Wednesday, November 21, 2012

Cerpen Horor: Janji

“Kakak... suatu saat nanti, kalau aku terlahir kembali, kakak harus mengajariku silat, ya. Janji?”

“Ya, aku janji. Saat itu kau akan jadi muridku.”

Entah kenapa tiba-tiba aku teringat kembali perkataan itu. Janji aneh yang kuucapkan pada hantu gadis kecil dua belas tahun yang lalu. Saat aku masih seorang bocah remaja.

***

Empat ratus sembilan puluh tujuh, Empat ratus sembilan puluh delapan...

Sedikit lagi target lima ratus tebasan tercapai. Otot-otot lenganku sudah berdenyut-denyut memprotes. Aku tak peduli.

“Zhao ‘Er, makan dulu! Sudah sore dan kau telah berlatih seharian, masa tak merasa lapar?” terdengar suara guru memanggilku.

“Baik guru! Sebentar lagi! Empat ratus sembilan puluh sembilan! Lima ratus!” teriakku puas.

“Hihihi...”

Terdengar suara tawa gadis kecil di belakangku. Aku merengut. Di rumah ini tak ada gadis kecil. Tak mungkin anak-anak desa di kaki gunung bisa nyasar ke rumah di tengah gunung begini! Akupun melihat ke belakang untuk mencari sumbernya. Tak ada siapapun. Apa aku mulai berhalusinasi gara-gara kelelahan? Pasti begitu. Ah, lebih baik aku pulang, makan, dan...

“Di sini... aku di sini... di bawah pohon Meihua...”

Suara itu lagi. Dan kali ini dia bilang di bawah pohon meihua. Entah kenapa aku merasakan hawa dingin merayap ke tengkukku. Ragu-ragu aku menoleh ke arah pohon meihua berukuran besar yang tumbuh di halaman. Dan kulihat dirinya, berdiri di bawah bayang-bayang pohon yang kelopak bunganya mulai berguguran tertiup angin awal musim semi.

Seorang gadis kecil berusia sekitar lima atau enam tahun. Pakaiannya sederhana dan agak lusuh. Yang aneh, tubuhnya tampak berpendar. Mungkin ini hanya bayanganku. Kakiku berjalan sendiri, mendekatinya.

Saat aku berdiri di hadapannya, gadis kecil itu mendongak dan menampakkan gigi-gigi kecilnya yang berlubang di beberapa tempat. Tingginya tak lebih dari pinggangku. Wajahnya cukup manis dengan mata besar, meski tampak agak pucat.

Aku berjongkok hingga kepalaku sejajar dengannya. “Adik kecil, kenapa berada di sini? Apa kau tersesat? Di mana rumahmu? Orang tuamu?” tanyaku ramah.



Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mulai terisak. Bulir-bulir air mata yang berkilau menetes dari kedua matanya. Refleks kuulurkan tanganku karena panik, berusaha menenangkannya. Dan yang terjadi selanjutnya membuat jantungku berhenti. Tanganku menembusnya. Meski sosoknya tampak jelas di depan mata, aku tak bisa menyentuhnya. Barulah saat itu kusadari, aku bisa melihat guratan-guratan kulit pohon Meihua melalui tubuhnya.

Aku berhalusinasi, itu pemikiran pertamaku. Tapi kenapa imajinasiku malah menunjukkan sosok gadis kecil? Lalu penjelasan kedua pun muncul. Dia bukan manusia. Dia hantu.

***

“Zhao 'Er... Zhao 'Er? Sadarlah...”

Kudengar suara guru memanggilku. Saat kubuka mata, yang pertama kali kulihat adalah raut wajahnya yang lega. Sudut bibirnya tertarik, menambah garis senyum di wajahnya yang ramah.

“Kau pasti kelelahan. Kan sudah guru bilang, kau itu terlalu memaksakan diri! Benar-benar membuat orang khawatir. Nah, sudah bisa bangun?”

Aku duduk, kesadaranku berangsur-angsur pulih. Aku sudah berada di kamarku sendiri. Kurasakan wajahku memanas saat menyadari kalau aku pastilah jatuh pingsan tadi dan guru telah menggendongku masuk. “Gu... guru... ada apa dengan saya?”

Guru memasang wajah keheranan. “Lho? Harusnya aku yang bertanya begitu. Tadi kau sedang berjongkok di dekat pohon meihua dan tiba-tiba jatuh pingsan. Apa yang kau lakukan di sana?”

