Thursday, November 15, 2012

Cerpen Horor: Panggilan Sisi Gelap

Lilin-lilin kecil dipasang berjejeran di berbagai tempat. Ada yang di atas meja, di atas almari kecil, di atas jendela, bahkan di atas lantai, sedemikian rupa sehingga membentuk persegi, mengelilingi ruangan ini. Hanya tujuh kali tujuh meter dan gelap. Bukan karena lampu dimatikan, tetapi karena seakan dunia sedang menginginkan suasana menjadi demikian. Nyala api lilin tidak bisa mengalahkan keinginan alam sehingga cahayanya tidak membantu sama sekali.

Rei dan Roy sedang melihat sebuah foto dengan wajah yang sangat serius. Hanya Ren saja yang tidak terlalu tertarik, itu sudah biasa. Sebesar apapun keinginan manusia akan sebuah keabadian, tetapi kenangan yang amat pahit bukanlah keabadian yang diinginkan manusia. Manusia hanya ingin mengenang apa saja yang akan membuatnya menjadi bahagia ketika mengingatnya kembali. Itu adalah hal yang wajar, disadari atau tidak itu sudah menjadi kehidupan kita sehari-hari.

Tidak salah lagi, itu adalah foto ketika Ren selalu dipermainkan.

Mungkin menyebutnya sebagai permainan bukanlah kata-kata yang pantas. Kekejian, ketidakwajaran, kejahatan tanpa belas kasih, semuanya, ya semuanya. Semua perbuatan yang tidak akan pernah bisa dilakukan bahkan dibayangkan oleh beberapa anak kecil yang masih berumur 5 tahun, Ren telah menjadi korbannya. Ini bukanlah hal yang harus ditertawakan. Serius….bukan, ini benar-benar terjadi. Tidak ada gunanya berbohong pada hal yang seperti ini.

Aku sendirilah saksinya.

Tatapan mata Ren tidak kosong. Tetapi bagaimanapun aku melihatnya, pikirannya seperti sedang melayang pergi entah ke mana. Mengingat atau ingin melupakan, aku tidak begitu tahu apa yang dipikirkan Ren. Bila itu memang menyakitkan, aku hanya bisa membantunya dengan mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun juga kesedihan cukup bisa dipahami dan dilupakan jika kita mendengar kesedihan lain yang mungkin lebih berat.

“Sudah lama sekali ya? Kita berlima, Rei, Roy, Ren, Rin, dan aku. Cukup menyenangkan lagi jika Rin bisa hadir menemani kita disini.”

Mendengarnya, mata Ren terlihat hidup kembali. Dia mengalihkan pandangannya ke arahku dan mengerutkan alisnya, memasang raut iba di wajahnya. Tidak hanya itu, Ren pun akhirnya mengeluarkan suara lembut miliknya.

“Ray…kau tidak perlu mengingat hal yang tidak ingin kau ingat.”

Aku tersenyum pahit di dalam hati. Kalimat itu adalah kalimat yang seharusnya aku ucapkan untuk Ren.

“Hey hey…ada apa dengan kalian berdua? Sini, kalian ingat? Di danau ini, kita pernah bermain bersama-sama sampai larut.”

“Ya, ya. Waktu itu Ray, Rin, dan Ren tidak bisa berenang, mereka payah sekali. Aku tidak henti-hentinya tertawa saat itu.”

Itu adalah Rei dan Roy, pasangan S. Mereka adalah tipe orang yang akan tertawa terbahak-bahak ketika melihat seorang anak terbujur kaku. Entah apa yang mereka pikirkan, itu masih menjadi misteri.

Aku ingin tahu, apakah yang terjadi bila merekalah yang terbujur kaku?

“Tapi sayang….Rin tidak ikut berfoto saat itu. Dia malah hilang entah kemana.”

“Iya. Dan tahu-tahunya Rin ditemukan mati di tengah danau. Sangat bodoh, hahahahahaha!!”

Belati….tidak. Setajam apapun belati tidak mungkin terasa sesakit ini. Ini sangat menyakitkan hatiku. Bukan hanya potongan kecil-kecil, bahkan aku juga dapat merasakan hatiku hancur menjadi gumpalan-gumpalan merah yang bercampur darah. Rusukku seperti ditusuk-tusuk benda tumpul hingga hancur berlubang. Sesak yang kurasa, guncangan hebat di jantungku, bahkan vertigo seakan melanda otakku.

Jika saja bukan mereka….

