Cerpen horor kali ini gue angkat dari kisah nyata yang terjadi baru-baru ini di Jawa Timur. Mengisahkan pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan anak kandung sendiri. Lebih gilanya lagi, si anak ini memakan hati ibunya sendiri. Ah, gokil. Tentu nama-nama di sini sifatnya imajinatif. Kesamaan nama hanya kebetulan belaka. Selamat membaca salah satu cerpen Indonesia karya gue. ^^
“Katakan, kenapa kamu membunuh Ibumu sendiri?” tanya polisi.
Mudjiono menyunggingkan senyum tengik. “Hati Ibu, rasanya sungguh enak!” tukasnya. Sekali lagi bogem mendarat di pipi kanan Mudjiono, membuatnya terjengkang. Antara sadar dan tidak, terbayang wajah Ibunya yang cantik, yang dulu memberikan seluruh cintanya untuknya.
***
“Bu! Kenapa cuma Mas Raharjo yang dibelikan motor?” Tiba-tiba Mudjiono muncul dari balik pintu, ketika Bu Siti tengah menyiangi sayur.
“Untuk saat ini, Mas-mu jauh lebih butuh daripada kamu. Ibu belikan kamu nanti-nanti ya, Ibu nabung dulu.” Bu Siti menyahuti sambil terus menyiangi sayur.
“Ah, Ibu pilih kasih!”
Ibu mendengus kesal, tapi disimpannya rapat-rapat. Supaya dirinya tidak sampai naik pitam. Belakangan ini, ia merasa kesulitan mengajak anak keduanya itu berkomunikasi. “Terserah kamu. Ibu nggak punya uang kalau sekarang,” timpal Bu Siti.
Mudjiono pergi dapur. Tak lama kemudian, ia kembali ke depan sambil membawa kayu palang, yang digunakan untuk menutup pintu belakang. Saat kembali ke depan, Mudjiono masih melihat Ibunya sibuk dengan pekerjaannya. Ia pun memekik, “Kalau aku nggak dibelikan motor sekarang juga, mending mati ae kowe, Bu!”
Secepat kilat kayu palang yang dibawanya dipukulkan ke tengkuk Bu Siti. Membuat wanita tua itu terkapar merana. Dari beberapa bagian tubuhnya keluar cairan merah, sementara sekujur tubuhnya kejang-kejang. Kini, ia berada dalam kondisi hidup dan mati. Sekarat!
Lalu, dengan kaki kanannya, Mudjiono membalik tubuh Ibunya yang sudah lemas tanpa daya. Matanya melotot! Mudjiono membasuh peluh yang keluar di keningnya dengan punggung tangannya. Ia berjalan ke dapur lagi untuk membawa golok, pisau, dan bagor*.
Golok dipakai oleh Mudjiono untuk memutilasi tubuh Ibunya tanpa ampun. Sadis! Tapi, Mudjiono sudah silap. Ia tidak lagi menghiraukan kata hatinya. Crakkk, terdengar suara beradu—antara golok dengan batang tenggorokan. Yang pertama kali ditebas adalah leher. Beberapa kali bacokan. Putuslah leher Ibunya. Lagi-lagi Mudjiono mengelap peluhnya dengan punggung tangan. ‘Gila, memutilasi manusia ternyata bukan pekerjaan mudah!’ batinnya.
Hal kedua yang dilakukan adalah membelah tubuh menjadi dua. Dengan pisau dapur, maunya ia membelah tubuh ibunya mulai dari dada ke bawah. Saat pisaunya baru sampai di bagian perut, tiba-tiba tersembul seonggok daging menyerupai darah yang menggumpal, yaitu hati. Dikeluarkan hati itu dari tempatnya. Mudjiono tambah kalap, ia mencabik hati ibunya tanpa perikemanusiaan. Hati itu dimakan. Namun, belum selesai memakan seluruhnya, pikiran Mudjiono kembali koyak. Dikeluarkannya lagi semua organ dalam Ibunya dan dimasukkan ke dalam ember. Kepala dimasukkan ke dalam bagor.
Mendadak, tanpa menyelesaikan semuanya, ia memutuskan keluar membawa bagor berisi kepala itu. Di luar, Mudjiono menjadi linglung. Pria dengan naluri hewan itu memutuskan pulang begitu saja. Tanpa membereskan semuanya.