“Sa... saya...” aku tergagap. Tiba-tiba ingatan itu menerpaku. “Ha... hantu! Guru, po... pohon itu ada penunggunya! Hantu gadis kecil!”

“Hantu?” tanya guru makin heran. Keningnya berkerut dan tiba-tiba dia tertawa, “Aduuh, ya ampun Zhao 'Er, kalau mau cari alasan yang lebih masuk akal! Berapa umurmu? Jangan seperti anak kecil!”

Wajahku semakin panas. “Ta... tapi itu benar! Ada ga... gadis kecil memanggilku dari bawah pohon itu dan saat kusentuh tanganku menembusnya!” Dan tepat setelah kuucapkan kata terakhir, kulihat dia berdiri di sudut ruangan, mengawasiku.

“Aaaaaahhhh! Di... di sana! Dia ada di sana!” teriakku histeris sambil menuding ke arahnya.

Spontan guru menolehkan kepalanya ke arah yang kutunjuk. Tak lama kemudian beliau menoleh kembali. “Tak ada apapun selain dinding dan sarang laba-laba. Zhao 'Er, ini sama sekali tak lucu. Guru tak pernah mengajarimu untuk berbohong,” ujarnya tegas.

“Sungguh! Dia ada di situ, mengawasi kita! Aaaah! Dia mendekat!” jeritku panik.

Guru mengernyit dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahiku. Tanpa berkata-kata dia berdiri dan berjalan ke arah meja, memasukkan sesuatu ke dalam cangkir berisi air, mengaduknya, mengambil semangkuk bubur dengan tangan satunya, dan menghampiriku dengan membawa keduanya. “Makanlah kemudian minum ini. Kau agak demam, mungkin itu yang menyebabkan kau berhalusinasi,” ujarnya.

Aku tak bisa menolaknya, jadi terpaksa kuhabiskan bubur dan cairan pahit itu. Tak lama kemudian, rasa kantuk menelanku.

***

“Kakak... kakak...”

Suara itu lagi. Kenapa dia menggangguku? Aku tak merasa pernah mengenalnya, jadi kenapa? Kutarik selimut tinggi-tinggi hingga menutupi kepalaku untuk meredam gangguan itu.

“Kakak... tolong...”

Sial, suaranya tak hilang juga. Berisik! Aku sudah muak. Tadi saja guru menganggapku berhalusinasi. Bila dibiarkan, aku bisa sinting! Aaah!

Kusingkapkan selimut dan duduk, mengedarkan pandangan untuk mencari sosoknya. Jantungku berdebar kencang. “Ke... keluarlah! Siapa kau? Aku tak mengenalmu, jadi kenapa kau menggangguku? Apa maumu?” bisikku nekat, berusaha merendahkan suara agar guru tak terbangun dan menganggapku benar-benar gila.

Dan kulihat gadis kecil itu berjalan mendekat, muncul entah dari mana. Tubuhnya berpendar di bawah cahaya bulan yang menerobos dari sela-sela jendela, tampak lebih jelas dari sebelumnya. “Maaf... maaf... tapi di sini hanya kakak yang bisa melihatku...” ujarnya, mulai terisak lagi.

Melihatnya, rasa takut dan kemarahanku menguap entah ke mana. Sepertinya dia tak tampak berbahaya. Saat melihatnya menangis, hatiku malah dihinggapi perasaan bersalah. Meski hantu, dia tetaplah seorang gadis kecil. Anak-anak. Memikirkan bagaimana anak sekecil ini bisa menjadi arwah gentayangan, sebuah perasaan aneh menyergapku. Apa namanya ini? Kasihan? Simpati? Entahlah.

“Su... sudahlah, jangan menangis lagi. Sebenarnya apa maumu? Apa yang kau ingin aku lakukan?”

Hantu itu menghentikan tangisannya dan mengusap air matanya yang berkilau seperti bulir-bulir mutiara. “Tolong... temukan aku... kuburkan tubuhku...” ujarnya sayup-sayup.

Susah payah aku menelan ludah. “Kuburkan? Maksudmu, jangan-jangan kau gentayangan karena...”

“Saat aku bersama ayah, ibu, dan yang lainnya sedang mendaki gunung, aku terpeleset dan jatuh. Aku tak sempat pegangan pada ayah. Kudengar ayah dan ibu berteriak, lalu sakit, dingin, dan gelap... lalu... aku bisa terbang, tapi ayah dan ibu tak mendengarku padahal aku sudah berteriak-teriak. Aku juga tak bisa menyentuh mereka...”