“He-hei! Lihat! Ini hanya aku atau memang disini ada sesuatu? Ya, aku baru menyadarinya! Ada sesuatu disini, nih, di belakang Ray dan aku!”

Rei tiba-tiba berteriak seperti itu sambil menunjukkan sesuatu yang transparan, berada tepat di belakang Rei tetapi juga di belakangku, seolah sedang berada di tengah-tengah antara kami berdua. “Itu” tidak padat dan berwarna abu-abu. Kontras dengan sekitarnya yang berwarna, “itu” seakan berefek skala abu-abu, membuatnya tidak kasat mata jika dilihat hanya sekilas.

Aku baru menyadari “itu” adalah hantu.

“Hantu ini….mungkinkah dia Rin?”

Roy benar. Saat itu Rin hilang entah kemana. Kami….maksudku aku dan Ren benar-benar kebingungan dan merasa cemas saat itu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, kami berdua menangis sekencang-kencangnya berharap orang dewasa datang menolong. Rei dan Roy hanya tertawa terbahak-bahak, mereka sama sekali tidak terlihat memiliki keinginan untuk membantu.

Tak lama, beberapa orang dewasa yang sedang berkemah di sekitar danau datang dan membantu kami mencari Rin. Dengan penuh rasa putus asa, aku tidak henti-hentinya menangis dan terus ikut mencari. Sore itu matahari sangat merah, seperti sedang menggambarkan hatiku yang terluka. Pada akhirnya, beberapa orang dewasa menemukan Rin sudah terbujur kaku mengambang di danau. Rin sudah tidak tertolong lagi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tidak seperti Rei dan Roy yang yakin harus berbuat apa, yaitu menertawaiku sepuas-puasnya.

Saat itu aku tidak tahu apa yang lucu dengan hal itu. Akal sehatku tidak mampu menerima hal itu sebagai sebuah lelucon, bahkan aku pikir orang dewasa lainnya juga berpikiran sama. Bagaimanapun caraku berpikir dari banyak sudut pandang, tidak pernah kutemukan bagian yang terasa lucu. Hingga saat ini pun aku tidak mengerti apa yang dipikirkan pasangan S itu.

Jika saja bukan mereka…

“Gyahahahha, si bodoh itu! Bahkan dia masih ingin difoto ketika sudah menjadi hantu. Bukankah seharusnya dia mencari cara untuk masuk ke neraka?”

“Hahahaha, kau benar, tapi juga salah. Bukankah dia bodoh? Mampukah dia berpikiran yang seperti itu?”

HAHAHAHHAHAHAHAHHAHAHAHAH!!!

Tawa Rei dan Roy menggema di seisi ruangan. Hatiku sudah tidak sanggup menerima hal ini. Otakku seakan ingin pecah dan tidak bisa lagi menerima sinyal untuk mengetahui apa yang sedang mereka lakukan. Ya, aku berharap demikian. Sangat, berharap. Namun pikiranku entah mengapa masih membuatku tersadar, aku sedikit merasa kecewa. Jika saja pikiranku tiba-tiba menjadi gelap, mungkin pemandangan yang ada di depanku sekarang adalah beberapa potongan tubuh manusia yang berserakan dan bermandikan darah campuran iblis milik semua yang ada di ruangan ini. Namun berbeda untuk Ren, dia….

“HENTIKAN!!”

PRAAANKKK!!!

…..memukul meja kaca dengan bat base ball yang entah darimana dia mendapatkannya.

Rei dan Roy kaget setengah mati. Wajah mereka menjadi putih, pucat. Aliran darah yang mungkin sedang berada di puncak ubun-ubun karena tawa mereka yang berlebihan seakan menguap di udara. Bulir-bulir keringat mulai meluncur dan menetes di alas tikar murahan milikku, basah, seakan mereka sedang kencing di celana.

“He-hei, apa yang kau pi—“

“—DIAM!!”

Roy tidak berani meneruskan ucapannya. Dia seakan sudah menjadi mayat terbujur kaku. Atau itu yang sedang dia pikirkan akan nasibnya beberapa menit lagi.

Ini adalah hal yang wajar. Tidak hanya aku saja, tetapi Ren juga selalu dipermainkan Rei dan Roy. Terutama Ren, dia selalu mendapatkan perlakuan yang menyakitkan, jauh lebih menyakitkan daripada perlakuan mereka padaku. Masa lalu itu….tidak ingin aku ingat lagi. Aku yakin Ren juga merasakan hal yang sama. Tetapi sekarang, mereka berdua masih melakukan hal yang sama. Bahagia….menertawakan seseorang  yang aku dan Ren kasihi.

