdengar suara guyuran air dari salah satu kamar. Tetangga sebelahku sedang mandi rupanya.
"Selamat pagi Fiki."
Seseorang menyapaku. Dia adalah Pak Sado, si pengurus rumah kost ini dan ia berada di balik bilik resepsionis, menunggu tamu yang mungkin akan datang. Di usianya yang mulai senja, ia sangat rajin dan perhatian terhadap hal kecil. Ia juga ramah terhadap penghuni lain.
"Selamat pagi pak Sado."
Sapaan hangatnya di pagi hari ini hampir membuatku lupa akan hal penting. Ya, aku ingin tahu tentang penghuni kamar di atasku. Sejak pindah ke sini seminggu yang lalu, aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun.
"Maaf, pak Sado."
Ia kembali mengangkat wajahnya menatapku. Senyum itu seolah berkata "ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin tahu, tentang penghuni kamar di atas kamar saya."
Sejenak Pak Sado membeku dalam ekpresi terkejut setelah mendengar ucapanku namun beberapa saat kemudian ia tersenyum sambil membenarkan kacamatanya.
"Oh, maksudmu kamar 203?"
Aku mengangguk. Pak Sado kembali menatap pada halaman buku besarnya, mencatat pemasukan dan pengeluaran sehari – hari rumah kost ini. Walaupun begitu, ia tetap menjawabku.
"Itu kamarnya Reliana, putri ibu Jenny, pemilik kost ini. Sudah setengah tahun ibunya menyewakan kamar itu untuknya. Ibunya datang seminggu sekali. Memangnya ada apa?"
"Tidak. Apa dia setiap malam membuat gaduh? Soalnya tadi malam berisik sekali di atas kamarku. Aku hampir tidak bisa tidur."
Pak Sado menatapku kembali, kali ini dengan ekspresi aneh.
"Oh, kau juga mendengarnya?"
"Hah? Maksud bapak?"
"Yah, alasan yang sama juga pernah dikatakan pemilik kamarmu yang dulu. Mereka bilang selalu terganggu setiap malam oleh penghuni kamar atas."
Sial, rupanya itu alasan mengapa kamar itu harganya murah. Rupanya sering ditinggalkan penghuninya gara – gara kamar atasnya berisik. Jika saja aku tahu sebelumnya, mungkin aku tidak akan mengontrak di sini. Tetapi, aku tak bisa pindah kost untuk sementara ini. Aku tak punya waktu dan uang untuk mencari tempat kost baru.
"Pak, memangnya belum ada yang pernah menegurnya?"
"Sebenarnya sudah sering sih. Tapi Reliana itu agak misterius. Ia tak pernah keluar kamar. Aku sekali melihatnya sewaktu ia pertama kali datang ke sini. Dulu pernah ada yang menggedor – gedor pintunya tapi ia tak membukakannya. Anehnya, si penggedor itu malah ketakutan terus langsung pindah."
Aku terdiam. Aku merasakan ada hal ganjil tentang penghuni kamar di atasku. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih jauh tentangnya, tetapi aku harus kuliah. Kusimpan saja rasa penasaranku untuk nanti sore. Kalau perlu aku ingin bertemu langsung dengan Reliana.
Aku akhirnya berpamitan dengan Pak Sado untuk berangkat menuju kampus namun baru baru saja aku meninggalkan pagar depan, tubuhku tiba – tiba merinding seakan diterpa angin yang sangat dingin tiba – tiba. Aku merasa seseorang sedang menatapku. Kutolehkan pandanganku pada rumah kost, mencari kemungkinan letak orang yang menatap tersebut. Saat itulah mataku menangkap sesuatu di lantai dua. Tampak sesuatu seperti kepala manusia menyembul di jendela di atas kamarku. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi siluet itu tampak seperti setengah kepala seseorang. Beberapa saat kemudian ia turun, terbenam di balik kusen jendela. Reliana, penghuni kamar di atasku sedang mengamatiku dan ini benar – benar menegakkan bulu romaku. Dengan cepat aku melangkah pergi meninggalkan rumah kost.
***
Aku merasakan firasat yang buruk tentang ini. Selama perkuliahan berlangsung, aku tak bisa berkonsentrasi mendengarkan dosen. Visualisasi saat ia mengintipku dari jendela kamarnya terus membayangi pikiranku dan membuatku merinding. Ini konyol, ia nyata. Bukan makhluk halus, bahkan Pak Sado mengetahui keberadaannya tetapi, aku terus merasa sesuatu yang ganjil tentang dirinya.