“Lalu, kenapa ayah dan ibumu tak berusaha mengambil... uh, tubuhmu?”

Gadis kecil itu menggeleng. “Tak boleh. Kata paman pemimpin rombongan, jurangnya dalam dan berbahaya. Lagipula sudah malam. Dia juga bilang tentang rombongan diburu waktu... jadi ayah dan ibu terpaksa meninggalkanku sendiri. Di bawah sana sepi dan dingin...” Setelah mengatakan itu, dia sesengukan lagi.

Benakku berputar. Memang, beberapa hari terakhir kulihat rombongan orang-orang yang melewati wilayah gunung ini. Kata guru, mereka adalah para pengungsi dari utara. Mereka terpaksa mengungsi ke selatan untuk menghindari wabah. Mungkin gadis kecil ini dan orangtuanya adalah anggota rombongan itu. Kupandangi dia dengan seksama. Harus mati dengan cara seperti itu dan menjadi arwah gentayangan karena mayatnya tak terurus... anak yang malang.

“Baiklah, aku akan membantumu,” ujarku membuat keputusan. “Bisa tunjukkan di mana kau jatuh?” Saat itu juga aku melompat turun dari ranjang dan menyelinap ke luar kamar, mengendap-endap agar tak mengeluarkan suara. Dalam waktu singkat aku sudah berada di halaman. Kali ini aku harus bersyukur karena mempelajari ilmu meringankan tubuh terlebih dahulu sebelum mempelajari yang lainnya. Gadis kecil itu mengikuti di belakangku.

Tiba-tiba kudengar gadis kecil itu menjerit panik. Saat kulihat ke arahnya, dia sedang menengadah dan menunjuk ke langit, kemudian bersembunyi di belakangku. Refleks aku ikut menengadah. Langit yang sebelumnya hitam mulai berubah warna. Berkas-berkas cahaya mentari mulai tampak di ufuk timur. Suara ayam hutan mulai terdengar bersahutan.

Pantas saja dia panik. Aku memang pernah mendengar kalau hantu – yang berunsur Yin – takut dengan cahaya matahari yang berunsur Yang. Bila terkena cahaya matahari, hantu akan menjadi abu. Pantas saja sebelum ini dia bersembunyi dalam bayangan pohon meihua. Jadi bagaimana dia bisa memanduku kalau...

“Kakak, boleh aku merasukimu?” tanyanya tiba-tiba, seperti sudah bisa membaca keraguanku.

“Apa? Merasukiku? Memang pernah kudengar tentang orang yang dirasuki, tapi...”

Belum sempat aku menyelesaikan ucapan itu, kurasakan hawa dingin menjalar dari ulu hati dan menyusup hingga ke tulang. Kemudian kudengar suaranya di dalam benakku, “Berhasil! Padahal aku hanya iseng mencobanya! Ternyata berhasil! Dengan begini aku punya tubuh lagi!” Bersamaan dengan terdengarnya ucapan itu, tanganku bergerak sendiri!

“Hei! Jangan seenaknya memasuki badan orang lain! Keluar!” teriakku panik.

“Kakak, jangan marah dulu. Ini terpaksa, kalau tidak aku akan terbakar. Kumohon, ijinkan aku meminjam tubuh kakak. Setelah aku dikuburkan, aku akan segera pergi dan takkan mengganggu kakak lagi. Ya? Kakak kan sudah janji mau membantuku,” pintanya.

Ah, sial! Ini gara-gara aku menjanjikan hal yang bahkan tak kumengerti sepenuhnya. Dan sekarang aku dimanfaatkan oleh gadis kecil ini. Hhhh...

“Ya sudah,” bisikku. “Kau boleh pakai tubuhku ini. Tapi setelah ini kau harus segera pergi ke tempatmu seharusnya berada.”

“Iya! Terima kasih, kakak!” balasnya dalam kepalaku.

Terpaksa kulepaskan semua kendali tubuhku dan kubiarkan dia menggerakkannya. Mulanya agak canggung, tapi setelah beberapa saat membiasakan diri, tubuhkupun berlari – aku tak tahu bagaimana menggambarkannya – tanpa bisa kukendalikan. Aku masih bisa melihat, mendengar, dan merasakan semuanya. Angin menderu di telingaku. Pepohonan melesat cepat di sekelilingku.