Ya, Ren melihat Rin sebagai gadis yang dia sukai saat itu.

Aku tidak mengerti seberapa jauh afeksi yang dipendamnya untuk Rin, tetapi aku tahu pasti bahwa Ren sangat menyukai Rin. Pandangannya, tingkahnya, bahkan kata-katanya, aku tahu bahwa itu semua adalah cinta. Sangat alami bagi Ren bisa semarah itu, tidak heran bila dia tiba-tiba kehilangan akal sehatnya. Aku sangat menyesal tidak bisa seperti Ren yang menyimpan afeksi itu selama ini. Aku sangat menyesal tidak bisa kehilangan akal sehat dan menggantikan posisi Ren saat ini. Aku akan merasa sangat menyesal jika aku tidak menghentikan Ren saat ini.

“Cukup, Ren!! Sadarlah! Rin tidak menginginkan ini semua!”

Dengan itu mata Ren terbuka lebar.

“AARRGGGHHHHH!!! TUNGGU MAYAT KALIAN DI TANGANKU!!!”

PRAANKKKK!!!

Ren berteriak kencang, seperti mengamuk. Dilemparkannya bat baseball itu ke jendela hingga jendela itu pecah dan bat itu hilang entah dimana. Kemudian dia menendang pintu hingga terbuka dan lari pergi entah kemana. Aku bingung harus tertawa atau apa. Tetapi melihat Rei dan Roy juga berteriak dan berlari keluar adalah hal yang sangat tidak mungkin terjadi sebelumnya.

“Halo, Ren. Hentikan dendam itu, lupakan semuanya. Aku yakin Rin hanya menginginkan kau bahagia, bukan sebagai seorang pembunuh yang penuh penyesalan nantinya.”

Aku langsung menelpon Ren untuk memastikan penyelesaiannya. Sepertinya akan sulit membujuknya untuk berpikir lebih dingin.

“Aku tahu, aku tahu hal itu. Tapi perasaan ini…dendam ini….pasti, pasti kulakukan!”

Tut! Ren memutus pembicaraan kita. Tuh ‘kan? Sepertinya aku tidak bisa berharap lebih pada takdir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi jika Ren sudah seperti itu.

Semua terjadi dan berakhir begitu saja, mengingatkanku pada angin.

Tetapi….bagaimana aku harus menjelaskannya, ruangan apartemenku ini sekarang menjadi berantakan sekali, terima kasih untuk kalian semua.

“Halo, Roy?”

Esok paginya aku menelpon Roy. Bukan karena aku khawatir padanya, tetapi karena tas kecil miliknya tertinggal semalam. Aku tidak sempat menelponnya tadi malam karena aku harus membereskan kekacauan ruangan apartemenku. Bagaimanapun suasananya, aku tidak ingin ada pencuri masuk dengan mudahnya ke sini.

“Halo…Roy? Halo?”

Tetapi entah mengapa dari tadi tidak ada yang menjawab, padahal telepon sudah diangkat. Ini mengingatkanku akan teriakan Ren tadi malam. Kalau terus menerus begini, aku akan menjadi khawatir sungguhan. Semoga tidak terjadi apa-apa lagi semalam.

“Halo? Roy, ini aku Ray.”

“…..Halo?”

Akhirnya ada jawaban di sisi lain telepon. Tetapi suara ini….ini bukanlah suara milik perempuan. Anehnya suara ini juga bukanlah suara milik laki-laki. Ini lebih ke….suara perempuan dan laki-laki yang berbicara secara bersamaan. Seperti suara samaran yang tiba-tiba membuat bulu kudukku berdiri.

“Halo? Ini siapa? Roy kah?”

“….Aku bukan Roy. Aku terlahir dari kata-kata. Kata-kata terlahir dariku. Sosok yang kau rasa, tapi tidak kau lihat. Sosok yang kau tinggalkan dalam rasa putus asa. Menyeringai indah di atas panggilanmu, tertawa darah di bawah panggilanmu. Itulah…diriku.”

Aku tidak mengerti.

“Halo?? Jangan bermain-main, berikan telepon itu ke Roy. Aku ada per—“

“…Haha, kau lucu sekali. Percuma untukmu berbicara pada gumpalan daging yang lidahnya terpotong rapi dengan tenggorokan yang sudah tercincang rata. Lagi pula dia sudah tidak memiliki tangan dan telinga lagi untuk mendengarkan suaramu. Atau perlukah aku menaruh telepon ini di mantan kepalanya?”

