Cermin | zidwa |
Aku takut pada cermin.
Terutama pada setiap bayangan orang-orang yang terpantul di dalamnya...
Jika ada satu hal yang dapat kuenyahkan dari dunia ini, itu adalah pantulan bayangan. Entah itu di cermin, kaca mobil, ataupun benda-benda mengkilap lainnya yang dapat memantulkan bayangan setiap objek di dalamnya dengan cukup jelas.
Bayangan-bayangan tersebut sungguh membuatku gila! Tak jarang sumsumku berdesir setiap saat secara kebetulan aku melewati objek mengkilat. Terutama jika aku melihat bayangan orang lain selain diriku sendiri di dalam cermin tersebut. Mungkin hal ini dianggap aneh bagi kebanyakan orang. Tetapi apa yang terjadi tiga tahun yang lalu benar-benar telah mengubah hidupku sepenuhnya.
Waktu itu aku baru saja merayakan ulang tahunku yang kelima belas. Siang itu aku menemani salah seorang bibiku ke salon langganannya. Sebenarnya aku agak malas menemani bibiku yang satu itu. karena jika ia sudah keasyikan mengobrol, gempa bumi yang super dahsyat atau hujan batu pun tak akan menghentikan ocehannya yang super lengkap, dari isu seputar kenaikan BBM, gosip artis, sampai si Chiko yang suka menguber-uber anjing betina tetangga sebelah kami. Siapa Chiko? Aku pun tak tahu. Pokoknya ampun-ampunan deh bibiku yang satu itu.
Dengan berbekal komik, sebatang cokelat, dan Blackberry Curve 9300 3G yang baru kubeli dua hari sebelumnya, akhirnya aku ikut bibiku ke salon walaupun dengan setengah hati. Nggak apa-apalah, pikirku, siapa tahu bibiku bersedia mentraktirku pizza sepulang kami dari salon nanti, sebagai upahku menemaninya hari itu.
Akhirnya setelah terkantuk-kantuk di dalam tuk-tuk (sejenis kendaraan umum di Thailand) selama beberapa saat, kami tiba juga di gedung bercat merah muda itu. Bangunan berarsitektur Portugis itu masih kelihatan seindah dan semenarik dua tahun sebelumnya, ketika terakhir kali aku menemani ibu dan bibiku ke tempat tersebut. Dengan dinding luar berbalutkan relief bunga teratai ungu dan merah, salon itu berdiri megah di tengah himpitan gedung-gedung perkantoran lain yang menjulang tinggi di sekitarnya.
Salon itu tidak sepenuh biasanya. Maklumlah. Mungkin karena hari itu hari Rabu pagi. Dari kaca jendela luar hanya terlihat beberapa orang remaja putri di dalam dan seorang nyonya muda yang sedang di-crembath. Syukurlah, kataku dalam hati. Moga-moga bibiku cepat selesai. Aku sudah tak sabar ingin menikmati pizza kegemaranku!
Begitu kami melangkah masuk, aroma wewangian khas Thailand segera menyergap kehadiran kami berdua. dan seorang wanita muda berbusana daerah menyambut kami dengan senyum ramahnya. Ia dengan sigap mengantarkan bibiku ke ruang dalam sementara aku segera memarkirkan pantatku di kursi empuk di sudut ruangan dan mengeluarkan Blackberry Curve 9300 3G-ku. Detik berikutnya aku telah asyik terlarut dalam komikku sambil mengunyah cokelat dan mendengarkan lagu.
Waktu berlalu dengan cepat. Kira-kira satu jam kemudian bibiku sudah hampir selesai. Ia sedang mematut-matut dirinya di depan cermin. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. Sekilas aku melirik ke arah cermin.
Pada saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh.
Wajah penata rambut yang pada saat itu sedang menyemprotkan hair spray pada rambut bibiku terlihat menyeramkan. Pelipis sebelah kirinya terlihat mengucurkan darah dan membasahi kemeja putihnya. Aku tersentak kaget! Segera aku memalingkan wajah dari cermin dan memperhatikan sang penata rambut yang berdiri tepat di samping kananku. Tapi ia terlihat baik-baik saja! Tak ada luka sedikit pun pada wajahnya dan kemejanya putih bersih.
Aku mulai kebingungan. Aku kembali memandang cermin. Dan apa yang kulihat tetap sama dengan apa yang kulihat pertama kali. Wajah dan baju yang merah oleh ceceran darah yang mengucur semakin deras!
Aku tak tahan lagi! Aku segera mengubah posisi berdiriku agar aku tak dapat melihat bayangannya di cermin. Semua ini benar-benar membuatku gila! Apakah ada yang salah dengan penglihatanku? Ataukah ini hanya imaginasiku belaka?
Tak lama kemudian bibiku selesai. Kami pun pulang ke rumah melalui rute yang sama. Sepanjang perjalanan aku mengunci bibirku rapat-rapat. Pikiranku benar-benar kalut! Aku masih bingung dengan apa yang baru saja kualami.
* * *
Selang beberapa minggu kemudian, bibiku kembali ke salon itu untuk creambath. Pada saat itulah kami mendengar kabar bahwa salah seorang penata rambut salon tersebut telah meninggal dunia dua minggu sebelumnya karena kecelakaan mobil. Dia adalah penata rambut yang waktu itu melayani bibiku!