Tampaknya gadis kecil itu menyadari kemampuan tubuhku karena dia memekik-mekik kegirangan dalam kepalaku. “Hebat sekali! Cepatnya! Tingginya! Aku terbang! Seperti kucing! Kakak hebat sekali! Seandainya saja aku punya tubuh seperti ini...” dan sambil meneriakkan itu, dia terus melesatkan tubuhku menembus pepohonan dan melewati jalan gunung yang berliku.

Kurasakan wajahku memanas, entah ini karena diriku yang merasa jengah karena pujian itu atau pengaruh semangatnya. “Uh, ini namanya ilmu meringankan tubuh, salah satu dari sekian banyak ilmu silat. Guru yang mengajariku. Kau juga bis...” ucapanku terhenti. Aku lupa kalau dia sudah tak punya tubuh sendiri untuk belajar. Karena itu buru-buru kutambahkan, “Na... suatu saat nanti, waktu kau terlahir kembali, kau juga bisa mempelajarinya, kok.”

“Benarkah? Kalau begitu, maukah kakak mengajariku?”

“Eh?”

“Suatu saat nanti, kalau aku terlahir kembali, kakak harus mengajariku silat, ya. Janji?”

Duh. Kenapa aku lagi? Sudahlah, apa susahnya menyenangkan seorang anak kecil? Lagipula dia kan sudah...

“Baiklah, aku janji. Saat kau sudah terlahir kembali dan kita bertemu lagi, kau akan jadi muridku.”

“Terima kasih... kakak adalah orang yang paling baik setelah ayah dan ibu.”

Entah kenapa, mendengar ucapan ini, dadaku terasa hangat.

Tanpa kusadari –  mungkin karena sibuk mendengar ocehan hantu di dalam tubuhku – aku sudah tiba di tempat tujuan. Matahari juga sudah terbit sepenuhnya. Aku berdiri di tepi jurang. Melongok ke bawah, yang bisa kulihat hanya kerimbunan pohon dan semak.

“Di bawah situ. Aku ada di sana.”

Kuamati tempat itu dengan lebih teliti. Memang, kalau diperhatikan dengan seksama, beberapa ranting pohon di bawah tampak baru saja patah dan ada sisa rumput yang tercabut dari tanah. Ini bukti kalau ada seseorang yang berusaha mencari pegangan saat terperosok kebawah. Di tanah juga tampak sobekan-sobekan pakaian dan bercak darah kering yang menghitam.

Setelah memastikan tempat jatuhnya, aku harus mencari cara untuk turun ke bawah dan mengangkut tubuhnya. Ini bagian yang paling sulit.

“Woi! Ngapain bengong di situ! Mau bunuh diri ya?”

Jantungku hampir melompat keluar lewat mulut saat mendengar bentakan itu. Untung aku tak ikut terpeleset dan jatuh ke jurang. Aku menoleh dan melihat seorang bocah laki-laki berusia sekitar sembilan tahun sedang berdiri mengawasiku sambil berkacak pinggang. Seringai angkuh menghias wajahnya yang dekil.

‘Anak nakal dari mana lagi ini?’ batinku jengkel. Sabar... aku lebih besar, jadi tak pantas berkelahi dengan anak kecil. Lagipula, aku tak boleh berlama-lama di sini, bisa-bisa guru khawatir. “Bukan bunuh diri, tapi menolong orang!” sahutku, melambaikan tangan ke arahnya. “Sini, kau bantu juga!”

“Bantu? Memangnya ada yang jatuh ke jurang?” Saat melihatku mengangguk, dia kembali menyahut, “Buat apa? Lagipula kalau jatuh dari tempat seperti itu paling juga mati. Biarkan saja!”

“Kau jahat! Kalau kau yang jatuh ke bawah bagaimana?” kali ini gadis kecil itu menggunakan mulutku untuk membalasnya.

“Aku tak sepayah itu sampai bisa jatuh! Eeh, kok bicaramu jadi seperti anak perempuan?” tanya bocah itu dengan nada mengejek.

Gadis kecil itu hendak menyahutinya lagi, tapi aku buru-buru mengambil alih kendali tubuhku sendiri. Ini adalah tubuhku dan dia hanya anak-anak. “Terserah kalau kau tak mau membantu, aku juga tak memaksa. Yang penting jangan menggangguku. Aku sedang buru-buru.”

Aku segera mengumpulkan akar dan sulur tanaman di sekitar situ, menjalinnya hingga membentuk tali. Bocah dekil itu terus berusaha menggodaku, tapi aku tak mempedulikannya. Lama-lama dia lelah sendiri dan akhirnya diam saja memandangiku bekerja. Tak lama kemudian, dua utas tali yang cukup panjang dan – semoga – kuat berhasil kubuat. Yang satu kugulung di pinggang. Kuikat ujung tali satunya lagi ke dahan pohon terdekat untuk kupakai turun ke jurang.