Ya-yang benar saja?! Tidak mungkin ini terjadi!!

“Tu-tunggu, hei!! Apa yang kau—“

Tuk. Itu sepertinya adalah suara telepon milik Roy yang sedang ditaruh di lantai. Tidak hanya itu, aku juga mendengar suara seperti air yang kental sedang mengalir dan bertumbukan satu sama lain. Rasa jijik mulai menyengat di indera ku. Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengarkan. Telingaku terasa tersayat sesuatu yang menjijikkan, aku tidak tahan mendengarnya.

“Sialan!!” teriakku panik. Aku langsung mematikan telepon genggamku sebelum kemudian berlari keluar apartemen. Ya, tujuanku adalah rumah Roy. Untuk itu, aku berlari dengan penuh kebimbangan, tidak bisa menentukan antara khawatir atau rasa puas akan hal itu. Namun mau bagaimanapun juga, aku tidak bisa meninggalkan seseorang yang kemungkinan masih bisa diselamatkan sendirian, sekalipun aku sangat membencinya. Jujur, aku benci menjadi orang yang seperti itu.

BRAAKKKK!!!

Tidak memiliki banyak waktu untuk memencet bel, aku langsung menendang pintu rumah Roy hingga lepas dari engselnya. Di dalam terlihat sebuah kekacauan yang luar biasa. Hampir tidak bisa aku bayangkan kalau ini tadinya adalah sebuah rumah. Berantakan….bukan hanya itu, hampir semua bagian rumah Roy hancur, entah itu berkeping-keping ataupun hanya sebagian kecil. Ini…terlihat seperti baru saja ada perkelahian di dalam rumah Roy.

“…I-itu!”

Aku menemukan garis-garis aneh berwarna merah di lantai. Garis-garis itu semakin diikuti jejaknya, semakin lebar saja. Ah, itu bukanlah garis saja. Maksudku, itu adalah garis yang terbentuk karena goresan sesuatu yang berlumuran darah, membuat garis itu meninggalkan jejak merah.

Hingga pada akhirnya berujung pada kamar Roy yang seharusnya tidak berdinding merah kehitam-hitaman.

Pintu yang seharusnya terpasang di engsel pintu tidak bisa kusebut lagi sebagai pintu. Melihat dan merasakan hal itu, aku berhenti. Aku tidak yakin dengan diriku. Ya, aku tidak yakin kalau aku mempunyai cukup kekuatan untuk melihat apa yang ada di dalam kamar itu. Tubuhku tiba-tiba terasa panas dan bulir-bulir keringat dingin mulai mengalir, memberikan sensasi yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Tapi aku harus memastikannya….

Tidak ada pilihan lain, aku harus masuk untuk memastikannya. Dengan penuh beban, perlahan aku memasuki kamar Roy yang sudah berwarna merah kehitam-hitaman itu. Menelan ludah berulang kali, aku merasa bahwa aku adalah seorang pengecut. Mempunyai pikiran untuk melakukan hal yang sama, tapi nyatanya tidak berani untuk melihat sesuatu berwarna semerah ini.

Tapi aku yakin tidak hanya aku saja….

Sama persis dengan apa yang dikatakan orang yang menggunakan telepon Roy padaku…. Aku…ini…. Hidungku langsung tertusuk oleh bau yang menyengat, bagaikan bangkai, menjadikan otakku terasa diguncang-guncang, membuat kepalaku merasakan pening yang dahsyat. Tidak, ini memanglah bangkai, manusia tentunya. Semua yang bisa aku lihat hanyalah darah dan gumpalan daging. Cincangan dan potongan tubuhnya terlihat rapi dan teratur, tidak bisa kubayangkan ada seseorang yang masih bisa memikirkan hal itu. Tirai yang seharusnya dipasang di jendela sudah digantikan oleh usus-usus yang telah dipotong rapi dan diperpanjang dalam simetri. Aku tidak ingin menggambarkannya lagi…ini…ini….bau busuk ini….

“Ughh….gaaahhhhhh!!”

Rasa mual…ini tidak bisa kutahan lagi…. Semua…semuanya….ini tidak bisa aku gambarkan lagi. Aku tidak bisa mengenalinya lagi. Ini bukanlah sesuatu yang disebut sebagai seseorang. Gumpalan….benar katamu, pembunuh! Ini hanyalah gumpalan!! Roy bukanlah Roy yang dulu lagi!!! Itu bukanlah manusia!!  Mana bisa aku memanggilnya Roy lagi??!! MANA BISA!!!

