Sampai
menjelang tengah hari dan ujung obornya tinggal seperempatnya karena
dimakan api Ayah telah membunuh banyak sekali ulat bulu. Mungkin ribuan,
atau lebih, ia sendiri tak sanggup menghitungnya, sejauh mata memandang
terlihat tumpukan gosong tubuh-tubuh kecil di bawah batang karet. Bau
hangus terbakar yang menyengat memenuhi udara. Ayah tertawa puas.
“Hahahaha…!
Biarkan tempat ini menjadi contoh bagi kawanan kalian yang lain agar
jangan-jangan macam-macam lagi dengan kebunku!” lengkingnya, suaranya
bergema dan berputar-putar di tengah sunyi yang memenuhi tempat itu.
Sesekali nyanyian jangkrik yang menjerit panjang di salah satu penjuru
seolah menerjemahkan ancamannya itu ke semua binatang pengganggu lainnya
dan mengulanginya dalam nada pilu. “Kalian dengar itu, hah!”
Sebenarnya
masih banyak lagi ulat bulu yang bertengger di dahan batang yang lebih
tinggi. Hanya saja jangkauan obor Ayah tak sampai untuk meraih dan
memanggang mereka hidup-hidup. Ia berjanji besok akan membasmi mereka
lagi dengan racun serangga hingga tandas.
“Dasar manusia egois!” umpat sebuah suara, samar.
“Siapa itu?”
“Kalian memang selalu seenaknya!”
Ayah menajamkan telinganya. Ia yakin kini ia tak salah dengar lagi. Ada seseorang—atau sesuatu yang berbicara dengannya.
“Kami
bermigrasi dan berkelana untuk mendapatkan makanan karena kami harus
bersaing dengan rakyat kami yang semakin banyak. Kalianlah yang telah
menyebabkan ketidakseimbangan ini. Kalianlah yang membuka lahan dan
menebang hutan seenaknya. Yah, sebelumnya kami harus berterima kasih
karena kalianlah yang telah menyebabkan predator pemangsa kami,
burung-burung dan sebagainya, jadi berkurang jumlahnya. Lantas sekarang,
setelah jumlah kami bertambah banyak karena kami sendiri tak bisa
menekan laju pertumbuhan kami, kalian malah ingin memusnahkan kami?
Kalian manusia egois!”
“Si-siapa
itu?” Ayah membentak marah dengan mata awas memandang ke segala penjuru
kebun. “Tunjukkan dirimu!” obor di tanganya diulurkan ke depan sebagai
perlindungan, kalau-kalau seuatu yang berbicara padanya itu tiba-tiba
menyerang.
“Hahaha…
Wajahmu terlihat pucat. Apa sekarang kamu ketakutan karena saya
mengatakan yang sebenarnya, Manusia? Kalianlah kaum yang menimbulkan
kerusakan di bumi ini!”
“Aha!
Apa itu kamu yang berbicara?” Tiba-tiba mata Ayah tertuju pada seekor
ulat bulu yang hinggap di sebuah pohon karet di depannya. Ulat ini
berbeda dari ulat-ulat sebelumnya yang telah dibantainya. Tubuhnya dua
kali lebih besar dengan corak warna merah-hitam mencolok dan bulu tebal
menjijikkan. Mungkin ia adalah ratunya atau
apapun-yang-mempunyai-posisi-penting di antara ulat-ulat bulu lainnya.
Kalau diibaratkan manusia, ia seperti seorang nyonya gemuk berpipi
gembil dalam balutan mantel bulu setebal dua lapis. Ia berjalan sangat
pelan menuruni batang karet sambil mengunyah sehelai daun karet yang
dibawa dua kaki depannya. Daun itu tampak bolong-bolong di beberapa
bagian, hanya menyisakan kerangkanya dan tinggal sepertiganya saja.
“Ya! Ka-kamu... Bagaimana mungkin ada ulat bulu yang bisa berbicara? Kamu siluman, hah?”
“Itu
karena saya adalah ulat bulu yang paling ditetuakan di antara ulat-ulat
bulu yang telah kamu bunuh dan yang tengah ketakutan di atas sana,”
katanya, berhadapan sejajar dengan wajah Ayah. “Kalian tidak memberi
kehidupan pada kami, atau makhluk lainnya, jangan pikir kalian bisa
memusnahkan makhluk selain kalian tanpa menanggung akibatnya!”
“Cih!”
Ayah tak terima diceramahi hama laknat itu. Begitu melihat ulat itu
telah berada dalam jangkauannya, seketika ia langsung menghunuskan
obornya ke tubuh gemuk si ulat. “Rasakan ini! Tahu apa kamu tentang
manusia, ulat cerewet? Menjadi manusia tidak hanya membutuhkan makan,
kami juga harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain. Dan kalian telah
merusak kebun tempat kami mengais rezeki. Sekarang matilah! Kalau saya
bisa membunuhmu, maka ulat-ulat bulu yang lain pasti tak akan berani
macam-macam lagi di kebunku... Hahaha!”
Si
ulat meronta. Bulu-bulunya terpanggang rata hingga hangus. Dan meski
sebenarnya si ulat telah mati tapi Ayah terus saja menyodorkan lidah api
itu hingga tubuh si ulat matang merata dan mengembung, dan menggembung,
terus menggembung seperti roti di dalam oven. Ayah kaget luar biasa, ia
tak habis pikir bagaimana ini bisa terjadi. Sementara tubuh si ulat
terus membengkak dan membulat hingga nyaris sebesar bola kasti—lalu…
“Bopp!” seperti bunyi ban mobil yang gembos, tiba-tiba tubuh ulat itu
meletus dan hancur berantakan. Sebagian isinya memerciki wajah Ayah.
Daging panas, hijau, serta berlendir itu membuatnya jijik. Ia merintih
dan meraung.
Meski
sebelumnya seluruh tangan dan bagian belakang lehernya telah dipenuhi
bentol-bentol besar serupa peta dunia terkena racun bulu-bulu ulat bulu
yang berterbangan saat terbakar, tapi ia sama sekali tak merasakan
apa-apa. Sebaliknya, ia hanya merasakan nafsu membunuh mengusainya untuk
membantai ulat-ulat bulu itu hingga tuntas. Namun kini, setelah
wajahnya terkena serpihan daging gatal itu barulah ia merasakan seluruh
tubuhnya dirajam oleh miang yang menyiksa.
Bersambung ke Cerpen Horor: Manusia Ulat Bulu [Part III]
Penulis: Adhi Glory | Sihirkata | Pic
0 komentar