Untunglah tempatnya jatuh tak begitu tinggi. Di bawah, si hantu mengarahkanku ke tempat tubuhnya tergeletak. Aku tak menduga kalau kondisinya ternyata semengenaskan itu. Pakaiannya koyak di berbagai tempat, berlumur darah kering yang menghitam. Kepalanya terpuntir ke arah yang salah. Di beberapa bagian yang tak tertutup pakaian, tampak tulang mencuat dari sela-sela kulit yang membiru. Beberapa ekor gagak hinggap di atasnya, menikmati santapan mereka.

Kuambil sepotong ranting dari tanah dan kuayunkan ke arah gagak-gagak itu, mengusir mereka. Setelah semua binatang itu pergi, aku berlutut di dekat tubuh itu. Seharusnya aku mual dan jijik, tapi entah kenapa yang kurasakan hanya mataku yang panas. Mungkin ini karena pengaruh arwah dalam tubuhku yang sedang menangisi jasadnya sendiri. Tanganku bergerak – tak tahu apakah ini atas kendaliku sendiri atau kendali gadis kecil itu – dan memeluk tubuh itu tanpa mempedulikan baunya yang menyengat. Bibirku melantunkan paritta pengantar arwah.

Kulepas pakaianku sendiri untuk membungkusnya – berharap tak ada tulang atau bagian tubuh lainnya yang tercecer – dan mengikatkannya erat-erat ke punggungku. Setelah itu aku memanjat naik kembali. Selama aku melakukan hal ini, gadis kecil di dalam kepalaku tak bersuara.

Setibanya di atas, bocah dekil itu masih belum beranjak dan terus saja memperhatikanku dengan mata membelalak lebar. Tanpa mempedulikannya, aku melepas bungkusan di punggungku dan meletakkannya di tanah. “Hei, uh... dik?” panggilku pada arwah gadis kecil itu. “Tubuhmu sudah ditemukan, jadi kau mau dikuburkan di mana?”

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya gadis kecil itu berbicara dalam kepalaku, “Te... terserah kakak. Yang penting aku tak lagi menjadi makanan hewan buas...”

Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan akhirnya kutemukan tempat yang cukup bagus di bawah sebuah pohon meihua berukuran amat besar. Bunganya masih mekar dengan indah dan belum satupun yang gugur. Bila dikubur di sini, tiap tahun pohon ini akan menaburkan bunga ke atas makamnya dan dia takkan lagi merasa kesepian. Maka aku segera mencari batu pipih untuk kugunakan menggali tanah.

Tak kuduga, pekerjaan ini benar-benar melelahkan. Entah sudah berapa lama aku menggali, tapi kemajuannya lambat sekali. Sinar matahari mulai membakar tengkukku. Dalam hati aku memaki diri sendiri. Aku menawarkan bantuan, tapi persiapanku payah. Padahal aku tahu akan mengangkut dan menguburkan mayat, jadi seharusnya aku membawa tali, cangkul, dan peralatan lainnya dari rumah. Dasar ceroboh! Haah, tak ada gunanya mengomel sendiri. Masih banyak yang harus kukerjakan!

Tiba-tiba kudengar bocah laki-laki itu berteriak, “Hei! Kembalikan!” dan dari sudut mataku kulihat dia berlari menerobos belukar. Kudengar bunyi-bunyi seperti perkelahian ditingkahi keresak dedaunan dan jeritan binatang.

Tak lama kemudian bocah itu keluar, kali ini tak hanya kotor, tapi juga tergores di tangan dan wajahnya. Dari lukanya yang bergaris-garis seperti bekas cakaran, tampaknya dia habis berkelahi dengan binatang sejenis rubah atau rakun. Merasa kupandangi, dia mengulurkan tangan dan memperlihatkan benda di telapak tangannya. Seonggok daging berukuran satu kepalan tangan berwarna merah kehitaman. Sepertinya itu jantung.

“I... ini miliknya,” ujar bocah itu sambil menunjuk ke arah bungkusan berisi tubuh gadis kecil itu. “Tadi ada rubah mengacak-acak bungkusan itu dan mengambilnya. A... aku merebutnya kembali.” Setelah mengatakan itu, dia memasukkan benda dalam genggaman tangannya ke dalam bungkusan dan merapikannya.

Sudut bibirku terangkat. “Terima kasih.”