“HAH…HAHH…HAHAHAHAHHH!!!”

Sialan! Aku mulai menjadi gila. Ini….aku tidak tahu mengapa aku tertawa, aku tidak tahu mengapa aku memegang kepalaku dalam kesakitan, aku tidak tahu…aku tidak….

AKU TIDAK BOLEH KALAH!!

PLAKK!!

Aku menampar diriku sendiri. Aku dengan sekuat tenaga meninggalkan kamar Roy dan berusaha berpikir dingin. Memusatkan fokus pada satu titik dimana biasanya seseorang dengan akal sehat harus berpikir setelah menemukan hal ini. Ya, kantor polisi, ambulan. Ah tidak! Aku tidak memiliki nomornya!! Oh ya, Rei! Rei harus tahu juga!!

Tuuttt, tuuttt, ckleck!

“Halo? Rei?!”

“Ya? Kau mengkhawa—“

“—dengar! Roy sedang dalam keadaan kritis, tolong panggilkan polisi dan ambulan ke rumahnya, cepat!!”

“Ba-baik, tunggu.”

Bagaimanapun juga, mendengarku seperti ini bukanlah hal yang biasa. Rei pasti akan percaya dengan ucapanku. Ya, aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jadi, kalau dia masih tidak percaya….kalau dia masih tidak per—

“SIAL!”

Aku lari ke luar rumah Roy, berteriak mencari bantuan. Untung saja banyak orang yang berkeliaran di luar sehingga mempermudahku memanggil polisi. Aku harus menelpon Rei kembali untuk memberinya kabar.

Tuuuttt…Cklek….

“Halo? Rei?”

“…Halo?”

Tubuhku membeku, aku mulai tidak bisa berpikir lagi. Tapi bibirku masih bisa terbuka dan tertutup, meski gemetar kencang. Pita suaraku masih bisa bergetar seiring dengan ketukan nada bibirku. Jadi, aku masih memiliki kekuatan yang cukup untuk berbicara.

“Siapa kau?! Kau apakan Roy?! Tidak…Mengapa kau melakukan ini semua!!”

Tiba-tiba aku teringat teriakan  Ren semalam. Ada kemungkinan dialah yang melakukannya. Aku tahu bagaimana rasanya disakiti, lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Tapi…tapi…tidak  akan kubiarkan dia menjadi pembunuh!!

“Kau….Ren…Jangan Ren!! Hentikan kebodohanmu!! Hentikan rasa sakitmu itu!! Jangan kecewakan R—“

“—Apa maksudmu? Aku  bukanlah Ren. Aku terlahir dari kata-kata. Kata-kata terlahir dariku. Sosok yang kau rasa, tapi tidak kau lihat. Sosok yang kau tinggalkan dalam rasa putus asa. Menyeringai indah di atas panggilanmu, tertawa darah di bawah panggilanmu. Itulah…diriku.”

“Ren!! Apa yang kau bicarakan?! Rei…Apa yang kau lakukan pada Rei?! Aku mohon hentikan!!”

Aku hanya bisa mendengar tawa cekikik di seberang telepon. Bulu kudukku berdiri, membuatku semakin membeku.

“Kau ingin berbicara pada Rei? Bukan bermaksud membuatmu bosan, tetapi aku akan bilang kalau kondisi Rei sama dengan Roy. Dia—“

“HENTIKAN!!”

Lagi-lagi orang itu tertawa cekikik, semakin lama saja tertawanya.

Aku terlambat.

Padahal hanya baru beberapa menit saja sejak aku menelpon Rei tadi. Tapi untukku berlari ke rumah Rei sekarang adalah hal yang percuma. Tidak, dari awal memang percuma untukku menyelamatkan semua orang ketika “dia”-lah orang yang menjawab panggilanku. Tunggu….

Panggilanku?

Sesuatu terasa aneh di bagian ini…

Tit….

Aku harus memastikannya!

Tittt….

Tuuuttt… Tuuttt… Tuuttt… Tittt, aku hanya punya waktu beberapa detik saja untuk hal ini.

Jadi begitu….

“SIALAN!!!”

Tak! Klak, klak!

Melempar telepon genggamku dengan sekuat tenaga, aku kemudian berlari. Aku sudah memastikannya, semua sudah terasa jelas. Sebuah cahaya terbongkarnya misteri sudah berada di kepalaku. Kekuatanku yang tadinya menguap di udara sekarang mulai mengendap dan masuk melewati pori-pori. Jauh lebih kuat, ya, penyelesaianku jauh lebih kuat dari beberapa menit yang lalu. Aku tidak akan kalah kali ini!

