“Ini!
Cepat kamu minum,” kata sang tabib kemudian, setelah berhasil
mengendalikan emosinya, menyodorkan gelas berisi air putih yang telah
dijampi-jampinya pada Ayah.
Ayah
bergerak menyambutnya. Pelan—pelaaaann… sekali menjulurkan lehernya
menuju gelas yang diletakkan sepuluh senti di lantai di depan wajahnya.
Setelah diraihnya segera diseruputnya air di dalam gelas tersebut dengan
bibirnya—Ibu meyakinkan diri ada yang aneh pada bibir suaminya saat
itu, bibirnya tampak lebih mungil dari sebelumnya dan berwarna kebiruan.
Setelah pipinya mengembung penuh menampung air di dalam mulutnya
barulah Ayah berhenti menyeruput minumnya. Lalu mendongak, dan
tiba-tiba, tanpa aba-aba, disemprotkannya seluruh air di dalam mulutnya
itu tepat ke wajah sang tabib.
“Cukup!”
sang tabib mengusap wajahnya yang basah dengan geram. Seiring telapak
tangannya yang perlahan turun dari rabaan di wajahnya, roman wajah itu
kini berubah merah. “Hentikan leluconmu, Yon! Kurang ajar sekali kamu
mempermainkan orang tua di tengah malam buta seperti ini… Saya tak yakin
kamu kerasukan! Saya tak melihat tanda-tanda seperti itu pada dirimu.
Berhentilah menakut-nakuti orang-orang di sekelilingmu!” Ia meradang
garang.
Tapi
Ayah, seperti orang yang bukan dirinya saat itu, lantas menjulurkan
lehernya tinggi-tinggi, menatap balik wajah sang tabib tua yang berdiri
tegak di hadapannya itu. Ibu baru menyadari ternyata wajah Ayah tampak
pucat sekali. Lalu sungging senyum di bibirnya—lihatlah, tiba-tiba saja
ia menyeringai di saat yang tak tepat, sama sekali seperti bukan
kelakuan Ayah!—seolah mengejek dan mengatakan “Oh ya?”. Lalu
matanya—mata itu sungguh menakutkan! Seolah merefleksikan tatapan iblis
dari kegelapan yang paling dalam. Di bawah sinar lampu pijar, kedua bola
matanya, bagian pupil dan lingkaran putih di sekelilingnya, telah
berubah menjadi hitam pekat seluruhnya. Membulat, tapi tak melotot.
Sementara wajahnya yang seputih kapas seperti sedang berusaha
menampilkan kesan lucu dan imut, seperti mimik bayi yang sedang
tersenyum di peraduannya pada orang yang mengajaknya bermain, tapi hal
itu malah menimbulkan ketakutan bagi yang memandangnya.
Ibu nyaris pingsan, terperanjat ngeri dan bersandar lemas pada kusen pintu menyaksikan hal itu.
“Hiiiiiyy…!
Lak-laknat! Jahanam!” umpat sang tabib ngeri. Ia melompat mundur ke
ambang pintu. Gemetar tangannya menunjuk ke muka Ayah.
“Se-setaaaaaaaaannn…!!”
Lalu
terbirit ketakutan. Histeris. Secepat kilat tunggang langgang
membanting pintu, menerobos pekat malam, dan menghilang di ujung jalan.
Sepanjang
malam setelahnya Ibu tak bisa terlelap. Ia beringsut di kursi ruang
tamu dengan perasaan panik luar biasa membayangkan apa yang bakal
terjadi selanjutnya. Kunci kamar Ayah ia bekap rapat-rapat dalam
genggamannya yang sedingin es. Sepeninggal sang tabib tadi ia segera
mengunci Ayah di dalam kamar.
Lama
Ibu bernegosiasi dengan rasa dag-dig-dug yang bersorak di dada. Setan
apa yang kini menguasai suaminya… Ibu dirundung takut memikirkannya.
Kalau saja tak memikirkan adik perempuanku yang baru berusia tujuh tahun
di kamar sebelah, pasti ia telah mengungsi dan menumpang tidur di rumah
tetangga. Tapi ia tak mau membangunkan Manda, ia tak ingin anak
bungsunya itu melihat keadaan Ayahnya dan menjadi ketakutan seumur hidup
terhadapnya.
***
Aroma
kopi hangat di atas meja membangunkan Ibu yang terbaring di kursi ruang
tamu. Kepalanya terasa berat. Ia hanya tertidur selama tiga jam
semalam. Samar-samar ia mengucek matanya, dan mendengar sebuah siulan
khas yang biasa didendangkan suaminya di pagi hari. Benar, suaminya itu
kini tengah menyisir rambut di depan cermin di dekat TV. Ruang tamu dan
ruang keluarga rumah itu menyatu, berhadapan dengan dua kamar yang
saling berhimpitan satu sama lain.
“Kamu
sudah bangun, Bu?” tanya Ayah tanpa menoleh ke belakang. Sekarang Ibu
tahu Ayah sendirilah yang membuat kopi itu. Kebiasaan Ayah memang suka
ngopi di pagi hari. “Cepat buatkan aku sarapan! Aku kelaparan,”
pintanya.
Ibu
tercenung. Setengah sadar, di antara kantuknya, ia masih dihinggapi
perasaan ngeri mengingat kejadian semalam. Ia menanti dengan penuh minat
Ayah berbalik dan hendak melihat matanya.
Mata hitam itu… mata yang mengerikan! batin Ibu. Apa semalam itu benar-benar Ayah…?
“Bu?” Ayah telah selesai menyisir. Ia telah mandi dan berpakaian rapi. Ia berbalik sekarang, dan…
“Ibu
kenapa bengong sih?” Ayah menatap Ibu. Ibu menelan ludah dan perlahan
wajahnya berubah cerah. Kedua mata Ayah ternyata telah kembali seperti
semula. Mata yang hangat dan senantiasa menatapnya penuh cinta, seperti
ketika pertama kali mereka berjumpa dulu. Dari mata itu Ibu tahu akan
kesungguhan cinta Ayah saat menghadap orangtuanya. Dari mata itu pula
Ibu tahu kalau Ayah-lah orang yang akan menjadi suaminya, tempatnya
bersandar membesarkan anak-anaknya.
Ayah mengerlingkan sebelah matanya, tersenyum lembut. Menggoda Ibu. Seketika membuat muka Ibu bersemu merah.
“Eh, iya—” Ibu gelagapan. “Oh ya, tapi bagaimana Ayah bisa keluar kamar?” tanyanya.
“Oh, itu…
Ayah memanjat keluar dari jendela dan masuk lewat jendela dapur. Ibu ini
bagaimana sih, masa’ suami sendiri dikunci di dalam kamar?”
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata | Pic
0 komentar