Tuesday, December 18, 2012

Melihat Genderuwo di Atas Batu Besar

Tahun 1960, listrik masih menjadi barang yang mewah karena belum masuk desa. Suasana di desa pada waktu malam hari tentu saja gelap gulita. Rumah-rumah hanya diterangi oleh lampu minyak sebagai penerangannya. Apalagi, infrastruktur belum sebagus seperti sekarang ini. Jadilah, masih banyak pohon-pohon besar yang menunjang ke atas langit. Tentunya hal itu memberikan nuansa seram.

Wartono yang saat itu masih berusia 7 tahun pergi bertandang ke rumah Mulyono kawannya. Rumah Mulyono hanya berjarak 20 meter dari rumah Wartono, terletak di gang yang sama: Gang Mangga 1. Tapi, rumah Mulyono dekat sungai dan jembatan. Dan di sebelah jembatan ada batu besar dan pohon kelapa yang sangat tinggi serta disekitarnya banyak pohon bambu yang lebat.

Melihat Genderuwo di Atas Batu Besar
Credit Photo: YudiBatang.wordpress.com.

Wartono ke rumah Mulyono ingin mengajak bermain. Waktu ke rumah Mulyono, saat itu adzan Isya tengah berkumandang. Wartono berjalan sendirian melintasi gang gelap. Sampai di depan rumah Mulyono, suasana sepi sekali. Pintu rumah Mulyono tertutup rapat. Wartono memanggil-manggil tapi tak ada sahutan dari dalam. Mengetahui tak ada orang di rumah Mulyono, Wartono pulang lagi ke rumah.

Dia pun ingat kalau malam itu malam Jumat Kliwon. Sesegera tercium bau yang aneh, singkong bakar. Wartono menengok ke arah jembatan, dia melihat seperti ada orang sedang jongkok di atas batu besar. Wartono yang penasaran, mendekat ke orang tersebut. Dipikirnya, itu Man Da'an, orang yang mengolah sawah orang tuanya.

"Man Da'an, ngapain malam-malam nongkrong di atas batu?" teriak Wartono.

Aroma singkong bakar makin santer di hidungnya. Namun, Wartono masih belum menyadarinya. Sekitar dua meteran dari orang itu, Wartono tetap belum bisa mengungkap siapa yang sedang jongkok di batu besar tersebut. Mungkin saking gelapnya.

Tapi, baru hendak melangkah lebih dekat lagi, sedikit demi sedikit tubuh orang hitam itu berubah besar dan tinggi. Wartono terpaku menyaksikan pemandangan aneh di depannya. Tinggi orang itu seperti pohon kelapa. Wartono merinding sekujur tubuh lalu menjerit. Lalu, Wartono berlari ke belakang rumah Mulyono.

"Bukaaaaa..." Wartono berteriak sambil menggedor-gedor pintu.

Pintu pun dibuka oleh ayah Mulyono, "Ada apa Ton?" Ayah Mulyono tampak kebingungan.

Wartono tampak pucat. Dia menjawab tergagap-gagap, sambil menunjuk ke arah batu besar. "A... a... a... ada..."

Belum selesai Wartono berucap, ayah Mulyono langsung menarik tangannya. Dia diajak masuk ke dalam rumah. Ibu Mulyono yang datang belakangan diminta mengambilkan air gentong memakai siwur (gayung yang terbuat dari tempurung kelapa). Kemudian, menyuruh Mulyono untuk meminum air dari gayung tersebut. Setelah tenang, Wartono baru menceritakan pengalaman horor yang dialaminya. Wartono tidak berani pulang seandainya ayah Mulyono tidak mengantarnya.[]

Follow Twitter kami di @CerpenHoror

0 komentar