“Ren!”

Mendobrak pintu rumahnya, aku berlari masuk ke dalam. Entah mengapa akhir-akhir ini aku mempunyai hobi baru, yaitu mendobrak pintu, terima kasih untuk kejadian ini. Tapi itu bukanlah hal yang terpenting. Tidak peduli dengan kekacauan yang ada di sekelilingku, aku terus berlari menuju kamar Ren. Bahkan gumpalan darah yang menggenang di lantai pun tidak aku gubris sama sekali.

Cplek…cplekk…suara sepatuku ketika bertemu dengan genangan merah kehitam-hitaman itu sangat menyayat telinga, membuatku berulang kali merasakan pening sesaat seraya berlari. Tapi tanpa aku sadari, aku sudah mulai terbiasa dengan hal ini. Meski begitu, aku tidak merasa lega. Aku malah merasa takut karena sewaktu-waktu mentalku bisa menggila. Dan akhirnya….

“Ren!” Lagi, aku berteriak dan mendobrak pintu.

“Ugh…gahhhhh!!”

Aku terlambat lagi.

Tidak….kali ini aku memang tidak mungkin untuk tidak terlambat. Hal ini sudah aku duga sebelumnya. Aku masih ingat betul apa yang terjadi semalam. Aku masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan Ren semalam. Aku masih ingat pasti apa penyelesaian yang dipilih Ren di telepon. Aku juga sangat ingat kalau tadi malam aku menelepon Ren.

Semua karena telepon. Semua karena panggilanku. Semua karena aku.

Aku sudah membunuh orang dalam waktu kurang dari sehari?

Siapa aku? Dewa? Jangan bercanda! Bila demikian, mengapa aku tidak membunuh pembunuh itu saja?!

“HAH….HAHAH…HAHAHAHAHAHH!!”

Ya, itu sudah aku rencanakan.

Aku pergi ke dapur, memilih-milih, sebelum kemudian mengambil sebilah pisau daging yang berbentuk persegi. Ini sudah cukup, pikirku.

Hahhh…hahhh…

Dengan nafas yang berat, tanpa basa-basi aku mengambil telepon rumah milik Ren.

Haahhhh…hahhhh…

Dengan nafas yang berat, aku mulai menekan sebuah kombinasi nomor telepon genggamku.

Hahhhh….hahhhh…

Dengan nafas yang berat, aku menaruh telepon di telingaku.

Tuuutttt….Tuuutttt….Tuuttttt….Tuuutttt….Tuuutttt….Cklek…

“….Halo?”

Mendengar suara yang sudah mulai familiar itu, aku tidak memiliki waktu untuk membeku. Dengan cepat aku berlari keluar rumah Ren, belok kanan, dan terus berlari menuju gunung.

“Hehh…hehhh…biarpun aku sudah memegang samar-samar siapa jati dirimu yang sesungguhnya, aku masih ingin mengetahui jawabanmu dengan jujur. Siapa kau sebenarnya?”

“…Haha, sudah kujawab sebelumnya bukan? Aku terlahir dari kata-kata. Kata-kata terlahir dariku. Sosok yang kau rasa, tapi tidak kau lihat. Sosok yang kau tinggalkan dalam rasa putus asa. Menyeringai indah di atas panggilanmu, tertawa darah di bawah panggilanmu. Itulah…diriku. Haruskah aku memberimu hadiah jika kau bertanya sekali lagi?”

“Tidak perlu. Kau lah yang akan mendapatkan hadiah yang pantas dariku.”

“…Tidak di sini. Dimana kau?”

Jelas saja, dia pasti akan mendatangi tempat dimana ponselku berada sekarang. Aku yakin itu adalah aturan yang mutlak. Tapi mengapa? Mengapa harus seperti itu?!

“Bukankah sudah keahlianmu mendatangi seseorang hanya dalam hitungan 4 kali nada tunggu?”

“Kau benar!”

“A-apa? Truk a—“

TIIIIIIIIINNNNN….BRAAKKKK!!!

Nyaris! Nyaris saja truk itu menyambarku! Tadi aku juga sempat melihat bayangan putih di kaca depan truk itu. Rambutnya panjang berwarna putih, wajahnya penuh luka dan seperti ada benda berwarna putih yang bergerak-gerak menghiasi setiap lukanya. Dia….seperti anak kecil.

Gawat! Bukan saatnya aku berpikir hal yang spele. Dia sudah datang!!

