Ayah menatap Ibu bingung. “Ingat apa?”
“Ng, anu… semalam… semalam… Eh, kondisi ayah sudah baikan?”
“Segar bugar. Ayah gak pernah merasa sebaik ini!” Senyum Ayah mengembang.
“Oh, syukurlah! Kalau begitu Ibu buat sarapan dulu ya.”
Bergegas
Ibu menuju dapur. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi semalam. Tapi
hatinya kini berseri. Ia masih tak mengerti, sungguh tak habis pikir,
betapa perangai Ayah semalam telah membuatnya dan juga tabib desa
ketakutan setengah mati.
Lalu
bagaimana dengan mata itu—sepasang mata hitam itu yang mengerikan itu?
Ah, ia dan tabib desa pasti berhalusinasi saja semalam! Tetapi
mungkinkah dua orang bisa berhalusinasi di saat yang bersamaan
sekaligus? Atau mungkin… ya!—bisa jadi itu karena efek cahaya lampu
kuning 15 watt di kamarnya yang mulai meredup. Ibu tidak bisa menemukan
penjelasan yang lebih baik lagi. Tapi ia girang, seulas garis lengkung
di sudut bibirnya manakala ia menyiapkan sarapan menyiratkan segalanya;
harapannya semua akan kembali seperti semula dan hidup mereka berjalan
normal tertuang dalam rasa sup buatannya yang melimpah dan menggoda
selera.
Tapi
sebagaimana telepon yang ditujukan padaku semalam, yang memintaku untuk
segera pulang dan melihat kondisi penyakit aneh yang menimpa Ayahku,
Ibu mengatakan dengan penuh isak kalau ini hanyalah permulaan dari teror
sebenarnya yang menimpa keluarga kami.
Dan
saat ini aku tengah dalam perjalanan pulang menuju kampung halamanku. Di
dalam bus aku terus memikirkan kejadian di atas dengan sejuta cemas.
Hatiku bergumul kalut.
Melanjutkan
ceritaku di atas, kata Ibu, pagi itu Ayah sarapan dengan sangat lahap.
Terutama ia menyukai sup buatan Ibu, berulang kali ia menyendok sayuran
dan daun kol yang ada di dalamnya. “Kol ini enak sekali! Manis dan
gurih,” berulang kali Ayah memuji masakan Ibu. Tapi mendadak ia
terlonjak kaget manakala menemukan sebentuk kepala ayam berikut sayapnya
di balik potongan sayuran lainnya. Ayah bergidik ngeri melihatnya.
Tak
biasanya, pikir Ibu, padahal Ayah sangat menyukai kepala ayam. Itu
adalah salah satu lauk favoritnya. Ibu menyendok kepala ayam tersebut
dan melihat tidak ada yang aneh. Lalu disodorkannya kepala ayam itu pada
Ayah, tapi Ayah malah terlonjak jatuh dari kursinya saking terkejutnya.
Reaksi yang ditunjukkan Ayah saat itu bukanlah sekedar merasa geli,
atau jijik, melain jelas sekali ia tampak sangat ketakutan.
Dan
bukan hanya sekali itu saja. Setelah kejadian hari itu, Ayah juga akan
berlaku histeris dan bagai orang yang kehilangan kendali saat mendengar
suara kicau burung tetangga, atau mendengar suara kokok ayam jago di
pagi hari, atau melihat sekumpulan anak ayam bermain di pekarangan
rumah. Bahkan hanya sekedar melihat gambar burung dan sejenisnya di TV,
Ayah akan mengkerut ketakutan. Ini bukanlah fobia, karena sebelumnya
Ayah tak pernah berlaku seperti ini. Sebaliknya, ini lebih mirip seperti
Ayah bertemu sosok musuh alami yang akan menghabisi nyawanya.
Bersamaan
dengan itu nafsu makan Ayah pun mulai tak terkendali. Sepanjang hari ia
nyaris tak berhenti mengunyah dan ngemil. Akibatnya dalam sebulan ini
ukuran tubuhnya membengkak dua kali lipat dari sebelumnya. Ia suka
sekali makan sayuran dan daun-daunan dan mulai mengganti menu makanan
hariannya dengan kedua makanan tersebut. Entah apa penyebabnya,
sepertinya ia begitu saja memutuskan menjadi seorang vegetarian sejati.
Ia tak lagi bekerja menyadap karet sekarang. Bukan karena faktor ukuran
tubuhnya yang menghambat aktivitasnya. Tapi karena saat terakhir kali
bekerja di kebun Ayah malah membabat habis seluruh dedaunan tumbuhan
yang ada di tempat itu di hari pertama. Dan juga seluruh kol yang ada di
kebun tetangga pada keesokan harinya. Semuanya disantap habis ke dalam
perutnya. Saat ditanya oleh Ibu dengan penuh kesal apa yang telah
dilakukannya, Ayah hanya menyeringai dengan wajah tak berdosa dan
meneruskan menyantap sebongkah kol bulat yang ada di tangannya.
“Mereka kol-kol yang manis dan lezat!” kata Ayah, seperti orang bodoh, dengan pipi gembil penuh makanan di mulutnya.
Akibatnya
Ibu harus mengganti kerugian yang dialami tetangga tersebut dan
memintanya tutup mulut agar kabar tentang keanehan Ayah tak tersiar ke
seantero kampung. Bagaimanapun Ibu sangat menjunjung tinggi martabat
Ayah selaku kepala keluarga kami.
Sementara
itu Ayah tak juga menghentikan hobi anehnya menyantap dedaunan.
Seperti mesin pemakan Ayah tak berhenti melahap daun apa saja yang
disodorkan Ibu padanya. Ibu tak kuasa melarangnya. Pernah suatu kali Ibu
sengaja mengunci Ayah di dalam kamar semalaman tanpa memberinya
‘makanan favoritnya’ sama sekali. Lalu keesokan paginya, saat adzan
Subuh berkumandang, Pak RT yang hendak melangkah ke surau menemukan Ayah
sedang bertengger di atas dahan pohon mangga tetangga depan rumah kami.
Mulanya Pak RT mengira kalau Ayah adalah garong atau jin bertubuh
gempal yang kesiangan, tapi begitu disorotkannya cahaya senter ke muka
Ayah terkejutlah ia dengan apa yang disaksikannya. Coba tebak, seluruh
daun yang ada di pohon mangga itu telah gundul, menyisakan
ranting-ranting kurus yang kedinginan dihembus angin malam. Ayahlah yang
telah mengunyah semua dedaunan itu semalaman.
Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part VI]
Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part VI]
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata
0 komentar