Reliana, menurut ucapan Pak Sado ia tak pernah keluar dari kamarnya. Tidakkah ia merasa bosan? Walaupun kebutuhan hidup diberikan oleh ibunya seminggu sekali, manusia tetap takkan bisa hidup tanpa sosialisasi. Aku meragukan ia memiliki teman walau seorangpun.
Aku terus memikirkan tentangnya bahkan hingga perkuliahan usai. Aku berjalan pulang kembali ke rumah kost menjelang senja. Ia tak terlihat lagi di jendela kamarnya. Saat aku melihatnya dari depan, yang ada hanya kegelapan. Mungkinkah ia juga tidak suka pada cahaya?
Aku membuka pintu depan. Di ruang tamu, seorang pria dewasa berkacamata duduk santai di sofa sedang membaca koran. Di meja kecil terdapat secangkir kopi panas. Adalah jarang bertemu dengannya di waktu seperti ini mengingat ia selalu pulang malam.
"Hai Fiki!" ia menyapaku.
"Mas Agus? Tumben sudah pulang?"
Agus melihatku sambil tersenyum lebar. Sesekali ia menyeruput kopi panasnya.
"Ya begitulah. Hari ini aku tak terlalu banyak pekerjaan. Bisa lebih santai."
"Asyik dong." Balasku singkat.
Mas Agus adalah orang yang baik dan ramah. Bisa dibilang ia adalah tetangga yang enak untuk diajak berteman. Berkatnya, aku hampir melupakan hal – hal yang menggangguku akhir – akhir ini. Ketika mengingatnya kembali, aku sudah membuka kamarku.
"Anu... mas Agus?"
Aku berbalik sebelum memanggilnya. Pria itu menurunkan kembali koran sore yang sedang ia baca lalu menoleh padaku tanpa terlihat jengkel.
"Kenapa Fik?"
"Mas Agus 'kan sudah lama di sini. Tahu nggak tentang penghuni kamar 203 di atas?"
"Oh tentang Reliana? Dia memang orang aneh. Belum pernah keluar kamarnya sekalipun Memangnya ada apa?"
"Nggak, tadi malam di atas kamarku berisik banget. Kupikir berasal dari kamarnya Reliana."
"Hah? Jangan bilang kamu juga terganggu olehnya?"
Agus terkejut mendengar ucapanku. Didengar dari responnya, sepertinya ia juga sudah sering mendengar keluhan dari orang – orang yang pernah menghuni kamarku dan ia terlihat akan selalu terkejut jika mendengar hal ini lagi.
"Ini sudah keterlaluan. Sado masih saja membiarkan dia tinggal di situ. Ini nggak bisa begini terus nih."
Pria itu menggerutu. Aku menghargai opininya yang membelaku, tetapi ia sepertinya berusaha menyalahkan Pak Sado yang ramah. Namun pembicaraan ini malah mengingatkanku akan suatu hal.
"Ngomong – ngomong, di mana Pak Sado?"
"Tadi sih, katanya mau keluar beli cat Aquaproof. Dia mau memperbaiki genteng bocor.
Aku mengamini ucapan mas Agus. Sang pengurus tempat kost memang tak ada di ruangannya. Tanpa berpikir banyak, aku masuk ke kamarku dan beristirahat.
***
Aku terbangun tiba – tiba ketika mendengar suara guntur menggelegar. Aku mendapati waktu telah malam dan hujan mengguyur bumi. Sekarang tepat pukul delapan, aku tertidur selama empat jam. Perutku mulai menuntut pengisian ulang. Aku bangun dari kasur untuk mencari makan.
Tak berapa lama, aku mendengar suara gaduh sang penghuni kamar atas lagi. Masih dengan bunyi – bunyi yang sama, namun kali ini terdapat bunyi lain seperti gemerincing rantai dan geraman – geraman binatang. Aku semakin curiga dan penasaran dengan Reliana itu.
Aku bergegas keluar kamar untuk menemui Pak Sado, tetapi ia masih tak ada di ruangannya. Aku bertanya – tanya, ke mana perginya Pak Sado? Apakah ia masih belum pulang?
Ruang tamu ini sepi. Tak ada seorang pun di sana. Aku berjalan menghampiri ruangan Pak Sado dan menemukan seikat kunci – kunci cadangan kamar – kamar. Terlintas dalam pikiranku untuk mengambilnya sejak aku penasaran akan penghuni kamar di atasku.
"Maaf, aku pinjam kunci ini sebentar." Aku bergumam.