“GYAHAHAHAHA… Kau benar-benar berumur panjang! Nikmati saja hidupmu yang sebentar lagi akan berakhir itu!”

Sejak kapan suasana menjadi seringan ini? Maksudku, ketakutanku lenyap begitu saja ketika aku berhadapan dengan hantu secerewet ini. Aku rasa setelah ini tidak akan ada lagi pembunuhan.

“Kau yakin?”

Deg! Sesaat jantungku berdetak keras, membuat dadaku terasa sesak dan sakit. Tidak hanya menemukanku, tetapi juga dia mampu membaca pikiranku. Dia bukanlah hantu….dia adalah iblis!!

Sraatttt!!

“Arggghhhh!!”

Sesuatu yang tajam melesat cepat, menggores lengan kiriku hingga menggesek permukaan tulangku. Suara dan tumbukkan yang selaras dengan rasa sakit yang menyayatku terjadi dalam harmoni. Tak bisa kuhindari lagi, pisau yang dari tadi ada di genggaman tangan kiriku pun terjatuh dengan suara yang nyaring. Satu pantulan….sebelum kemudian melayang ke arahku!

Sambil menghindar aku berlari secepat mungkin menaiki gunung, mendekati tempat dimana aku bisa bertemu langsung dengan sosok putih itu. Namun kekuatan manusia biasa tidak pernah bisa mengimbangi kekuatan iblis. Tentu saja, dengan mudah pisau senjata-makan-tuan milikku membuat banyak luka di sekujur tubuhku.  Tapi aku tidak peduli, tujuanku sudah ada di depan mata.

Sekali lagi, aku bilang untuk bertemu sosok putih itu.

“Rin…”

Kini aku sudah yakin sosok gadis kecil itu adalah Rin, adikku satu-satunya.  Dia berdiri membelakangiku, seperti dengan sengaja melihat ke arah danau yang menenggelamkannya 10 tahun yang lalu. Menatap…ataukah hanya melihat rumah barunya, aku tidak mengerti. Bukan, bukan hanya itu, aku juga tidak habis pikir, sejak kapan Rin menjadi orang yang sekejam ini? Sejak kapan dia memendam perasaan ini?  Apa yang dipikirkannya selama 10 tahun ini?

“Rin…menga—tidak. Tapi, apa yang harus aku jelaskan ke Ren nanti setelah aku menyusulnya?”

Aku tidak berteriak, tetapi sosok Rin sedikit bergerak dan kemudian perlahan menolehkan kepalanya ke arahku, seakan menjawab pertanyaanku. Terlihat, wajahnya sudah hancur, tidak manis lagi, tidak  lucu lagi, tidaklah seperti Rin yang aku dan Ren cintai.

Tapi aku masih mengenalinya, aku masih mengenali wajah yang penuh kesedihan itu.

Tidak salah lagi, dia adalah Rin.

“Rin…hentikan, Rin. Kakak tidak suka dengan caramu. Dan kau juga sudah tahu perasaan Ren, ‘kan? Lantas a—“

Rin menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak setuju dengan apa yang aku katakan.  Tidak berhenti di situ, mengenakan gaun putih yang sudah usang Rin terbang ke arahku, menghilang di udara, sebelum kemudian memelukku dari belakang. Bulu kudukku terasa berdiri. Rasa dingin menyebar di seluruh permukaan tubuhku, membuatku menggigil sesaat dan serasa ingin segera melepaskan pelukannya.

Ah…aku tertangkap, apakah aku juga akan mati?

Tapi, apa kesalahanku sehingga pantas untuk mati? Apakah yang menyebabkanku dibenci oleh Rin? Apa yang membuat Rin sedih?

Tapi tunggu….lama kelamaan rasa ini hangat sekali. Entah mengapa pelukan Rin menjadi hangat, sehangat dulu. Ini…..

“La…ri…”

Eh?

Syaatttt!!

“Waahhhh!!”

Pisau dagingku tadi masih meluncur, aku yakin, tadi mengarah ke kepalaku. Aku tidak tahu mengapa, tetapi Rin mendorongku jatuh, aku rasa dia sengaja agar aku bisa menghindari pisau itu. Mengapa? …..Jangan-jangan….

“GYAHAHAHHAHAH!!! Benar, kau benar sekali!!” teriakan dari penerima panggilanku menggema di gunung, tepatnya areal danau ini.

Jadi bukan Rin? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

“Apa maksudmu? Aku adalah Rin, Rin adalah aku. Tidakkah kau menyadarinya dari awal?”