Bocah itu segera memalingkan wajah, tapi kulihat telinganya memerah.

Aku kembali meneruskan pekerjaanku yang terhenti. Tak lama kemudian kulihat sepasang tangan ikut mengais tanah di sebelahku. Tanpa berbicara bocah itu ikut membantuku menggali. Aku tersenyum ke arahnya.

“Apa?! Jangan senyum-senyum seperti orang bodoh begitu!” semburnya. “Aku tak tahan melihat orang sebesarmu kerjanya lamban sekali! Kakak keduaku bisa melakukannya dalam sekejap. Kalau aku tak membantu, sampai besok juga tak selesai! Bisa habis mayatnya dimakan rubah.”

Aku tak bisa menahan tawa. “Ternyata kau baik juga!”

“Cerewet! Jadi kau kira aku orang jahat?” balasnya. “Sudahlah, jangan buang-buang waktu!”

Tawaku semakin keras melihat tingkahnya. Bocah ini menarik juga!

Dengan bantuannya, akhirnya sebuah lubang yang cukup dalam berhasil digali. Bocah itu mengambil bungkusan berisi jenasah gadis kecil itu dan dengan hati-hati meletakkannya di dasar lubang. Berdua, kami menaburkan tanah ke atas bungkusan itu dan dalam waktu singkat kuburan itupun selesai.

Kuambil sepotong kayu yang cukup besar dan membelahnya jadi dua dengan bantuan sebongkah batu tajam. Ketika hendak mengukir kayu itu barulah aku teringat kalau aku belum tahu nama gadis kecil itu. “Hei, namamu siapa? Biar bisa kutuliskan di sini.”

“Yue... Yue Er...” bisik gadis kecil dalam kepalaku.

“Yue Er? Nama yang bagus,” bisikku kembali. Aku tak mau bocah laki-laki itu mengiraku orang aneh karena berbicara sendiri. Segera kuukir tulisan: ‘Di sini terbaring Yue Er, adik tersayang...” dan setelah selesai kutancapkan nisan dadakan itu di depan timbunan tanah kuburannya.

“Eh, jadi itu adikmu?” celetuk si bocah laki-laki yang ternyata membaca tulisanku. “Maaf...”

Aku menoleh ke arahnya, nyengir. “Bukan. Aku baru mengenalnya kemarin sore.”

“Jangan bohong! Setidaknya dia sudah mati dua atau tiga hari. Bagaimana bisa kau mengenalnya kemarin? Buat apa kau susah payah membantu orang yang tak kaukenal?” cecar bocah itu.

“Aku tak bohong. Yang meminta bantuanku adalah arwahnya. Dia juga yang memberitahukan namanya. Lalu soal menolongnya, apa kau pernah mendengar pepatah ‘menolong satu jiwa lebih berharga daripada membangun pagoda tujuh tingkat’? Itulah yang sedang kulakukan,” ujarku kalem.

“Jangan anggap aku anak kecil! Mana ada arwah yang...”

Ucapannya terputus saat melihat arwah Yue ‘Er keluar dari tubuhku dan melayang di tengah-tengah kami. Gadis kecil itu berani keluar karena tempat kami berdiri terlindung kerimbunan pohon.

“Nah, apa kau bisa melihatnya? Perkenalkan, ini Yue 'Er.”

Bocah itu ternganga hingga lupa menutup kembali mulutnya. Matanya melotot lebar. Aku jadi teringat reaksiku sendiri saat pertama kali melihat hantu. Pantas guru mengira aku sedang meracau.

Terima kasih, kakak sudah mau membantuku...” ujar Yue 'Er padaku. Gadis kecil itu berbalik dan menghadap ke arah si bocah, berujar, “Kalau tak ada kakak yang merebut kembali jantungku, aku takkan bisa pergi dengan tenang. Terima kasih.”

Aku yakin Yue 'Er tersenyum pada bocah itu karena kulihat dia mengangguk-angguk dengan wajah merah padam, tersenyum dan berkata, “I... itu bukan masalah besar, kok.” Mata bocah itu memancarkan rasa kaget sekaligus senang.

Setelah mengucapkan terima kasih, di depan kami arwah Yue Er mulai memudar, berubah menjadi serpihan cahaya yang terbang ke langit. Dengan takjub kami memandanginya hingga menghilang di angkasa.

“Hei, aku belum tahu namamu,” ujarku pada bocah itu sambil mengulurkan tangan.

Dia mengusap hidungnya. “Namaku...”