Akhirnya aku mengambil ikatan kunci itu dan berjalan perlahan ke lantai atas. Di lantai dua ini juga tak terlihat seorang pun di luar kamar. Mungkin mereka sedang keluar mencari makan, tidur, atau belum pulang dari aktivitasnya. Rasanya, malam ini aku bebas melakukan apa saja di rumah kost ini walau sebenarnya ini bukan keinginanku.
Aku mengamati ruang lantai dua ini. Tujuanku ada di sebelah kanan, pintu paling ujung bertuliskan "203". Kulangkahkan kakiku menuju ke sana. Suara – suara itu masih terdengar saat aku tiba di depannya.
Aku memegang kunci cadangan kamar itu, namun aku masih punya sopan santun. Aku mencoba mengetuk mengetuk pintu itu diikuti dengan ucapan "permisi ... "
Usaha pertama membuahkan hasil. Suara – suara itu berhenti tetapi pintu masih belum dibukakan. Aku mencoba usaha yang sama untuk yang kedua kali dan masih belum ada respon apapun dari dalam. Akhirnya aku terpaksa melakukan usaha yang terakhir.
"Reliana? Aku masuk ya ..."
Aku memasukkan kunci berlabel "203" pada lubang kunci kemudian memutarnya dengan sedikit ragu – ragu. Entah kenapa aku merasa tegang mengetahui akan bertemu dengan orang yang membuatku penasaran untuk pertama kalinya. Jantungku berdegup kencang. Perlahan aku membuka pintunya.
Aroma tak sedap terkuak seketika setelah aku membuka pintu. Aroma itu serasa menusuk hidung dan aku berusaha untuk menutupnya dengan tangan. Di balik pintu itu adalah ruangan yang gelap gulita. Aku tak bisa melihat apa – apa.
"Reliana?"
Aku memanggil nama yang disebutkan pak Sado tadi pagi tetapi tak ada sahutan dari dalam. Dengan sebelah tangan aku meraba – raba dinding di sekitar pintu. Seharusnya di sana ada saklar lampu dan aku menemukannya.
Terlihat titik cahaya di plafon. Starter lampu neon berfungsi dan mulai menyalakan lampu utama. Sesaat kemudian lampu neon berkedip – kedip beberapa kali. Selama lampu berkedip, kilatan-kilatan sebuah gambaran tertangkap mataku. Gambaran yang memperlihatkan seseorang berbaring di lantai tapi aku belum bisa menangkap maksud dari gambaran kilas itu.
Aku terkejut luar biasa hingga tersentak ke belakang saat lampu neon menyala menerangin ruangan. Aku menemukan pak Sado terkapar kaku di atas genangan darah dengan raut wajah mengenaskan. Sementara di atas tubuhnya, seseorang membenamkan wajahnya pada perut si pengurus rumah kost yang robek dan isinya terburai keluar.
"P-pak Sado. . ." tanpa sadar mulutku bergumam.
Orang yang berada di atas tubuh pak Sado menyadari kehadiranku. Dia perlahan mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajahnya yang belepotan darah segar. Seorang perempuan remaja dengan mata yang mengerikan layaknya binatang buas.
"Reliana?"
Panggilanku membuat perempuan itu bereaksi yang tak pernah kuduga sebelumnya. Dia tiba – tiba melompat menyerangku seperti harimau yang menyergap rusa.
"Uaaahhh!!!"
Aku spontan berteriak keras sambil terjengkang ke belakang. Ia tak berhasil menangkapku. Sebuah rantai yang terpasang pada pilar kamar mengikat kakinya dan membuatnya terjatuh sebelum mencapai luar kamarnya. Ia terpasung di kamarnya sendiri. Itulah sebabnya aku sering mendengar suara – suara gaduh dan bunyi rantai dari atas. Berkat rantai itu, ia tak bisa keluar dari kamar.
"Kenapa dia? Apa itu?"
Beragam pertanyaan memenuhi kepalaku dan terucapkan mulutku. Mataku terbelalak melihat sosok manusia dengan kondisi seperti ini. Ia terlihat tidak seperti manusia lagi melainkan binatang buas yang diikat di sangkarnya dan pak Sado adalah makanannya. Kurasa aku menemukan penyebab ia berada di kamar ini ketika melihat sebuah lubang di langit – langit. Pak Sado terjatuh dari atap ketika membetulkan genteng dan tepat berada di kamar ini. Tragis, ia berada dalam "sangkar" Reliana.