***
Raharjo terkejut melihat Ibunya telah menjadi bangkai. Suasana rumahnya yang tenang dan biasa, kini berubah mencekam. Darah berceceran ke mana-mana. Ia meraung menahan tangis, lalu keluar. Dengan tangan gemetaran, ia memanggil sebuah nomor darurat. Polisi.
Beberapa waktu kemudian, polisi memenuhi areal sekitar. Mereka melakukan olah tkp. Anjing pelacak dibawa guna mengungkap pembunuh sebenarnya. Petunjuk membawa mereka pada rumah yang terletak sekira dua puluh meter dari tkp. Tersangka ditetapkan. Dan mengerucut pada satu nama: Mudjiono.
Dengan ketangkasan yang terlatih, polisi bergegas menggerebek rumah tersangka. Dan menangkap Mudjiono. Dari olah tkp, ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung keakuratan dugaan.
“Kenapa kamu ini?!” tanya Rahardjo pada adiknya sebelum polisi menaikkannya ke mobil.
Cuh! Muka Rahardjo menerima liur Mudjiono.
“Setan alas kowe!” pekik Rahardjo marah. Kalau saja tidak di halang-halangi orang-orang sekitar, bisa pecah perang saudara di situ.
Rahardjo mengepalkan tangannya sepeninggal adiknya, mencoba menahan amarahnya yang meluap-luap. Sisanya, ia mencoba bersabar.
***
Sementara itu, di kantor polisi…
Mudjiono mencoba mengembalikan kesadarannya ke posisi semua. Bogem terakhir yang diterimanya dari salah satu petugas kepolisian membuatnya tak berkutik. Rasa sakit sudah hilang berganti mati rasa. Ia tidak merasakan sakit pukulan.
“Katakan, kenapa kamu membunuh Ibumu sendiri?” tanya polisi.
Mudjiono menyunggingkan senyum tengik. “Hati Ibu, rasanya sungguh enak!” tukasnya. Sekali lagi bogem mendarat di pipi kanan Mudjiono, membuatnya terjengkang. Antara sadar dan tidak, terbayang wajah Ibunya yang cantik, yang dulu memberikan seluruh cintanya untuknya.
“Ibu, maafkan aku…” Mudjiono menitikkan air mata. Setelah itu, semuanya gelap saja.[]
* Bagor = karung.
Baca kumpulan cerpen Indonesia lainnya.
Cerpen Horor: Hati Ibu Rasanya Enak!
Mudjiono mencoba mengembalikan kesadarannya ke posisi semua. Bogem terakhir yang diterimanya dari salah satu petugas kepolisian membuatnya tak berkutik. Rasa sakit sudah hilang berganti mati rasa. Ia tidak merasakan sakit pukulan.“Katakan, kenapa kamu membunuh Ibumu sendiri?” tanya polisi.
Mudjiono menyunggingkan senyum tengik. “Hati Ibu, rasanya sungguh enak!” tukasnya. Sekali lagi bogem mendarat di pipi kanan Mudjiono, membuatnya terjengkang. Antara sadar dan tidak, terbayang wajah Ibunya yang cantik, yang dulu memberikan seluruh cintanya untuknya.
***
“Bu! Kenapa cuma Mas Raharjo yang dibelikan motor?” Tiba-tiba Mudjiono muncul dari balik pintu, ketika Bu Siti tengah menyiangi sayur.
“Untuk saat ini, Mas-mu jauh lebih butuh daripada kamu. Ibu belikan kamu nanti-nanti ya, Ibu nabung dulu.” Bu Siti menyahuti sambil terus menyiangi sayur.
“Ah, Ibu pilih kasih!”
Ibu mendengus kesal, tapi disimpannya rapat-rapat. Supaya dirinya tidak sampai naik pitam. Belakangan ini, ia merasa kesulitan mengajak anak keduanya itu berkomunikasi. “Terserah kamu. Ibu nggak punya uang kalau sekarang,” timpal Bu Siti.
Mudjiono pergi dapur. Tak lama kemudian, ia kembali ke depan sambil membawa kayu palang, yang digunakan untuk menutup pintu belakang. Saat kembali ke depan, Mudjiono masih melihat Ibunya sibuk dengan pekerjaannya. Ia pun memekik, “Kalau aku nggak dibelikan motor sekarang juga, mending mati ae kowe, Bu!”
Secepat kilat kayu palang yang dibawanya dipukulkan ke tengkuk Bu Siti. Membuat wanita tua itu terkapar merana. Dari beberapa bagian tubuhnya keluar cairan merah, sementara sekujur tubuhnya kejang-kejang. Kini, ia berada dalam kondisi hidup dan mati. Sekarat!