Belum sempat dia menyebutkan namanya, terdengar teriakan, “Adik ke lima! Kau di mana? Kakak pertama mencarimu! Cuma disuruh mencari jamur liar saja kok lama sekali!”

“Iya, iya! Aku di sini!” sahut bocah itu. Menoleh ke arahku, dia berkata, “Aku harus segera pergi! Kapan-kapan kita ketemu lagi. Dah!” Dan setelah mengucapkan itu, dia segera berlari ke arah suara orang yang mencarinya tanpa mempedulikanku lagi.

Kugelengkan kepala dan tersenyum pada punggungnya. Kulihat makam yang baru selesai itu dan kubaca kembali tulisan buatanku. ‘Yue Er, adik tersayang’. Selama ini aku tak pernah punya adik, tapi mungkin beginilah rasanya menjadi kakak. Yah, terserahlah. Aku harus segera pulang dan...

Sial! Sekarang sudah lewat tengah hari dan aku pergi tanpa pamit. Guru pasti marah besar!

***

Melangkah di kebun bunga istana, dikelilingi kelopak bunga yang berguguran, membuatku kembali teringat dengannya. Mungkin karena suasana saat ini begitu mirip dengan saat aku melihatnya berdiri di bawah pohon meihua.

Seorang kasim menunjukkan jalan di depanku. Inilah kali pertama aku melangkahkan kaki di Istana Belakang. Dengan status baruku sebagai Pelindung Berpedang, aku memiliki hak khusus untuk masuk ke tempat ini dengan menyandang senjata. Aku telah mengikuti Ujian Pengawal Istana dan mendapat gelar Kucing Istana karena mengagumi seorang pejabat bernama Bao Zheng.

Kucing Istana... gelar itu selalu berhasil membuatku tersenyum sendiri. Entah dari mana Kaisar mendapat ide untuk menjulukiku sebagai Kucing. Ah, hantu gadis kecil itu dulu juga pernah menyebutku begitu.

Krasaak! Kraak!

Bunyi dahan pohon yang patah terinjak membuatku waspada. Refleks kucabut pedang dari sarungku, bersiap-siap menghadapi pembunuh gelap yang mungkin mengintai di balik kerimbunan pohon. Dengan was-was aku mencari sumber suara itu.

Pandanganku tertumbuk pada sebatang pohon meihua yang dikelilingi bebarapa orang dayang dan kasim. Semuanya tengadah dengan wajah menampakkan kecemasan. Bibir mereka komat-kamit seperti merapal mantra.

“Tuan Putriku, junjunganku, nenek moyangku... turunlah! Kalau Anda sampai terluka, kepala kami semua akan pindah rumah!” pinta salah seorang kasim. Beberapa yang lainnya sampai berkowtow ke arah pohon itu. Sebenarnya pemandangan itu cukup menggelikan bila tak melihat betapa seriusnya rasa takut mereka.

“Tak apa-apa, tak apa-apa! Aku cuma mengembalikan anak burung ke sarangnya!”

Suara seorang gadis terdengar dari atas pohon. Dari nada suara serta reaksi orang-orang di sekelilingnya, aku merasa kalau orang yang disebut-sebut sebagai Tuan Putri ini adalah gadis ceroboh, egois, dan bandel yang hanya bisa menyusahkan orang lain. Oh, baiklah. Sudah saatnya dia turun dan berhenti bermain-main.

Kualirkan tenaga dalam ke ke kaki dan dalam sekejap tubuhku terasa ringan. Kuambil ancang-ancang dan dengan mudah melayang ke atas pohon itu. Terdengar suara teriakan tertahan dari gadis itu, kaget karena melihatku tiba-tiba melompat ke arahnya.

Aku mendarat di dahan pohon tepat di hadapannya. Meski terlindung di balik bayangan, bisa kulihat wajahnya dengan jelas. Seorang gadis belia berusia sekitar sebelas atau dua belas tahun yang mengenakan pakaian bangsawan istana. Pakaian itu sudah kotor dan sobek di beberapa tempat karena tersangkut dahan pohon. Matanya membelalak lebar saat melihatku.

Kuraih pinggangnya dan melompat turun dengan tubuhnya berada dalam pelukanku. Sesampainya kami di tanah aku segera melepasnya. Para dayang langsung mengerubunginya, membantunya berdiri dan menanyakan berbagai pertanyaan.

Aku segera berlutut sesuai aturan di hadapannya. “Pelindung Berpedang Tingkat Empat, Zhan Zhao, menghadap Tuan Putri Yang Mulia! Panjang Umur, Panjang Umur!” Kasim yang memanduku juga ikut memberi hormat.