Perempuan gila itu masih berusaha menggapaiku. Ia merayap sambil mencakar – cakar lantai hingga terdengar suara menderit yang menusuk gendang telinga. Aku terus meringsut ke belakang. Rasa takut ini membuat tubuhku sulit digerakkan. Jantungku berdetak kencang dan keringat dingin terus bercucuran.
"Astaga! Apa itu?"
Terdengar suara teriakkan dari belakang. Aku melihat mas Agus dan Pak Rudi yang baru pulang dari kantor tercengang di ujung tangga melihat pemandangan di depannya. Sepertinya kegaduhan ini menarik perhatian mereka .
"Tolong! Tolong aku!"
Aku berteriak pada mereka. Mas Agus menghampiriku lalu menariku menjauhi Reliana sedangkan Pak Rudi malah mendekati ruangan. Ia kaget melihat Pak Sado di dalam sana.
"Tunggu, jangan ke sana!"
Aku berteriak tetapi terlambat. Ketika Pak Rudi memalingkan pandangan ke arahku, Reliana berhasil menangkap kaki kanannya. Dengan tenaga yang – secara mengejutkan – sangat kuat, ia menarik kaki Pak Rudi hingga ia terjatuh, kemudian menggigit dagingnya. Pria itu menjerit kesakitan sambil menendang-nendang kepala Reliana dengan panik.
Mas Agus segera bertindak. Ia menghampiri mereka kemudian menendang kepala Reliana sekuat tenaga hingga tubuhnya terpelanting ke belakang. Saat itulah pria itu dengan cekatan menarik Pak Rudi lalu segera menutup pintu dan menguncinya. Seketika terdengar benturan keras dari dalam kamar. Perempuan gila itu menabrakan dirinya pada pintu beberapa kali tapi tak berhasil membuatnya terbuka. Ia meraung keras sebelum akhirnya terdiam.
Kami bertiga terduduk lemas. Berusaha menenangkan diri kami. Mungkin ada banyak sekali pertanyaan dalam pikiran kami, tetapi malam ini tak satupun kata dapat terucap. Kami hanya saling berpandangan.
***
Beberapa hari setelahnya, aku tak lagi tinggal di rumah kost itu. Aku memaksakan diri keluar untuk selanjutnya tinggal di rumah saudaraku sementara. Visualisasi fisik Reliana masih tergambar jelas dalam pikiranku.
Sejak kejadian itu, rumah kost tersebut kini dikosongkan dan disegel oleh polisi. Tak hanya mereka, para ilmuwan dan ahli biologi dari negara lain juga turut menyelidiki kasus ini. Misteri seorang perempuan bernama Reliana menjadi pembicaraan masyarakat di kota ini.
“Ghoul” demikian jawab Adrian, teman sekuliahanku setelah aku menceritakan padanya. Semula ia terlihat tidak percaya akan ceritaku namun ia selalu berusaha untuk mencari tahu segala sesuatu yang menyangkut ceritaku itu. Ia mengatakan Ghoul adalah sejenis makhluk berwujud manusia yang bangkit dari kematian karena kekuatan gaib, sihir atau apapun. Ia tak punya perasaan, ataupun akal kecuali mengikuti perintah si pemberi kekuatan atau instingnya sendiri. Dalam berbagai cerita, ia digambarkan sebagai makhluk kanibal yang selalu memburu makanannya. Dengan kata lain, ia adalah zombie dalam literatur modern.
Tiga hari yang lalu, aku bertemu dengan Mas Agus lewat Yahoo Messengger. Mas Agus juga tak lagi tinggal di sana. Ia segera keluar dari rumah kost itu keesokan harinya dan tinggal sementara di kantornya. Sewaktu chat dengannya, ia menceritakan tentang Pak Rudi yang menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Luka gigitan kecil di kakinya semakin lama semakin parah karena infeksi. Ia kini dirawat di ruangan isolasi tanpa bisa dijenguk siapapun. Tak ada yang tahu nasibnya setelah itu.
Lebih lanjut lagi, Mas Agus menceritakan pula tentang ibu Jenny, pemilik kost. Ia mengatakan kabar mengejutkan yang mengatakan beliau bunuh diri. Belum tahu apa sebabnya namun diduga masih berkaitan dengan kejadian di rumah kostnya. Mas Agus berpendapat, ia sudah mengetahui kondisi putrinya sejak awal dan secara teratur memberinya daging sapi besar setiap tiga hari sekali. Sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu di balik kejadian itu.
Aku masih merasakan firasat sesuatu yang buruk akan terjadi tak lama lagi.
E n d
Penulis: Taufik Maulana [Facebook]
Sumber: Izoc
2 komentar