“Jangan main-main! Rin baru saja menyelamatkanku dan kau bilang kau adalah Rin. Ini tidak masuk akal!!”

“Sisi hangat Rin yang menjijikkanlah yang menolongmu, aku, sisi dingin, sisi keadilan Rin yang akan membunuhmu!!”

“Adil? Jangan bercanda!”

“Kau lah yang jangan bercanda!!”

“A-apa?”

“Apakah kau tahu rasanya sendirian? Apakah kau tahu rasa dinginnya air sore itu? Apakah kau tahu rasanya ketakutan hingga mati? Apakah kau tahu rasanya dikhianati? Apakah, apakah…”

Inikah….Rin? Inikah yang dirasakan Rin dalam lubuk hatinya yang paling dalam? Inikah sisi lain dari Rin?

“Apakah kau tahu itu semua salahmu?!!”

“A-aku?” Mataku terbuka lebar, aku tidak percaya dengan perkataannya.

“Mengapa….kau tahu, sore itu aku memanggilmu. Aku tidak bisa berteriak lagi, jadi aku menelepon ponselmu. Mengapa…mengapa kau tidak ada saat  itu? Mengapa kau menelepon mereka yang hanya tertawa mendengar tentangku? Bertumpu pada ranting kecil….aku berusaha menggapaimu. Tapi…tapi kau…Bukankah kau tahu betul rasanya tidak bisa berenang, melebihi kau mengetahui segalanya? Mengapa…mengapa?!!”

Aku mulai mengerti sekarang. Dia….Rin…sebenarnya tidak bahagia selama ini. Aku dan Rin tidak memiliki orang tua sejak kecelakaan 10 tahun yang lalu. Tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku berusaha mencari teman dan menemukan mereka yang bernasib sama. Ren, Rei, Roy, Rin, Ray, nama yang tidak begitu jauh dengan nasib yang mirip, orang-orang yang lama kelamaan kejiwaannya membengkok, itulah mereka…itulah aku.

Mencoba mencari kebahagiaan bersama, tanpa aku sadari semuanya sudah menjadi kekacauan. Gangguan mental masing-masing anak menyebabkan banyak peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi di masa lalu. Rin dari awal tidak menyukainya, namun aku tetap memaksa. Saat itu aku berpikir bahwa itu hanyalah untuk kebaikan Rin, tetapi sebenarnya tidak. Aku egois, itu hanya untukku sendiri. Selama ini memang akulah yang harus disalahkan.

Tapi Rin tetaplah salah, meskipun harus mati, aku harus menghentikan Rin.

“Kau dengar suara hatiku? Tapi maaf , Rin. Aku sudah mengakhiri semuanya sejak tadi.”

Ya, meskipun harus mati, inilah penyelesaian yang terbaik.

Aku menunjukkan telepon milik Ren yang dari tadi aku genggam. Tertulis di layar sebuah kombinasi nomor yang sudah berjalan 5 menit lamanya.

Itu adalah nomor ponsel milik Rin.

“A-apa? Kau….”

“Halo?”

“….Halo?”

Lakukan tugasmu, sisi gelap Rin.

“Kau belum…kau juga harus mati!!”

“Ugghaaahhh!!!”

Tubuhku serasa dipukul keras oleh angin, membuatku terlempar jauh ke tengah-tengah danau. Aku tidak bisa berenang, mungkin ini adalah takdirku. Aku hanya bisa tersenyum pahit menerima nasibku. Nafasku sudah habis, inilah akhirku.

Aku tidak bisa bernafas lagi.

Tapi….tapi…Rin meraihku….Sisi hangat Rin datang meraihku…Aku…aku…aku yang saat itu dengan ceroboh meninggalkan ponselku di rumah….

“Terima kasih, kak.”

Sosok Rin menguap di udara, tersenyum hangat padaku. Sisi hangatnya pergi, mungkin ke surga bersama sisi gelapnya. Aku tidak menyangka sisi gelap seseorang bisa melakukan semua ini, sekalipun dia sudah mati. Aku memang tahu masih ada banyak hal yang belum dijelaskan, banyak hal yang masih belum aku ketahui jawabannya dari semua ini.

Tapi sudahlah, ini sudah cukup baik. Hei Rin, Rei, Roy, Ren, ini sudah cukup baik, ‘kan?

Aku menghela nafas, merasa sedikit kecewa tidak bisa ikut dengannya…tapi…

“Sampai jumpa, Rin.”

….aku pasti akan bertemu dengannya lagi kelak.[]

Penulis: Nereid

2 komentar