Gadis itu hanya termangu memandangiku. Mungkin dia masih kaget karena ada orang yang tak dikenal berani menurunkannya dari pohon. Seorang dayang senior menarik tangannya dan berkata, “Tuan Putri, sebaiknya Anda kembali dan mengganti pakaian. Bila Yang Mulia Kaisar dan Ibusuri tahu, kami semua akan mendapat masalah.”

Gadis itu hanya mengangguk dan dengan suara nyaring berkata, “Berdirilah.”

Akupun segera berdiri. Tanpa mengatakan apapun, dia berbalik dan melangkah pergi diiringi para dayang dan kasim.

“Tuan Zhan, bisa kita lanjutkan perjalanan?” tanya kasim pemanduku.

Aku segera mengikutinya. Baru berjalan beberapa langkah, kudengar suara langkah seseorang mengejar di belakangku, diikuti tarikan di lengan seragam merahku. Aku menoleh untuk melihat pelakunya dan mataku langsung bersirobok dengan sepasang mata besar sang Putri.

“Na... namamu Zhan... siapa?” tanyanya sambil mengerjapkan mata.

Aku mengangguk. “Saya Zhan Zhao."

"Jadi kau perwira yang baru itu? Orang yang Kakanda Kaisar beri julukan Kucing Istana?"

"Benar. Apakah Tuan Putri ingin saya melakukan sesuatu?”

“Eng... jurus terbang itu... apa kau mau mengajarkannya padaku?” tanyanya dengan wajah merona. Gadis itu menarik napas panjang dan dengan suara lebih lantang berkata, “Saya Zhao Mingyue, meminta Perwira Zhan, sang Kucing Istana, untuk menjadi guru saya!” kemudian dia tersenyum, menampakkan geligi putihnya yang berjajar rapi.

Jantungku berhenti saat mendengar ucapannya itu. Senyumnya begitu mirip dengan... Mungkinkah? Ditambah lagi… Namanya Mingyue? Yue ‘Er? Apakah ini hanya kebetulan?

“Kakak... suatu saat nanti, kalau aku terlahir kembali, kakak harus mengajariku silat, ya. Janji?”

Permintaan itu kembali terngiang di benakku. Apakah Yue ‘Er benar-benar telah terlahir kembali? Dan kini dia menuntutku untuk melunasi janji itu!

“Ah, sudahlah. Kalau Perwira Zhan tak mau ya sudah,” ujarnya kecewa karena melihat keraguanku. Seberkas rasa sepi terpancar dari sorot matanya yang mulai berkaca-kaca.

Ini buruk. Hari pertama aku masuk ke Istana Belakang dan sudah membuat Tuan Putri menangis? Karena itu tak ada yang bisa kulakukan selain berlutut kembali dan berkata, “Suatu kehormatan bagi Zhan Zhao karena Tuan Putri bersedia meminta saya mengajarkan ilmu saya yang rendah ini.”

“Benarkah? Perwira Zhan mau? Horeee! Berhasil! Aku berhasil membuat sang Kucing Istana menjadi guruku!” teriaknya girang.

Aku mendongak dan melihat gadis itu melompat-lompat riang. Dia menarik tangan seorang dayang di dekatnya dan mengajaknya berputar-putar. Si dayang yang kebingungan hanya bisa menurut saja ditarik-tarik seperti itu. Kasim dan dayang lainnya hanya tersenyum-senyum memandangi tingkah norak junjungan mereka sambil menggelengkan kepala. Tampaknya mereka sudah terbiasa dengan adegan itu.

Entah kenapa aku merasa telah dimanipulasi. Aku, yang di dunia persilatan terkenal dengan julukan Pendekar Selatan dipermainkan oleh seorang gadis yang tak bisa dibilang dewasa. Rasanya aku kembali menjadi bocah lima belas tahun yang sedang dimanfaatkan oleh sesosok hantu gadis kecil.

Aku sudah terlanjur berjanji dan sekarang harus menggenapinya. Memandang keceriaan di wajah belia itu, aku jadi tak tega menghapusnya. Yah, menjadi guru silat bagi sang Putri bukan hal yang buruk, kan?

~ FIN ~

Footnotes:
- 'er adalah akhiran yang biasa dipakai untuk menyebut orang yang lebih muda. Kalau di Jepang, mungkin sama dengan -chan

- Meihua = plum blossom

0 komentar