Katanya, sewaktu dia hendak pulang ke rumah pada hari itu, di tengah jalan dia tertabrak seorang pengendara motor ugal-ugalan. Tubuh si penata rambut itu terpental beberapa meter. Fatalnya kepala si penata rambut itu menempel pada aspal terlebih dulu membuat darah mengucur dari wajahnya. Orang-orang segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Sayang, dia meninggal dunia dalam perjalanan karena luka-lukanya sangat parah dan dia mengalami pendarahan hebat di kepalanya.
Aku tertegun.
Mendadak aku teringat penglihatan yang kualami waktu itu. Apakah itu merupakan firasat akan terjadinya sesuatu? Aku berusaha melupakan peristiwa tersebut dan kuanggap hal itu sebagai suatu kebetulan belaka. Meskipun hal itu menjadi cerita horor mimpi burukku.
Dan beberapa bulan kemudian...
* * *
Hari sudah siang ketika aku dan Irene, teman sekelasku, pulang dari sekolah. Rumah kami berdekatan, sehingga hampir setiap hari kami pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Dalam perjalanan pulang, kami memutuskan untuk mampir ke mal terdekat untuk membeli beberapa perlengkapan sekolah.
Sewaktu kami melewati sebuah butik pakaian, secara kebetulan aku menoleh ke arah kaca etalase. Dan napasku tersentak. Aku dapat melihat bayanganku sendiri di kaca itu, tetapi di sampingku bukan bayangan Irene, melainkan ayahnya. Ia terlihat pucat dan sedih.
Jantungku berdegup keras. Aku teringat kembali peristiwa yang kualami beberapa bulan sebelumnya bersama bibiku. Aku tak tahu apakah hal yang sama akan terulang lagi. Aku tak berani mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu padanya. Aku tak ingin dia sedih memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi.
Malam itu aku baru saja akan pergi tidur ketika tiba-tiba telepon berdering. Ketika kuangkat, terdengar suara Irene. Dia tersedu-sedu. Aku langsung merasakan firasat buruk. Di sela isak tangisnya, dia berkata terbata-bata, "Phrai, ayahku..." Dia tak dapat melanjutkan kalimatnya. Dia hanya terisak pelan.
"Ada apa dengan ayahmu? Apa yang terjadi?" Mendadak aku merasa gugup dan tegang. Tanganku gemetaran. Pikiranku benar-benar kalut.
'Apakah ini…? Tidak mungkin! Jangan!'
Belum sempat aku berpikir lebih jauh, isakan Irene kembali terdengar.
"Ayahku tak sadarkan diri. Beberapa saat yang lalu dia mendapat serangan jantung. Kini dia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit."
Aku tersentak kaget. Seketika tubuhku lunglai dan jantungku berdegup tak karuan. 'Oh Tuhan, jangan biarkan firasatku menjadi kenyataan, doaku dalam hati.'
"Irene, kita berdoa saja, semoga beliau tidak apa-apa," kataku sambil menarik napas panjang.
"Suster yang merawat ayahku mengatakan bahwa ayahku dalam kondisi kritis karena dia terlambat diberikan pertolongan," Irene berkata lirih sambil terisak-isak.
Aku tak bisa mengatakan apa-apa lagi selain menghibur sahabatku itu. Malam harinya aku berdoa semoga firasatku meleset dan segalanya akan baik-baik saja. Aku sungguh-sungguh berusaha menghibur diriku sendiri bahwa apa yang kulihat waktu itu di kaca etalase toko bersama Irene adalah halusinasiku saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah terjadi pada ayah Irene.
Tetapi semakin aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, semakin besar keraguan yang tumbuh jauh di lubuk hatiku bahwa apa yang kualami sebelumnya tidak akan terulang kembali.
Keesokan harinya aku kembali mendapat kabar dari Irene. Dia mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia malam itu juga. Aku sangat sedih mendengarnya. Terlebih-lebih karena aku telah mendapat pertanda tentang hal itu sebelumnya namun tak ada yang dapat kulakukan untuk mencegah musibah itu. Apakah ini suratan takdir? Jika ya, apa gunanya aku mendapatkan firasat itu jika aku sendiri tak dapat melakukan apa-apa untuk mencegahnya? Mengapa? Mengapa? Beribu tanda tanya berkecamuk dalam benakku, namun aku sungguh tak kuasa untuk menjawab semua pertanyaan itu. Semua peristiwa ini benar-benar membuatku stres!
Semenjak kedua peristiwa itu, aku masih mendapat penglihatan-penglihatan lain yang sering kali membuatku dibayangi perasaan bersalah, sedih, dan takut. Tak jarang aku melihat bayangan-bayangan menyeramkan dari orang-orang di sekililingku yang tak kukenal. Entah itu bayangan pedagang sayur yang kebetulan lewat di dekatku, atau bahkan seekor kucing liar yang melintas di hadapanku. Semua bayangan mereka sungguh membuatku merana!
Aku hanya bertanya-tanya, kapan kiranya, suatu hari nanti, aku akan melihat bayangan kematianku sendiri. Apakah hari ini? Besok? Lusa? Ataukah tahun depan? Atau bahkan sesaat lagi?
Aku hanya berharap semoga aku siap menghadapi hari itu.
Hari ketika bayanganku menjadi kenyataanku…
Sumber: Lautanindonesia
0 komentar