Lalu, dengan kaki kanannya, Mudjiono membalik tubuh Ibunya yang sudah lemas tanpa daya. Matanya melotot! Mudjiono membasuh peluh yang keluar di keningnya dengan punggung tangannya. Ia berjalan ke dapur lagi untuk membawa golok, pisau, dan bagor*.
Golok dipakai oleh Mudjiono untuk memutilasi tubuh Ibunya tanpa ampun. Sadis! Tapi, Mudjiono sudah silap. Ia tidak lagi menghiraukan kata hatinya. Crakkk, terdengar suara beradu—antara golok dengan batang tenggorokan. Yang pertama kali ditebas adalah leher. Beberapa kali bacokan. Putuslah leher Ibunya. Lagi-lagi Mudjiono mengelap peluhnya dengan punggung tangan. ‘Gila, memutilasi manusia ternyata bukan pekerjaan mudah!’ batinnya.
Hal kedua yang dilakukan adalah membelah tubuh menjadi dua. Dengan pisau dapur, maunya ia membelah tubuh ibunya mulai dari dada ke bawah. Saat pisaunya baru sampai di bagian perut, tiba-tiba tersembul seonggok daging menyerupai darah yang menggumpal, yaitu hati. Dikeluarkan hati itu dari tempatnya. Mudjiono tambah kalap, ia mencabik hati ibunya tanpa perikemanusiaan. Hati itu dimakan. Namun, belum selesai memakan seluruhnya, pikiran Mudjiono kembali koyak. Dikeluarkannya lagi semua organ dalam Ibunya dan dimasukkan ke dalam ember. Kepala dimasukkan ke dalam bagor.
Mendadak, tanpa menyelesaikan semuanya, ia memutuskan keluar membawa bagor berisi kepala itu. Di luar, Mudjiono menjadi linglung. Pria dengan naluri hewan itu memutuskan pulang begitu saja. Tanpa membereskan semuanya.
***
Raharjo terkejut melihat Ibunya telah menjadi bangkai. Suasana rumahnya yang tenang dan biasa, kini berubah mencekam. Darah berceceran ke mana-mana. Ia meraung menahan tangis, lalu keluar. Dengan tangan gemetaran, ia memanggil sebuah nomor darurat. Polisi.
Beberapa waktu kemudian, polisi memenuhi areal sekitar. Mereka melakukan olah tkp. Anjing pelacak dibawa guna mengungkap pembunuh sebenarnya. Petunjuk membawa mereka pada rumah yang terletak sekira dua puluh meter dari tkp. Tersangka ditetapkan. Dan mengerucut pada satu nama: Mudjiono.
Dengan ketangkasan yang terlatih, polisi bergegas menggerebek rumah tersangka. Dan menangkap Mudjiono. Dari olah tkp, ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung keakuratan dugaan.
“Kenapa kamu ini?!” tanya Rahardjo pada adiknya sebelum polisi menaikkannya ke mobil.
Cuh! Muka Rahardjo menerima liur Mudjiono.
“Setan alas kowe!” pekik Rahardjo marah. Kalau saja tidak di halang-halangi orang-orang sekitar, bisa pecah perang saudara di situ.
Rahardjo mengepalkan tangannya sepeninggal adiknya, mencoba menahan amarahnya yang meluap-luap. Sisanya, ia mencoba bersabar.
***
Sementara itu, di kantor polisi…
Mudjiono mencoba mengembalikan kesadarannya ke posisi semua. Bogem terakhir yang diterimanya dari salah satu petugas kepolisian membuatnya tak berkutik. Rasa sakit sudah hilang berganti mati rasa. Ia tidak merasakan sakit pukulan.
“Katakan, kenapa kamu membunuh Ibumu sendiri?” tanya polisi.
Mudjiono menyunggingkan senyum tengik. “Hati Ibu, rasanya sungguh enak!” tukasnya. Sekali lagi bogem mendarat di pipi kanan Mudjiono, membuatnya terjengkang. Antara sadar dan tidak, terbayang wajah Ibunya yang cantik, yang dulu memberikan seluruh cintanya untuknya.
“Ibu, maafkan aku…” Mudjiono menitikkan air mata. Setelah itu, semuanya gelap saja.[]
* Bagor = karung.
Baca kumpulan cerpen Indonesia lainnya.
0 komentar