“Terima kasih mas Mulyono. Senang bekerjasama dengan sampeyan,” kata terakhir yang diucapkan Mangun sebelum masuk mobil dan akhirnya berlalu.
Mulyono masuk ke dalam rumah tua yang telah menjadi miliknya itu lagi sembari menekan tuts keyboard ponselnya. Nomor pak Narto yang dipanggil.
“Halo, Pak Narto. Bisa ke sini kapan? Setengah jam lagi? Oke. Oke. Saya tunggu.”
Laki-laki single berusia 35 tahun itu mematikan ponselnya. Kemudian, berkeliling melihat-lihat keadaan sekalian menunggu Pak Narto – pemborongnya.
***
Baca juga:
- Cerpen Horor#1: Lisa?
- Cerpen Horor#2: Kacamata Ibu
Matahari tengah bersinar dengan teriknya ketika Pak Narto datang.
“Assalamualaikum…” panggil Pak Narto dari luar dan mengetuk pintu.
“Walaikumsalam...” sahut Mulyono, “Oh, pak Narto. Silakan, Pak.”
Keduanya pun duduk saling berhadapan. Mulyono menyatakan maksudnya memanggil Pak Narto ke rumah barunya. “Begini Pak. Seperti yang sudah kita obrolkan beberapa hari lalu, sepertinya saya mau Pak Narto menangani renovasi rumah saya ini. Karena saya tahu kalau pak Narto memang sudah ahli di bidangnya.”
Pak Narto yang berusia 50 tahun ini tersenyum mendengar pujian Mulyono.
“Yah, kalau bisa, saya mau tahu titik-titik mana saja yang hendak direnovasi. Soalnya, sekalian mau saya kalkulasikan biayanya.”
“Bisa. Bisa.”
Mulyono pun segera berkeliling dengan Pak Narto untuk menunjukkan beberapa titik rumah yang hendak direnovasinya.
“Bagian dapur ini nanti dirombak total ya Pak Narto. Terus…” Mulyono terus berjalan, “Saya rasa kusen-kusen jendela ini juga perlu diganti. Oiya, sumur tua ini sepertinya harus ditutup. Saya maunya buat sumur bor aja. Lebih meringkas tempat soalnya.”
Pak mengernyit. Ada sesuatu yang dia rasakan. Pengalamannya bertahun-tahun sebagai seorang pemborong telah memberinya beberapa pelajaran berharga yang berarti. Karena, pembangunan biasanya menuntut hal-hal di luar nalar. Tapi, tidak diacuhkannya perasaan itu. Biar bagaimana pun dia mengikuti kemauan klien saja.
Dan ternyata…
Ketika keduanya hendak berjalan menuju kamar Mulyono. Rangka plafon yang berusia ratusan tahun roboh. Sontak keduanya terkejut dan menengok. Pak Narto mengelus dadanya. Untung tidak kena, demikian batinnya. Sementara Mulyono mengernyit. Laki-laki bujang itu adalah tipe orang yang berpikiran positif thinking, dan tidak percaya hal-hal mistis itu, tetap tenang. Dia meyangka rangka plafon yang jatuh itu adalah hasil pelapukan karena termakan usia.
“Sekalian yang itu dibetulkan nanti Pak,” tukas Mulyono menyambut jatuhnya rangka plafonnya.
Pak Narto manggut-manggut.
“Terus satu lagi. Sepertinya saya ingin mempercantik tiap-tiap ruangan ini dengan menambahkan eternit di tiap-tiap ruangan supaya tidak terkesan bolong dan langsung ke atap kayak begini ya Pak.”
“Oke.”
Pak Narto pun kemudian pamit undur diri untuk mengurus segala macam sesuatunya. Termasuk hitung-hitungan soal berapa biaya yang hendak.
“Saya kembali tiga belas hari lagi.”
“Oiya, saya juga hendak tidur di hari ke tiga belas.”
***
Bersambung ke Cerpen Horor#3: Hantu Sumur [Bagian II]
0 komentar