Sepeninggal Ibu tiba-tiba tubuh Ayah terasa bagai tak bertulang dan seketika jatuh pingsan. Seluruh tubuhnya panas dan mengeluarkan keringat dingin. Adik perempuanku yang paling kecil, yang tengah bermain boneka di ruang tengah, yang mendengar suara tubuh Ayah terjatuh ke lantai menjerit.
***
Tengah malam Ayah menggigil hebat. Di sudut kamar, ia menolak berbaring di ranjang dan tengkurap dalam posisi nungging dengan kedua siku terjulur rapat satu sama lain di lantai semen. Seluruh tubuhnya dibungkusnya dengan selimut tebal, kain, handuk, pakaian-pakaian dari tumpukan yang baru selesai dilipat Ibu dan belum sempat dipindahkannya ke lemari karena hari ini terasa sangat melelahkan baginya, serta apa saja yang bisa diraihnya, seolah Ayah sedang membuat sarang untuk menghangatkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu mulutnya mulai berkomat-kamit sesuatu yang tak dimengerti, berbaur dengan bunyi gemeletuk gigi-geriginya. Bulir-bulir keringat dingin sebesar butiran jagung membasahi wajahnya. Dan saat diraba dahinya oleh Ibu, suhunya cukup panas untuk menceplok telur mata sapi hingga matang. Ibu merasa sangat takut dan khawatir.
Malam itu juga, jam duabelas lewat, berbekal senter di tangan, di antara bunyi jangkrik dan sesekali ditingkahi suara kukuk burung hantu, Ibu berlari menuju rumah tabib desa yang terletak di ujung lain desa. Dibebatnya rasa cemas dan dipangkasnya rasa takut akan bertemu setan atau kuntilanak di tengah jalan. Ia berlari dan terus berlari, melewati jalan sempit, menerobos kebun cabai milik Pak RT sebagai jalan pintas terdekat di antara hening dan pekat malam. Semua itu ia lakukan demi menyelamatkan suami yang dikasihinya.
Sepuluh menit kemudian, yang terasa bagai sejam perjalanan di tengah gelap gulita, sampailah ia di rumah panggung sederhana milik tabib desa. Pintu digedor. Kasar bunyinya. Berkali-kali, berbalut kalut. Si empu rumah akhirnya menjawab di antara kantuk dan membuka pintu dengan mimik tak senang. Tapi Ibu tak peduli, disuguhkannya segera cerita singkat perihal sakit Ayah dengan wajah memelas dan tatapan penuh harap pada sang tabib tua yang telah beruban itu. Tak tega membiarkan wanita yang berlari setengah kampung di tengah malam demi mengharap pertolongannya, kemudian bersegeralah sang tabib berganti pakaian. Bergegas mereka kembali menuju rumah kami, menjumpai si sakit, Ayahku.
Saat dijumpai Ibu bersama tabib desa di sampingnya, Ayah masih berada dalam posisinya semula. Masih tetap nungging dan bergumul apa-apa-saja-yang-menyelimuti-tubuhnya. Mulutnya komat-kamit dan wajahnya tertunduk menekuri lantai. Sang tabib kaget melihat keadaan Ayah. Ia berjalan mendekat dan mulai mengurut lembut punggung Ayah dari balik selimut tebalnya.
“Kamu kenapa, Yon?” tanya sang tabib lembut. Ia kenal baik Ayahku. Di matanya, Ayah masih sama seperti bocah ingusan yang gemar mencuri rambutan dari pekarangan rumahnya puluhan tahun silam.
“Apa yang kamu keluhkan tentang sakitmu? Katakan.”
Tapi Ayah tak lekas menjawab. Ia hanya bergumam dan mendesiskan sesuatu yang tak dimengerti, seolah itu bukanlah dalam bahasa manusia.
Sang tabib dan Ibu saling menukar pandang. “Ini sungguh aneh! Penyakit yang mendera suamimu ini, sungguh saya tak tahu… Belum pernah ada orang yang disengat ulat bulu sampai seperti ini sebelumnya,” kata sang tabib. Ia menjelaskan, selama puluhan tahun berkiprah sebagai tabib desa, belum pernah ia menjumpai kasus penyakit pasien yang seperti ini. Hal ini semakin mengkalang-kabutkan badai cemas di hati Ibu sedemikian rupa.
“Cepat ambilkan segelas air putih!” katanya lagi. Dengan sigap Ibu menuruti perintah orang tua itu.
Tak lama Ibu segera kembali dan sebelum gelas yang dipegangnya bertukar tangan dengan sang tabib, orang tua itu membetulkan letak peci hitamnya yang di beberapa bagian tampak kusam. Kemudian, sembari memegang gelas di tangan kanannya, ia menengadah dan merapal doa pada Sang Maha Pencipta. Setelah itu dibasahinya sebelah tangannya dengan sedikit air putih, dipercikkannya di ubun-ubun Ayah, lalu sebagian sisanya hendak diusapkannya ke kepala Ayah. Tapi belum ada seujung kuku ia menyentuh rambut Ayah, cepat-cepat ia menarik kembali tangannya dan memekik nyaring.
“Setan alas!” maki sang tabib. “Demi Tuhan, apa yang kamu taruh di rambutmu itu, Yon? Aaaarrrghh…!” Ia meraung. Seluruh telapak tangannya kini dipenuhi ruam merah dan bentol-bentol gatal. Kesal, ingin sekali orang tua itu menempeleng kepala Ayah, tapi ia segera sadar dan mengurungkan niatnya itu mengingat apa yang barusan terjadi pada telapak tangannya.
Ia mengepalkan telapak tangannya dengan muka masam, selain dimaksudkan untuk meredam rasa gatal, juga bertujuan untuk menahan geram.
Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part IV]
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata | Pic
0 komentar